Menerka Fenomena ber-Masjid

Setiap dari umat beragama sudah tentu mempunyai rumah peribadatan masing-masing. Begitu juga di Indonesia, sebuah rumah bagi beragam kultur religiusitas. Beragam rumah peribadatan sangat mudah dijumpai disini, ibarat menjaring di kolam yang penuh ikan. Aktivitas ini membentuk suatu arus keramaian religiusitas yang kemudian menelurkan sebuah sikap toleransi antar setiap kepercayaan.

Namun, entah mengapa belakangan rumah peribadatan menjelma menjadi sebuah polemik baru dalam kehidupan beragama dewasa ini. Polemik ini bukan seperti halnya polemik yang di perdebatkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana pada 1935 dalam surat kabar Pudjangga Baru, yang belakangan dikenal dengan Polemik Kebudayaan. Sebuah polemik yang memperdebatkan kemana arah bangsa di masa depan. Polemik ini menyangkut khazanah ber-masjid di Nusantara.

Masjid, sebuah rumah bagi umat. Seperti pelabuhan bagi kapal-kapal (umat) yang gelisah mencari dermaga (agama). Tempat sembahyang ini mempunyai beragam julukan. Orang Jawa mengenalnya dengan istilah langgar untuk sebuah masjid dengan dimensi ruang minimalis. Lain Jawa lain pula penyebutannya, di daerah Minang dan Melayu misalnya. Masjid berukuran kecil itu disebut dengan surau. Imaji surau digambarkan dengan elok oleh AA Navis (1956) lewat novelnya berjudul Robohnya Surau Kami.

Begitu, beragam penyebutan tempat ibadah umat Islam di masing-masing daerah. Namun, kali ini kita tak akan berkelit dengan perdebatan istilah itu. Kita malah lebih tertarik meneroka fenomena ber-masjid dewasa ini.

Kini, masjid pun mampu bersolek. Bergaya sesuai zaman dan selera para pengagumnya. Dikatakan pengagum sebab masjid mengalami pergeseran makna esensial. Belakangan, masjid menjelma menjadi tempat destinasi pariwisata dari berbagai daerah sampai jadi wahana swafoto demi kebutuhan konten berhala gawai mereka. Bergeser jauh dari esensi utamanya sekedar untuk bersujud dan bertaqwa kepada sang Khaliq.

Baca juga:  Kampus Merdeka, Mahasiswa di Tuntut Merdeka Seperti Apa?

Agaknya, ketertarikan pengunjung itu berasal dari bangunan masjid dengan kubah raksasa dan menara menjulang tinggi menusuk angkasa. Bangunan itu pun terlihat megah dipandang bahkan dengan mata telajang sekalipun. Terlebih di malam hari, bangunan itu nampak gemerlap dengan permainan lampu yang cantik. Mungkin, hal ini dinisbatkan sebagai penambah riuh geliat beribadah.

Konon, masjid-masjid itu kegirangan dengan corak arsitektur (gaya) dari luar (timur tengah). Sepertinya seni itu tak hanya menambah ramai khazanah ber-masjid di negara ini. Namun, juga memberi sedikit percikan perdebatan soal kebudayaan Islam di Nusantara yang semakin tersuruk dalam sudut pengarusutamaan kebudayaan Islam di era society 5.0.

Dengan begitu, fenomena ber-masjid di negara ini mengalami sedikit sengatan pengaruh kebudayaan luar. Masjid yang biasanya beratap tiga tingkat, bermimbar kayu, berlantai keramik diselimuti karpet hijau sederhana semakin terasing dengan gaya baru corak ber-masjid dewasa ini.

Masjid dianggap sebagai sebuah kemewahan tersendiri. Ber-atapkan kubah besar, tertutup dan dilengkapi alat pendingin ruangan, bermenara tinggi menjulang sampai lantai marmer berselimut karpet bermotif. Kondisi masjid pun harus tetap bersih dari beragam debu dan kotoran. Tak ayal banyak pegawai (relawan/volunteer) dipekerjakan untuk pekerjaan ini. Stigma mahal, elit dan bersih menjadi realitas ber-masjid era kiwari.

