Filantropi atau kedermawanan, adalah itikad kemanusian. Filantropi lazimnya muncul ke permukaan manakala suatu kelompok masyarakat mengalami masalah: bencana, bantuan penyembuhan orang sakit, pengumpulan donasi, donor darah. Perilaku tadi, adalah cermin dari filantropi yang tidak sebatas memberi. Namun, filantropi bercita-cita mewujudkan keadilan sosial dari rakyat dan untuk seluruh rakyat.
Di Indonesia, filantropi begitu erat dengan Islam. Maka, muncullah istilah filantropi Islam. Filantropi Islam merupakan kedermawanan umat Islam yang berwujud pemberian zakat, infak, sedekah, wakaf (ZISWAF) kepada yang pantas menerimanya, yang biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun sipil.
Nah, kasus ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang belakangan ini menggemparkan masyarakat Indonesia menjadi rapor merah filantropi Islam di Indonesia. Yang mana, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga kemanusiaan semakin menurun. Namun, apakah hanya ACT saja yang menyelewengkan dana umat untuk kepentingan lain? Juga, seperti apa dinamika per-filantropi Islam-an di Indonesia dulu dan kini?
Amelia Fauzia, melalui buku yang bertajuk Filantropi Islam: Sejarah Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia (Penerbit Gading, 2016) mengajak pembaca yang budiman menjelajah ke masa lampau mengenai dinamika dan pertautan antara masyarakat sipil dan negara yang berebut urusan filantropi Islam di Indonesia mulai dari masa Islamisasi Indonesia hingga pasca-reformasi.
Pada masa Kerajaan Aceh urusan filantropi Islam—khususnya zakat dan sedekah—di atur oleh pemerintah melalui raja. Yaitu, Sultan Iskandar Muda dan seterusnya (1607-1636) mewajibkan umat Islam menunaikan sedekah untuk fakir dan miskin setiap hari jumat. Sebagaimana yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniri melalui Bustan as-Salatin, yaitu:
“Dan ia-lah yang berbuat Masjid Baitu’r Rahman dan beberapa masjid pada tiap-tiap manzil. Dan ia-lah yang mengeraskan agama Islam dan menyorohkan segala ra’ayat sembahyang lima waktu, dan puasa Ramadhan dan puasa sunnah, dan menegahkansakalian mereka itu minum arak dan berjudi. Dan ia-lah yang membi’atkan baitu’lmal, dan ‘ushur negeri Aceh Daru’s-Salam, dan chukai pekan. Dan ia-lah yang sangat murah kurnia-nya ajab segala ra’ayat-nya, dan mengurniani sedekah akan segala fakir dan miskin pada tiap-tiap berkangkat sembahyang Jum’at.” (hlm. 81)
Selanjutnya, kita beranjak ke masa kolonial. Di masa ini, pemerintah Hindia-Belanda juga ikut campur dalam tata kelola filantropi. Alasannya, agar tidak terjadi penyelewengan dana derma yang dilakukan masyarakat saat itu. Sedari itu, pemerintah secara ketat menginginkan dana atau kas masjid digunakan untuk kepentingan keagamaan dan bebas dari campur tangan negara. Sebaliknya, masyarakat memiliki kehendak untuk memanfaatkan dana masjid itu untuk menyokong kesejahteraan mereka.
Aturan yang dibuat pemerintah kolonial itu, sebenarnya dimaksudkan untuk merespon terjadi praktik korupsi, dan lebih khusus lagi tentang penyelewengan dana masjid tersebut selain layanan keagamaan atau operasional masjid. Padahal, hal tersebut bertujuan untuk membantu orang miskin, yang merupakan hal mendesak dan sangat dianjurkan dalam hukum Islam.
Namun, kenyataannya, pemerintah kolonial menerbitkan data penyalahgunaan atau penyelewengan dana atau kas masjid yang tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam kurun waktu 1903-1905. Misalnya, di Karesidenan Pekalongan, bahwa seorang pejabat pengawas mengambil f 250 sebagai uang muka untuk membangun sekolah swasta, dan dana operasional masjid sebesar f 600 malah digunakan untuk menolong orang-orang miskin. (hlm. 141). Penyalahgunaan dana umat oleh ACT akhir-akhir ini, sudah terjadi pada masa kolonial. Namun, penyelewengan tersebut masih diperuntukan untuk masalah kemanusiaan dan jelas berbeda dengan ACT yang sudah tiada takut dengan dosa.
Di masa pasca-kemerdekaan, yaitu Orde Lama dan Orde Baru, terjadi tarik ulur kewenangan mengani urusan filantropi Islam. Di satu pihak pemerintah Orde Lama hanya memfasilitasi semua ritual keagamaan, termasuk pengumpulan zakat dan fitrah. Jadi pada masa ini, pemerintah cenderung melestarikan peraturan kolonial yang netral terhadap urusan negara. Dan, di pihak lain, pemerintah Orde Baru—melalui Presiden Soeharto—membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) menjadi tanda bahwa pemerintah saat itu serius dalam mengurusi pengumpulan zakat. Namun, tidak menerbitkan aturan formal tentang zakat.
Kemudian, masa pasca-Orde Baru. Kita menyaksikan “perebutan hak” antara masyarakat sipil dengan negara tentang kewenangan mengurusi kegiatan filantropi Islam. Kita tengok Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Pada tahun 2012, undang-undang itu mengandung pasal-pasal yang dianggap kontroversi.
Kekontroversial itu, misalnya, merujuk kepada larangan dan hukuman pidana terhadap individu maupun lembaga yang menerima maupun mengelola zakat mal dan fitrah di luar BAZNAS dan LAZ yang berafiliasi dengan BAZNAS (pasal 39 dan 41). Perihal itu, berseberangan dengan kebiasaan praktik filantropi Islam di Indonesia, yaitu menyerahkan zakat fitrah kepada panitia zakat di masjid maupun diserahkan langsung kepada yang pantas menerimanya.
Berdasarkan masalah diatas, Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz) dan beberapa organisasi lain—yang berasal dari masyarakat sipi—mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 itu dan usulannya telah diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MA) pada 16 Agustus oleh Komaz. Berangkat dari pertautan ini, kita menyaksikan “perang terbuka” antara masyarakat sipil dan negara. Pada akhirnya, MA hanya mengabulkan beberapa tuntutan, dan dapat disimpulkan pengelolaan zakat—yang merupakan jantung filantropi Islam—masih sentralistik oleh negara melalui Kementerian Agama. (hlm. 265)
Apa yang telah pahami di atas, filantropi Islam di Indonesia mempertontonkan kepada kita, bahwa negara menjadi kuasa dalam hal apapun. Sampai kepada urusan kedermawanan pun diurus. Memang, tujuannya baik. Namun, kalaupun itu terlalu mengikat, masyarakat tentunya kesulitan “untuk bernapas”. Selain itu, buku ini juga mempertontonkan referensi-referensi yang begitu kuno dan membuat kita membayangkan betapa sang penulis begitu gigih memperoleh referensi tersebut.
Begitulah, ihwal filantropi Islam yang ternyata menyulut api pertautan antara warga sipil dan negara. Demikian.
Judul : Filantropi Islam: Sejarah Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia
Penulis : Amelia Fauzia
Jumlah Halaman : xxxiv+375
Penerbit : Gading Publishing
Cetakan : I, Mei 2016
ISBN : 978-602-0809-250
https://alif.id/read/fanam/menelisik-dinamika-filantropi-islam-di-indonesia-b244664p/