Gelombang protes menyusul tindakan pembakaran al-Quran yang terjadi di Swedia terus berkembang. Di dalam negeri Swedia, hal ini menciptakan ketegangan antara kelompok masyarakat Muslim dan kelompok ekstrem kanan. Hal yang menarik dari peristiwa ini adalah bahwa tindakan membakar salinan kitab suci al-Quran ini dilakukan oleh seorang pemimpin partai sayap kanan Denmark (Stram Kurs) bernama Rasmus Paluda yang kalah dalam pemilu legislatif di negaranya di tahun 2019.
Tak hanya itu, dia telah melakukan serangkaian upaya provokasi di beberapa negara yang lain tak terkecuali di Perancis dan Belgia. Di Swedia, hal ini pernah dia lakukan beberapa kali yaitu di bulan Agustus 202 dengan memanfaatkan protes anti-Islam yang terjadi di kota Malmö, di bulan April 2022 di kota Orebro, dan terakhir di bulan Januari 2023 di depan keduataan besar Turki di Stockholm.
Jika ditelusuri, ini bukan serangan terhadap elemen islam yang pertama di Swedia. Di tahun 2015, telah terjadi tiga serangan pembakaran Masjid di tiga kota yaitu Stockholm, Gothenburg dan Malmö hanya dalam kurun waktu 10 hari. Salah satu yang terparah adalah Masjid Eskilstuna Islamic Dawa Center. Terlepas dari figur kontroversial Rasmus Paluda. Di dalam laporan riset yang dilakukan oleh European Network Against Racism (ENAR) antara tahun 2014 – 2016 menemukan dampak yang signifikan dari kebencian ini khususnya terhadap perempuan Muslim di dalam segala aspek kehidupan di Swedia.
Rangkaian peristiwa ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa kebencian terhadap Islam di negara yang dikenal sebagai ‘the land of the open door’ itu kini tampak secara simultan dan konsisten terjadi di sana?
Islam dan Muslim di Swedia: Selayang Pandang
Di tahun 2007, Pieter Bevelander dan Jonas Otterbeck dari Universitas Malmö mempublikasikan hasil riset mereka yang berujudl ‘young people’s attitudes towards Muslims in Sweden’. Riset ini cukup penting dalam perkembangan kajian kebencian terhadap Islam di Swedia. Selain mampu mengkonfirmasi dan melengkapi riset – riset serupa yang pernah dilakukan sebelumnya. Riset ini juga menyajikan informasi dan analisis yang cukup lengkap. Informasi yang dimaksud mencakup berbagai faktor yang dipandang dapat berpengaruh terhadap sikap kebencian yaitu faktor demografi, soscio-ekonomi, lokal/regional, pendidikan, psikologis, pengasuhan, pertemanan, eksklusi, dan jender. Hal ini dilengkapi dengan tiga level analisis yaitu individual, kelompok kemasyarakatan, dan struktural.
Meskipun riset ini menyasar kelompok masyarakat muda, namun secara tidak langung kita dapat menelaah lebih jauh mengenai berbagai hal yang dapat berpengaruh terhadap cara berperilaku dan berfikir mereka. Temuan menarik dari riset ini misalnya adalah analisis tentang dampak pengasuhan dan pendidikan orang tua. Anak yang berpendidikan dan dibesarkan di dalam keluarga berpendidikan cenderung bersikap positif terhadap Muslim. Selain itu, individu yang memiliki pemahaman jender yang stereotipik dan memiliki persepsi negatif terhadap masyarakat memiliki sikap yang lebih negatif terhadap Muslim.
Kita juga disuguhi data analisis dalam level individu di mana kontak memainkan peranan penting. Mereka yang memiliki kontak dan mengenal masyarakat Muslim diidentifikasi bersikap positif terhadap Muslim dibanding yang tidak. Dengan demikian, sikap negatif terhadap Muslim lebih banyak ditentukan oleh situasi di mana individu berada dibanding sentimen pribadi yang spesifik seperti islamofobia.
