Read Time:7 Minute, 30 Second
Oleh Kang Masyhari
Setelah lulus magister (S2) di Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon (SNC) pada akhir 2014, saya akhirnya bergabung sebagai tutor bahasa Arab di pusat pengembangan bahasa (PPB), salahsatu UPT di kampus yang sama. Ahamdulillah, hingga saat ini saya masih aktif mengajar di pusat bahasa tersebut.
Selain itu, sejak tahun 2018 hingga kini, saya juga tercatat sebagai dosen luar biasa (DLB) atau dosen tidak tetap di salahsatu fakultas di kampus negeri satu-satunya di Cirebon tersebut. Setidaknya, saya pernah terjadwal mengampu mata kuliah di FSEI, FS dan FITK.
Artinya, meskipun bukan sebagai dosen tetap, sedikit banyak saya termasuk yang terkena dampak dari setiap kebijakan pimpinan kampus plat merah ini, baik secara langsung atau tidak langsung. Karena itu, bolehlah saya berharap sang rektor terpilih nanti adalah yang bisa membawa kampus ke arah yang lebih progresif, menyongsong terbitnya SK Universitas Islam Siber Syekh Nurjati Indonesia (UISSI).
Terlepas punya kapasitas atau tidaknya, saya merasa perlu untuk menulis sedikit catatan dan tebakan siapa dari 9 calon yang paling potensial bakal menjadi rektor IAIN SNC terpilih nanti, dengan berbekal informasi dari berbagai sumber dan pengalaman berinteraksi dengan beberapa kandidat rektor yang terdaftar.
Boleh jadi, analisis saya -akan dinilai pembaca- cenderung subjektif dan berbasis kedekatan emosional. Akan tetapi, saya akan membaca fenomena bursa rektor ini dan menganalisisnya berdasarkan potensi keterpilihan masing-masing kandidat, dari sisi politis dan kapabilitas, serta hubungannya dengan masa depan kampus IAIN SNC.
Dalam proses seleksi pemilihan rektor ini, saya bisa sederhanakan/singkat menjadi 3 tahapan saja. Tahapan yang pertama yaitu seleksi berkas di meja panitia (level internal kampus), yang kedua, yaitu seleksi di tingkat senat IAIN SNC, dan yang ketiga yaitu di meja Menteri Agama Republik Indonesia.
Berdasarkan pengumuman resmi, dalam tahapan pertama ini, ada 9 calon yang sudah dinyatakan lolos. Dari kesembilan calon tersebut yang saya tahu dan pernah ketemu secara langsung hanya 8 orang yaitu 1) Prof. Dr. Aan Jaelani, M.Ag., 2) Prof. Dr. H. Jamali, M.Ag., 3) Prof. Dr. Sugianto, M.H, 4) Prof. Dr. Kartimi, M.Pd., 5) Dr. H. Hajam, M.Ag., 6) Dr. Saifuddin Zuhri, 7) Dr. Ilman Nafia, dan Prof. Dr. Siti Fatimah. Calon yang satu lagi, yaitu Dr. Anwar Sanusi, M.Ag, saya tidak terlalu paham.
Seleksi tahap berikutnya (kedua) adalah di rapat senat institut (internal). Sebatas yang saya tahu, senat IAIN diketuai oleh Drs KH Wawan Arwani Amin, MA, sekaligus rois Syuriyah PCNU Kabupaten Cirebon, dan salahsatu pengasuh pesantren di YLPI Buntet Pesantren Cirebon.
Sebatas pengalaman periode sebelumnya, rapat senat ini akan menghasilkan 3 nama kandidat yang akan direkom untuk disetorkan ke meja Menteri Agama RI untuk dipilih. Nah, inilah tahap seleksi yang ketiga atau terakhir, yaitu Menteri Agama.
Lantas, siapakah kandidat yang potensial terpilih? Mari kita analisis bersama.
