Read Time:5 Minute, 21 Second
Oleh Ahmad Rusdiana
Rendahnya motivasi, akses yang terbatas terhadap sumber bacaan, serta rendahnya kesadaran akan pentingnya membaca di kalangan mahasiswa merupakan bagian dari beberapa faktor penyebab mengapa sampai hari ini Indonesia menempati posisi sebagai negara dengan minat baca warganya yang rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain (Ulasan materi kuliah Pemberdayaan SDM Pendidikan, Rabu, 2/10/022).
Budaya literasi yang terwujud dengan tradisi berpikir kritis yang ditopang dengan tradisi membaca dan menulis yang baik harus terus disosialisasikan agar menjadi budaya masyarakat secara luas. Sebagaimana yang diungkapkan oleh UNESCO, bahwa literasi memiliki pengaruh dan manfaat yang sangat luas bagi kemajuan bangsa, negara, dan masyarakat. Sebab literasi ibarat pondasi dasar, di mana kemajuan atau kemunduran peradaban umat manusia ditentukan olehnya. Terbukti, era puncak kejayaan peradaban dan ilmu pengetahuan, umat islam pada masa klasik dibangun dengan semangat gerakan literasi melalui berbagai kegiatan penelitian, penerjemahan, penulisan, dan pembacaan atas ayat-ayat Al-Quran maupun alam semesta yang dilakukan oleh para intelektual dan ilmuan muslim, dengan skill literasi yang mumpuni.
Skill literasi mutlak diperlukan setiap orang saat ini. Hal ini merupakan konsekuensi atas semakin tingginya tingkat kompetisi dalam segala bidang kehidupan. Tidak sekedar kemampuan dasar baca tulis, namun juga kemampuan pembacaan analisis kritis terhadap segala wacana, isu, fenomena sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.
Senada dengan definisi Kern mengenai literasi, bahwa “kemampuan literasi mencakup kemampuan seseorang untuk membaca, memaknai, merefleksikan, dan menginterpretasikan berbagai jenis teks secara kritis dan kontekstual”. Maksud kontekstual di sini adalah kepekaan untuk menemukan makna-makna tersirat dalam sebuah teks sesuai dengan konteks sosial dan budaya. Sebab pada dasarnya, setiap karya tulis tidak terlepas dari ideologi si penulis yang dipengaruhi oleh setting sosial, budaya, dan latar belakang pendidikannya. Berdasarkan definisi Kern di atas, apabila ditarik ke dalam ranah pendidikan, maka sedikitnya ada 7 Prinsip dasar Pendidikan Literasi, yaitu sebagai berikut:
Pertama: Prinsip Interpretasi
Seorang pembaca menginterpretasikan objek yang dia baca, entah objek itu berupa tulisan atau fenomena. Sedangkan seorang penulis juga juga melakukan proses interpretasi atas pengalaman, peristiwa, gagasan, dan ide-idenya yang kemudian diejawantahkan ke dalam sebuah teks/tulisan. ini juga berlaku dalam bentuk komunikasi verbal antara pendengar dan pembicara lisan.
Kedua: Prinsip kolaborasi
Dalam dunia kepenulisan, salah satu faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menulis adalah target pembaca. Artinya, kita harus menentukan konsumen tulisan kita, apakah pelajar, mahasiswa, tukang becak, atau masyarakat awam pada umumnya. Dari sini kita dapat melihat adanya prinsip kolaborasi atau kerjasama antara pembaca dan penulis agar terjalin kesepahaman di antara keduanya. Pembaca dapat menangkap maksud dari penulis dan penulis dapat memahami seberapa besar potensi pembaca dalam menangkap pesan-pesan dalam tulisannya berdasarkan pada tingkat pengetahuan, pengalaman, motivasi, dan latar belakang pendidikannya.