Di level kelompok kemasyarakatan, riset ini mengkonfirmasi teori ‘the power-thraet hypothesis’. Teori yang berakar dari ‘realistic conflict theory’ yang menekankan pada konflik kepentingan dan kompetisi antar kelompok ini berpandangan bahwa sikap negatif terhadap suatu kelompok terjadi karena kelompok tersebut dianggap sebagai ancaman yaitu kompetitor dalam hal ekonomi dan tantangan bagi keberlanjutan kuasa secara sosial dan politik. Dalam konteks sentimen anti-islam, ancaman ini direpresentasikan dalam bentuk peningkatan visibiltas keberadaan imigran. Perempuan Muslim dengan segala visibiltas kesilamannya menjadi salah satu terget utama tindakan diskirminasi.
Ide politik seperti ini lebih banyak dihembuskan oleh kelompok politik sayap kanan yang telah menterjemahkan ke dalam berbagai tindakan nyata melalui partai politik dan mengatualisasikannya di dalam pemerintahan di level regional. Dalam hal ini, media memainkan peranan penting dalam mensirkulasikan berbagai ide politik sehingga secara simbolis berbagai isu terkait masyarakat imigran ini menjadi tampak mendominasi yang pada gilirannya visibilas simbolis mereka secara umum menyasar masyarakat Muslim dan agama Islam.
Oleh sebab itu Pieter Bevelander dan Jonas Otterbeck sepakat dengan pendapat Olivier Roy bahwa salah paham terhadap Muslim dapat terjadi karena Muslim dianggap sebagai satu kelompok bukan hanya sebagai sebuah populasi dengan beragam kepentingan. Menurut Fred Haliday di dalam artikelnya ‘confuring the issue : islamofobia reconsidered’, klaim atas identitas tunggal Muslim dimobilisasi baik oleh kelompok ektrem kanan yang anti – Islam maupun kelompok islam konservatif yang ingin tampil sebagai ‘the one true Muslim ’. Keduanya kemudian mendistorsi Muslim ke dalam entitas keislaman yang monolitik. Padahal di Swedia populasi Muslim berasal dari etnis yang beragam yaitu Turki, Palestina, Syria, Kurdi, Maroko, Iran, Irak, Pakistan, Bosnia, Kosovo, Albania, Somalia, Afganistan dan termasuk masyarakat Swedia yang kemudian memeluk agama Islam.
Kebangkitan Ekstrim Kanan di Eropa dan dinamika Politik di Swedia
Petikan berbagai temuan di dalam riset di atas telah berhasil memotret sisi lain dari kehidupan dan persoalan masyarakat asli Swedia secara umum dalam kaitannya dengan Islam dan keberadaan masyarakat Muslim di sana. Riset ini juga memberikan gambaran bahwa di Swedia, sentimen kebencian bukan hal yang statis. Namun, merupakan sesuatu yang dapat digerakan dan terbentuk sebagai hasil dari konstruksi sosial.
Dalam hal ini, masyarakat di Swedia tak bisa luput dari dinamika politik regional. Hal yang paling nyata adalah keberhasilan partai berideologi ekstrem kanan yang telah memobilisasi sentimen kebencian ini di dalam kampanye politik mereka yang mencapai momentumnya di tahun 2010. Sebagai contoh, dengan kampanye anti – Islamnya, Geert Wilders berhasil memenangkan 24 kursi di parlemen; menigkatnya dukungan terhadap partai Front Nasional di Perancis yang mengharuskan Nicolas Sarkozy membawa partainya (UMP) ke arah kanan dengan melakukan berbagai penyesuaian kebijakan termasuk pelarangan burqa dan polemik hijab; meningkatnya dukungan masyarakat terhadap Partai Rakyat Denmark (DPP) yang beraliran populis kanan yang memiliki pandangan anti-imigran di Denmark; dan keberhasilan partai ekstrem kanan di Swedia (the Sweden Democrats) yang untuk pertama kalinya melenggang di parlemen yang secara mengejutkan maraih 20 kursi (5.7%). Keberhasilan ini menjadi pembuka dan terus berulang hingga di pemilu 11 September 2022 mereka berhasil meraih 62 kursi (17.5%). Bahkan di tahun 2018 dilaporkan telah menginspirasi kelompok politik populis di Finlandia melalui the Finns Party.