Secara pribadi, pengetahuan saya terhadap para kandidat berbeda-beda. Yang paling saya kenal dari mereka adalah Prof Dr H Jaelani, M Ag dan Prof Dr H Jamali Sahrodi, M Ag. Tebakan saya, dengan berbagai perspektif, keduanyalah yang paling berpeluang masuk tiga besar calon rektor IAIN. Mungkin yang ketiga masuk nama Dr. Ilman Nafia, atau bisa jadi yang lain. Tapi, prediksi saya, yang bakal terpilih antara Prof Jamali atau Prof Aan, dengan potensi Prof Jamali lebih besar. Apa alasannya?
Mari kita bahas Prof Dr H Aan Jaelani, M Ag terlebih dahulu.
Prof. Aan Jaelani saat ini tercatat sebagai dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), fakultas baru, pecahan dari FSEI yang sebelumnya juga dipimpin oleh Prof Aan. Prof Aan juga mengajar di program Pascasarjana, baik di tingkat Magister maupun Doktoral.
Prof Aan berasal dari Kecamatan Astanajapura, di sebuah desa yang dekat dengan Buntet Pesantren. Prof Aan bisa dikatakan akrab dengan Buntet Pesantren. Sejak kecil, beliau ngaji dengan guru-guru dan kiai di Buntet.
Selama nyantri, Prof Aan juga pernah aktif di IPNU, sebuah organisasi pelajar yang menjadi badan otonom di Nahdlatul Ulama, sebuah ormas yang kini ‘menguasai’ Kementerian Agama.
Dari sini ini, Prof Aan punya peluang yang besar, yaitu memiliki basis keilmuan agama yang mumpuni dan cukup, sebagai ciri khas kampus agama Islam, selain punya kedekatan secara emosional dengan ketua senat IAIN, yang juga merupakan kiai dari Buntet.
Konon, Kang Nuruzzaman, stafsus Menag RI, yang merupakan ‘pembisik’ Gus Men, juga berasal dari daerah yang sama, yaitu Astanajapura. Artinya Prof Aan adalah tetanggan dengan Kang Nuruzzaman. Ya, masak tetangga gak diutamakan.haha Apalagi, Kang Nuruzzaman ini juga pernah aktif di PC IPNU Kabupaten Cirebon, sebelum aktif di GP Ansor.
Dari segi kepribadian, Prof Aan terbilang telaten dan rendah hati. Meskipun sudah menjadi dekan di kampus negeri Prof Aan masih berkenan meluangkan waktunya untuk terus membina kampus swasta yang pernah membesarkan namanya, yaitu IAI Cirebon.
Gelar profesor sama sekali tidak membuatnya jumawa. Seperti biasa-biasa saja. Prof Aan tetap humbel dan terkadang bercanda dengan staf dan dosen-dosen. Bahkan dari penampilan terkesan santai dan biasa-biasa saja.
Yang perlu menjadi catatan di sini, Prof Aan ini terbilang sangat produktif dalam berkarya tulis, khususnya tulisan berupa artikel dan riset ilmiah. Karya-karya itu langsung beliau tulis secara mandiri, tidak mengandalkan staf, bahkan untuk sekadar membantu mengetikkannya.
Sebatas yang saya tahu, gelar profesor yang diperolehnya pada tahun ini diurus secara mandiri melalui aplikasi dengan proses pengajuan selama sekitar 2-3 tahun.
Saya sendiri pada suatu ketika pernah beberapa kali memergoki Prof Aan mengetik artikel ilmiah di netbooknya di kantornya. Di sela-sela jam santai, beliau terkadang tidak lepas dari netbooknya dan jari jemari yang sibuk menekan tombol keyboard.
“Wah, Prof Aan masih sibuk nulis artikel nih!” kata saya suatu ketika.
“Ya, daripada lagi nganggur,” selorohnya.
Selain itu, Prof Aan juga terbilang pengalaman dan lihai dalam bidang penyusunan borang akreditasi, baik institusi maupun program studi. Hal ini saya rasakan sendiri saat beliau mendampingi kami, di IAI Cirebon (dan dulu STAIC) ketika persiapan akreditasi program studi. Beliau dengan sabar memandu dan memberi arahan dan masukan kepada tim akreditasi selama proses bimbingan itu.
Kabarnya, sejumlah prodi di fakultas yang dipimpinnya dan juga di pascasarjana sukses melakukan akreditasi tak lepas dari tangan Prof Aan yang ikut terlibat di dalamnya. Bahkan, staf teknis juga langsung dibimbingnya dalam mengerjakan borang akreditasi.