Ketiga: Prinsip Konvensi
Antara pembaca dan penulis, harus terdapat sebuah konvensi. Maksud dari konvensi di sini meliputi aturan-aturan mengenai tata bahasa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Contoh misal, pembaca tidak akan bisa membaca tulisan dalam bahasa inggris jika dia tidak memiliki kemampuan berbahasa inggris. Dalam hal ini, tidak terjadi konvensi antara penulis dan pembaca dalam hal jenis bahasa yang digunakan. Begitu juga misalnya guru yang menerangkan materi pelajaran dalam bahasa Jawa, tidak akan bisa dipahami oleh siswa yang hanya memiliki kemampuan bahasa Indonesia.
Keempat: Prinsip Pengetahuan Kultural
Literasi melibatkan berbagai fungsi seperti sistem keyakinan, sikap, adat kebiasaan, cita-cita, dan nilai-nilai. Dengan kata lain, perbedaan keyakinan, kebiasaan, nilai, budaya, dan ideologi antara pembaca dan penulis, berpotensi memunculkan kesalahpahaman/ missinterpretasi di antara keduanya. Agar seorang pembaca terhindar dari kesalahan pemahaman terhadap sebuah tulisan yang ditulis oleh orang yang berbeda secara kultural, maka pembaca harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai budaya, cita-cita, nilai, termasuk ideologi si penulis.
Kelima: Prinsip Pemecahan Masalah
Telah kita ketahui bersama, bahwasannya sebuah tulisan terikat oleh konteks linguistik dan setting sosial yang melingkupinya. Dalam prinsip pemecahan masalah, baik pembaca maupun penulis harus mampu mencari titik temu antara teks dan konteks.
Keenam: Prinsip Penggunaan Bahasa
Literasi tidak hanya terbatas pada penggunaan sistem-sistem bahasa (baik bahasa lisan atau tulis), akan tetapi juga mensyaratkan pengetahuan yang komprehensif mengenai bagaimana menggunakan bahasa dalam konteks lisan maupun tertulis dalam rangka menciptakan sebuah wacana/diskursus.
Ketujuh: Prinsip Refleksi
Seorang penulis harus mampu melakukan refleksi atas apa yang ditulisnya, hal ini meliputi pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti apa yang telah saya tulis, bagaimana cara saya menulisnya, dan mengapa saya perlu untuk menulisnya. Begitu juga dengan pembaca, perlu melakukan refleksi dengan pertanyaan-pertanyaan apa yang telah saya baca dan mengapa saya perlu membacanya.
Tujuh prinsip di atas merupakan prinsip-prinsip dasar dalam Literasi. Aplikasi praktisnya dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari pola komunikasi dan interaksi antara guru/dosen dan peserta didik. Guru/dosen memberikan berbagai stimulus dalam bentuk bahasa lisan maupun tertulis yang diwujudkan dalam bentuk pemberian tugas-tugas tertulis (dalam LMS disebut Asigment); atau penyampaian materi secara lisan.
Realitasnya perlu didukung oleh budaya, pengalaman, pengetahuan, tingkat kecerdasan, kebiasaan, maupun perbedaan kepribadian peserta didik agar respon peserta didik semakin mendekati respon yang diharapkan oleh dosen. Sehingga terjalin sebuah kesepahaman antara keduanya, misalnya ketepatan jawaban yang diharapkan guru/dosen dari tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didiknya. Disinilah dosen juga perlu mangajak peserta didiknya melakukan refleksi kritis terhadap materi-materi dan tugas-tugas. Hal ini sebagai bentuk sinkronisasi antara pelajaran-pelajaran di kelas yang didominasi oleh teks tertulis dan presentasi secara lisan dengan dunia makna peserta didik. Cara ini dilakukan merupakan upaya untuk mengintegrasikan pengetahuan peserta didik dengan realitas sosial, budaya, dan pengalaman peserta didik, sehingga pengetahuan yang diterima di sekolah/kampus lebih bermakna bagi diri setiap peserta didik.
Wallahu A’lam Bishowab
Penulis:
Ahmad Rusdiana, Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Pegiat Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat.
Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui:
(1)http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators.2)https://www.google.com/search?q=buku+a.rusdiana+shopee&source(3)https://play.google.com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M.