Kilas Balik

Masjid merupakan sarana penting dalam sejarah Islamisasi awal, sejak masa Rasulullah-Khulafaur Rasyidin bahkan sampai dinasti Umayyah-Abassiyah. Masjid selalu memegang peranan penting dalam setiap laju dakwah Islam kala itu. Namun, imaji masjid waktu itu tak terbayang semegah dan semewah realitas masjid zaman sekarang. Dahulu, Nabi dan para sahabat ketika menjalankan ibadah sholat hanya beralaskan pasir, beratapkan rumbia. Tanpa fasilitas parkir eksklusif maupun ruang tertutup dengan mesin pendingin ruangan.

Baca juga:  Hirarki Zaman Dalam Perspektif Hadis

Walau begitu, tempat ini terbukti mampu menjadi epicentrum gerakan Islam baik dalam sarana pendidikan, dakwah Islam maupun ruang pergumulan sosial-budaya muslim masa klasik. Peristiwa ini membawa kita pada ingatan tentang buku karangan Abuddin Nata yang berjudul Sejarah Pendidikan Islam : Pada Periode Klasik dan Pertengahan (2012). Setidaknya ia menjelaskan tentang fungsi vital masjid sebagai sarana pembelajaran masa klasik. Masjid digunakan sebagai tempat menimba ilmu dalam pendidikan Islam masa klasik. Proses pembelajaran ini menggunakan sistem halaqah. Halaqah sendiri merupakan tingkat lanjutan dari pendidikan dasar (kuttab) di masa klasik.

Tak main-main, Rahim sistem pendidikan di masjid mampu melahirkan cendekiawan besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dsb. Walaupun dengan perangkat sederhana dan jauh dari beragam prestise. Masjid mampu menjelma sebagai lembaga pencetak bibit unggul dalam berbagai bidang keilmuan.

Dalam nalar keruhanian orang Jawa misalnya. Masjid juga mempunyai tempat strategis sebagai ruang pergumulan sosial budaya orang-orang Jawa. Masjid atau langgar merupakan salah satu komponen dalam Sapta Mandala Srawung. Konon, gagasan ini dicetuskan oleh Ki Juru Mertani, Patih pertama Kasultanan Mataram Islam.

Bagi orang Jawa, masjid tak hanya dipahami sebagai tempat peribadatan sahaja. Masjid ditempatkan sebagai ruang dialektis. Sebuah tempat bagi berkumpulnya berbagai kalangan masyarakat, menembus sekat-sekat kelas sosial, latarbelakang ekonomi, pekerjaan, gender bahkan usia. Di masjid, orang-orang dapat bertemu, saling bercengkrama, bertukar kabar sampai berdiskusi tentang isu hangat yang sedang mencuat.

Baca juga:  Alif.Id, Jurnalisme Budaya, dan Keislaman Kaum Santri (3): Menyebarkan Gagasan Santri

Aktivitas ini sulit kita temui dalam realitas ber-masjid saat ini. Orang-orang cenderung terlihat eksklusif, acuh-tak acuh dengan sekitar dan meninggikan egosentris masing-masing. Tak ayal, masjid kehilangan pamornya sebagai tempat beribadah juga sebagai ruang pergumulan sosial-budaya.

Di tengah gempuran kebudayaan masjid gaya luar itu. Kini, masjid dengan nilai kearifan lokal khas warisan kebudayaan Islam Nusantara kian terpinggirkan. Padahal, masjid-masjid itu merupakan hasil kebudayaan material awal perjalanan Islam masuk di kepulauan ini. Hal ini tentunya menjadi kekhawatiran bersama sebagai pelaku kebudayaan sekaligus pewaris sah dari kebudayaan Islam khas Nusantara itu.

Walaupun masjid-masjid itu terkesan kuno, tradisional dan bahkan terbelakang jika dilihat dengan kacamata modern. Namun, masjid-masjid itu menyimpan segudang nilai historis yang panjang, arsitektur dengan nilai seni dan filofosi yang tinggi pula. Bahkan masjid-masjid itu masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Sebuah ironi jika kita lebih terpikat dengan kebudayaan dari luar dan enggan untuk memilih merawat, melestarikan dan menjaga kebudayaan bangsa kita yang sudah berlangsung berabad-abad lalu.

Sebagai tanggapan dalam menghadapi arus kebudayaan baru itu. Agaknya asas al-muhafadhotu ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah ( memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik) harus senantiasa menjadi pegangan kita dalam setiap laku kebudayaan sekaligus alat filterisasi dalam menghadapi arus keramaian kebudayaan dari luar itu.

https://alif.id/read/dkw/menerka-fenomena-ber-masjid-b247778p/