Tidak hanya itu, setelah beliau berhasil meraih gelar profesor, beliau tidak lantas merasa cukup aman sendiri ketika sudah di atas awan. Prof Aan juga sangat peduli dengan jenjang karir atau jabatan fungsional dosen, khususnya yang di fakultas yang dipimpinnya. Sebut saja misalnya SK guru besar Dr KH Slamet Firdaus yang baru saja terbit juga tidak lepas dari peran Prof Aan yang ikut membantu, mendorong dan mengawalnya, melalui stafnya.
Berdasarkan itu, jika Prof Aan terpilih jadi rektor, maka prediksi saya, kampus IAIN akan progres di bidang peningkatan akreditasi dan jabatan fungsional dosen.
Lantas, mengapa peluangnya lebih kecil daripada Prof Jamali? Jawaban simpelnya adalah dari segi pengalaman akademik dan kesepuhan usia.
Prof Jamali terbilang sudah lama mendapatkan jabatan guru besar. Bahkan, bisa dikatakan saat itu, Jamali mendapatkan gelar profesor pada usia muda di kampus STAIN saat itu, berbekal produktifitas dalam menulis karya, khususnya artikel, baik populer di media massa maupun akademik di jurnal.
Memang, saya belum pernah diajar langsung di kelas oleh Prof Jamali, mengingat beliau mengajar di jurusan tarbiyah (pendidikan), sementara saya di bidang syariah (hukum Islam). Akan tetapi, saya pernah diuji secara lisan oleh beliau dalam ujian komprehensif pada akhir kuliah di Pasca IAIN (2014).
Saat saya menjadi mahasiswa S2, tahun 2012-2014, Prof Jamali yang menjadi direktur Pascasarjana. Artinya, Prof Jamali lebih dahulu punya pengalaman dalam memimpin sebuah lembaga pendidikan. Tampaknya, sisi ini juga dipertimbangkan.
Selain itu, Prof Jamali juga terbilang aktif di organisasi mahasiswa pergerakan, tepatnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus yang menjadi underbow Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi yang juga menjadi afiliasi bagi ketua senat kampus dan juga Menag RI.
Potensi lebih Prof Jamali yang membuatnya lebih berpeluangan adalah jabatannya sebagai asesor BAN-PT. Posisi ini sudah cukup lama dijabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat berpengalaman di bidang akreditasi kampus. Artinya, jaringan beliau secara nasional dengan para akademisi dan pejabat di Kemenag tentu tidak diragukan lagi.
Beliau juga ‘tercatat’ sebagai dosen senior PNS IAIN SNJ yang juga ikut membina Institut Agama Islam Cirebon, kampus tempat saya menjadi dosen tetap. Selama mengajar di kampus ini saya cukup sering berinteraksi dengan Prof Jamali juga.
Hanya, ada sisi ‘pengapesan’ yang terdapat pada beliau, yaitu bukan putra asli Cirebon. Ya, beliau berasal dari Kabupaten Brebes. Artinya, jika dihadapkan antara putra daerah dan bukan putra daerah, bisa jadi peluang putra daerah akan lebih besar. Kalau saja isu ini dihembuskan, akan mengurangi potensi keterpilihan. Isu ini bisa mudah ditepis dengan banyak hal, salahsatunya kapabilitas, loyalitas dan komitmen dalam memajukan institusi tanpa pandang daerah.
Lantas, bagaimana dengan kandidat lain? Saya kira hanya sebatas penggembira.
Prof Sugianto yang saat ini menjadi Kaprodi Pascasarjana HKI sebenarnya punya peluang jaringan eksternal, mengingat pengalaman di bidang advokasi dan hukum pidana. Hanya saja, pengapesannya yaitu basik keilmuan di bidang umum atau tidak dalam bidang studi Islam yang menjadi bidang garapan utama IAIN. Selain itu, beliau juga bukan kader NU. Alhasil, peluang keterpilihannya sangat kecil.
Lantas bagaimana dengan yang lain? Semoga ada kesempatan saya melanjutkan catatan ini. Wallahu a’lam.
Cirebon, 09-10 November 2022