Mencari Jalan Pulang

Avidh namanya. Sudah sepuluh tahun ia tidak pernah pulang ke kampung halaman. Tentu di balik keputusannya itu ada sebab dan musababnya.

 

Ia merantau ke Jakarta selepas tamat Sekolah Menengah Atas untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Mulanya, ia tidak mau mengambil kesempatan itu, karena ia sadar bahwa keluarganya berada di garis kemiskinan, hidup sebagai yatim, dan adik-adiknya masih kecil. Maka jelas, pilihan realistisnya adalah bekerja.

 

Jangan tanya tentang Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bidikmisi; kenyataannya sering salah sasaran. Mereka yang seharusnya berhak malah tidak mendapatkannya, sementara yang tidak berhak justru mendapatkan.

 

Ketika besaran uang kuliah tunggal diumumkan, semakin besar pula keinginan Avidh untuk tidak mengambilnya. Sebab, nominalnya terlalu besar dan tidak sesuai dengan penghasilan ibunya. Pada akhirnya, atas desakan ibunya, ia mau mengambilnya. Emas simpanan ibunya digadaikan untuk membiayai kuliahnya.

 

Sebelum uang itu dibayarkan ke bank di ibu kota kabupaten, Avidh berusaha membujuk ibunya agar tidak menyetorkan uang tersebut. Ia berargumen bahwa kuliah tidak harus dilakukan sekarang dan tidak harus di negeri. Ia bisa bekerja terlebih dahulu, atau kuliah sambil bekerja.

 

“Kalau sambil kerja, ya, yang memungkinkan di swasta. Kalau kamu gap year, yang ada kamu malah keasyikan bekerja,” ujar ibu.

 

“Dengan kuliah, kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, jadi PNS. Nah, nanti giliran kamu yang membiayai adik-adikmu,” imbuhnya.

 

Berita tentang Avidh, si anak yatim yang kuliah di kampus negeri Jakarta tanpa bantuan negara, segera menyebar ke penjuru kampung. Sebagian orang mendoakannya, tetapi sebagian lainnya mencelanya.

 

“Wah, hebat ya. Salut saya sama Bu Jamilah, Avidh bisa kuliah di Jurusan Farmasi. Mahal itu,” ujar Alya.

 

“Ah, paling hanya bertahan satu atau dua semester. Saya yang sawahnya banyak saja kesulitan membiayai kuliah anak saya. Apalagi dia, yang sawahnya cuman sepetak,” timpal Waridah.

 

Di Jakarta, Avidh merasa tidak kerasan. Materi kuliah dari dosen tidak ada yang masuk ke dalam kepalanya. Ia terus memikirkan bagaimana cara membiayai kuliah sekaligus biaya hidup di Jakarta, sambil mengirimkan uang untuk ibu dan adiknya di kampung.

 

Ia pun menjaga jarak dengan teman-teman jurusannya. Dirinya lebih senang berinteraksi dengan orang-orang di luar kampus, karena di luar kampus ia merasa menemukan ketenangan, dan pikirannya terasa lebih plong. Sementara di dalam kampus, yang ia lihat hanyalah tatapan sinis dari orang-orang di sekitarnya.

 

Di sebuah klub buku, aku berkenalan dengan Avidh. Ternyata kami berasal dari kabupaten yang sama dan sama-sama mahasiswa baru. Bedanya, aku berada di jurusan Sastra Indonesia di kampus swasta.

 

Pada pertemuan pertama, dari tatapan matanya jelas terlihat bahwa ia memiliki bakat menulis. Asumsiku tidak salah, terbukti ia menulis berbagai jenis karya: puisi, cerpen, novel, dan naskah drama. Bahkan, sastrawan yang datang ke klub buku tersebut memujinya dan meramalkan bahwa kelak ia akan menjadi sastrawan yang dikenal secara nasional.

 

Pujian tersebut membuat Avidh semakin keranjingan menulis. Tulisan-tulisannya tersebar di mana-mana, baik di media lokal maupun media nasional. Akibatnya, ia pun mampu membiayai kuliah dan biaya hidupnya sendiri di Jakarta.

 

Di semester ketiga, Avidh mendapatkan tawaran menjadi jurnalis dari salah satu media. Tentu saja, tawaran tersebut ia terima. Ia pun dapat membiayai ibu dan adik-adiknya. Namun, ada harga yang harus dibayar: kuliahnya terbengkalai dan ia akhirnya drop out. Tak sampai di situ, bersamaan dengan drop out, Avidh dikeluarkan dari media tempatnya bekerja dengan alasan tidak memiliki ijazah S1.

 

Masih mending jika dikeluarkan disertai dengan pesangon; gaji terakhir saja tidak dibayar penuh. Avidh pun kembali seperti dulu, menjadi penulis lepas, berpindah dari satu media ke media lain. Tentu saja, penghasilannya tidak sebanyak saat ia masih bekerja di media.