Beberapa peneliti menganalisis hal ini dari berbagai perspektif dan berbeda. Di Swedia, peneliti dari the Centre for Middle Eastern Studies dari Univeritas Lund, Barzoo Eliassi, memahami hal ini sebagai akibat dari ‘anti-Muslim hysteria’ yang dimobilisasi oleh the Sweden Democrats. Mereka menciptakan wacana negatif tentang Muslim sebagai kekuatan pengganggu yang mengancam idealisme mereka sebagai ‘the imagined white and Christian ideals of Europe’. Partai yang dibentuk 1988 ini merupakan penerus langusng dari partai Swedia Bevara Sverige Svenskt (Keep Sweden Swedish) yang berakar pada fasisme Swedia yang pada masanya memiliki hubungan langsung dengan kelompok-kelompok anti-demokrasi, Nazi, dan fasis. Untuk merepresentasikan diri sebagai partai demokrat, mereka telah menegaskan penolakan terhadap paham Nazisme di tahun 1999 dan beberapa kali merubah ‘image’ mereka dari sebagai ‘a Sweden – friendly party’ menjadi ‘a socially conservative party’. Dalam pandangan politik mereka, kedatangan para imigran adalah bagian penting dari proses islamisasi di dalam masyarakat Swedia. Seperti dikutip oleh Eliassi, Jimmy Akesson pemimpin partai ini berujar, ‘Muslim adalah ancaman asing terbesar di Swedia sejak Perang Dunia Kedua’.
Sementara Peter Guest seorang jurnalis CNBC menjelaskan bahwa hal ini terjadi sebagai dampak dari semakin meningkatnya penerimaan retorika islamofobia dan anti – imigran di dalam arus utama wacana politik di Eropa khususnya di Media. Mendukung pendapat ini Andrian Groglopo seorang profesor ilmu sosial di Univerisitas Gothenburg, seperti yang dikutip oleh the New York Times, menjelaskan bahwa Partai Demokrat Swedia telah membuat rasisme menjadi terbuka dan dapat diterima secara sosial. Retorika ini menjamur semenjak seruan ‘war on teror’ di tahun 2001 yang diikuti serangkaian serangan teroris di Eropa. Salah satunya terjdi di Swedia yaitu bom bunuh diri di Stockholm pada tanggal 13 September 2010 yang dilakukan oleh seorang warga Swedia keturunan Irak. Juga gerakan islam politik di beberapa wilayah perang yang motori oleh ISIS dan kelompok al-Qaeda. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai pristiwa ini telah dijadikan sebagai representasi terdepan Islam dan Muslim di Eropa.
Selanjutnya, tak kalah penting juga mengulas pandangan John R. Bowen dalam bukunya ‘Blaming Islam’ yang menyoroti narasi ekstrim kanan tentang gelombang pengungsi dalam jumlah besar di Eropa sebagai ‘islamic shock’. Narasi anti – imigran ini tidak hanya bermakna bahwa imigran baru berbeda dengan yang lama tapi juga dianggap dapat mengganggu cara hidup masyarakat Eropa. Hal ini tak terkecuali terjadi di Swedia. Pandangan ini bercampur dengan persoalan ekonomi dan ketakutan akan gerakan radikalisme kelompok islamis di Swedia. Kondisi ini memicu reaksi penolakan terhadap kehadiran mereka khususnya pendatang Muslim. Secara umum, perubahan sikap masyarakat di Swedia terhadap imigran dianggap sebagai hal yang mengejutkan. Karena selama lebih dari 65 tahun Swedia menerapkan kebijakan pintu terbuka terhadap para imigran. Bahkan pada tahun 2013 menjadi negara dengan porsi penerimaan pengungsi terbanyak dibanding negara Eropa yang lainnya.
Bersambung..
https://alif.id/read/isr/mencermati-sentimen-kebencian-terhadap-islam-di-swedia-1-b247060p/