Timbul kegelisahan di hatinya tentang bagaimana ia memberitahukan ibunya bahwa dirinya drop out dari kampus. Berbagai kekhawatiran berkeliaran di kepalanya; ibunya pasti akan menjadi bahan olokan para tetangga. Maka, ia pun memutus komunikasi dengan orang-orang di rumah.

 

Ia pindah kosan dan hanya aku temannya yang diberi tahu alamatnya. Setiap kali aku ke kosannya, sebagai seorang teman, aku berusaha untuk menyemangatinya.

 

“Ajip Rosidi tidak memiliki ijazah sarjana, tetapi bisa menjadi profesor dan mengajar para doktor di Jepang. Goenawan Mohamad drop out, Ahmad Tohari juga sama. Namun, karya mereka tetap dikaji oleh para sarjana, magister, dan doktor,” ujarku.

 

Ia hanya tersenyum kecut. Hal ini membuat aku sadar bahwa zaman telah banyak berubah; dunia sastra di Indonesia tidak seperti dulu.

 

Tatkala aku bangun dari tidur siang di hari Kamis, aku mendapati puluhan panggilan tidak terjawab dari teman-teman, dan grup mendadak ramai. Mereka membagikan tautan berita seorang pria berumur 35 tahun yang ditemukan mati gantung diri di kosannya.

 

Grup-grup ramai mencaci maki ketololan pria tersebut, begitu juga di media sosial. Aku hanya terdiam lemas di tempat dudukku, bingung apa yang harus aku katakan kepada keluarga Avidh.

 

Malam sebelumnya, aku berkunjung ke kosan Avidh. Wajahnya tampak ceria. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia mengalami depresi.

 

“Adikmu terus bertanya kapan Avidh pulang dari Kalimantan,” ujarku.

 

“Kenapa kamu tidak terus terang saja kepada mereka bahwa kamu di Jakarta?” imbuhku.

“Aku masih belum siap untuk pulang kampung. Nantilah, kalau karyaku diterbitkan oleh penerbit mayor dan difilmkan,” ujar Avidh sambil tersenyum kecut.

 

“Aamiin,” timpalku.

 

Awalnya, Avidh mengeluh kepadaku bahwa tulisannya sekarang banyak yang tidak dimuat di media. Selain itu, naskah-naskah yang ia kirimkan ke penerbit tidak kunjung mendapatkan balasan. Ia menyadari bahwa baik media maupun penerbit pasti akan memprioritaskan mereka yang sudah memiliki nama.

 

“Penerbit mayor sekarang pasti mempertimbangkan jumlah pengikut. Peluang untuk penulis sepertiku sangat kecil,” ujarnya.

 

Setelah itu, obrolan beralih tentang betapa enaknya menjadi anak presiden, tidak perlu khawatir mau jadi apa. Karpet merah telah disediakan, meskipun harus menabrak konstitusi. Sementara itu, anak-anak lain berjuang dengan ketidakmungkinan untuk keluar dari jerat kemiskinan, dan hanya sedikit yang bisa keluar dari jerat itu, sementara sisanya makin terbenam dalam kemiskinan.

 

“Menurutmu, ketika manusia masuk neraka karena kemiskinan, sementara kemiskinan di negara ini disebabkan oleh sistem, apakah kita bisa mengajukan banding kepada Allah?” tanyanya.

“Katanya Allah Maha Adil, berarti kita bisa mengajukan banding,” jawabku.

“Lalu, siapa yang bakal menggantikan orang itu di neraka?”

 

“Yang menyebabkan orang itu miskin; kan ada malaikat yang mencatat,” balasku.

 

Obrolan semakin malam semakin aneh. Kami sudah habis dua gelas kopi. Tiba-tiba, ia menanyakan apakah, jika dirinya mati, orang-orang akan mengenang karya-karyanya. Lalu, jika ia mati sebelum berhasil menerbitkan buku, apakah akan ada penerbit mayor yang mau menerbitkan bukunya.

 

“Entahlah. Namun, aku menjamin bahwa kamu akan selalu diingat olehku,” jawabku.

 

Kemudian ia menanyakan tentang bunuh diri, tapi yang diajarkan oleh para pemuka agama bahwa orang yang bunuh diri akan berada di neraka selama-lamanya.

 

“Sementara di sisi lain, para pemuka agama menyatakan bahwa surga dan neraka itu hak prerogatif Allah. Maka rasanya tidak pantas jika orang-orang mencaci maki orang yang bunuh diri,” imbuhnya.

 

Aku tidak terkejut dengan ucapan Avidh, karena sejak pertama kali kami mengenal, ia memang sering membicarakan hal-hal demikian. Jadi ketika ia mengatakan hal itu, tidak terbesit dalam pikiranku bahwa ia akan benar-benar mengakhiri hidupnya.

 

Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah. Malik, menulis sejumlah cerpen, puisi, resensi, dan esai yang tersebar di beberapa media online.

https://www.nu.or.id/cerpen/mencari-jalan-pulang-gOhrN