Oleh M Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU
Mengapa harga minyak goreng bisa melambung tinggi? Saya akan merunutnya dari hulu ke hilir.
Pertama, minyak goreng adalah produk olahan dari minyak kelapa sawit (CPO). Indonesia adalah produsen sekaligus eksporter CPO terbesar di dunia. Tahun 2021, produksi sawit Indonesia mencapai 51.3 juta ton (Grafik 1). Dari jumlah itu, 65% (34,2 juta ton) diekspor. Sisanya 18,4 juta ton (35%), dipakai sendiri (Grafik 2). Pemanfaatan konsumsi domestik adalah untuk pangan, termasuk minyak goreng, sebanyak 49%, lalu oleokimia 11%, dan biodiesel 40%.
Kedua, produsen sawit terbesar adalah korporasi swasta (Grafik 3). Mereka kini sedang mendapat rezeki nomplok. Harga CPO naik gila-gilaan. Ini kenaikan tertinggi sejak 2011. Harga per ton mencapai US$1.345. Di awal pandemi, harga sempat terpuruk di level US$577 pada Mei 2020 (Grafik 4). Mengapa harga CPO terkerek tinggi? Ada faktor pemulihan ekonomi pasca pandemi. Lainnya dampak berantai karena kenaikan harga komoditas primer yang dipimpin oleh minyak mentah. Ada juga faktor penurunan produksi CPO oleh dua produsen utama, Indonesia dan Malaysia. Produksi CPO Indonesia turun tipis, dari 51,6 juta ton pada 2020 ke 51.3 juta ton pada 2021.
Ketiga, dunia sedang galau untuk menggeser energi fosil. Energi non-fosil dibaurkan agar mengurangi konsumsi fosil yang tidak ramah lingkungan. Di sektor transportasi, dunia memperkenalkan biofuel yang diolah dari campuran fosil dan minyak nabati. CPO dipakai sebagai komponen HSD yang dikenal dengan biosolar. Pemerintah menetapkan kebijakan mandatori biodiesel, dengan program B20 dan B30. Pertamina memproduksi biosolar, dengan kandungan CPO 20 persen dan 30 persen. Ambisinya bahkan B100, artinya 100% dari CPO. Akibatnya terjadi ‘perang’: sawit untuk pangan atau untuk energi. Jatah untuk pangan berkurang, konsumsi untuk energi naik. CPO untuk biodiesel naik dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020 dan 7,34 ton pada 2021.
Keempat, di tengah kenaikan harga dan realokasi konsumsi CPO, produsen minyak goreng menyesuaikan harga. Harga migor di pasaran melambung. Konsumen menjerit, pemerintah turun tangan. Pemerintah menetapkan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation). Cara pertama adalah memaksa eksportir untuk memasok kebutuhan CPO dalam negeri. Cara kedua adalah dengan menetapkan HET. Pemerintah menetapkan harga migor di tingkat konsumen di kisaran Rp 11.500 – Rp 14.000 per liter. Apa yang terjadi? Produsen melawan, spekulan bermain. Migor lenyap di pasaran. Distributor menimbun. Konsumen mengalami panic buying. Harga semakin ugalan-ugalan. Pemerintah kalah. Lalu HET dicabut. Harga migor kemasan 2 liter tembus Rp50 ribu. Ini pelajaran menarik dalam teori ekonomi politik: pemerintah keok melawan pasar. Mereka gagal menangani kartel migor. Pemerintah akhirnya melepas migor ke harga keekonomian. Di lapak-lapak minimart kembali muncul migor-migor keemasan unggulan seperti Bimoli, Filma, Delima, Sanco, Fortune, dan Sania. Pemerintah mempertimbangkan subsidi migor dengan mengambil dana BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Apa kuat? Kalau iya, bisa tahan berapa lama?
Kelima, ini masih penjajakan teoritis. Pemerintah keok melawan pasar karena tidak punya lengan langsung (state arm). Ini beda dengan sektor migas. Pemerintah bisa ‘menginjak’ Pertamina untuk menahan harga karena dia alatnya negara. Atas pertimbangan stabilitas politik, Pertamina diminta untuk menjual tekor BBM, jauh lebih rendah di bawah harga pesaing. Ini tidak bisa dilakukan di sektor sawit, yang didominasi swasta (Grafik 5). Apa ini saatnya Pemerintah mengelola sawit, melalui BUMN, yang mengontrol hulu hingga hilir, dari produksi CPO hingga produk turunannya seperti minyak goreng. Kita punya PTPN, yang kerjanya loyo dan utang menggunung. PTPN hanya mengelola hulu, tetapi tidak memiliki pabrik hilir untuk memproduksi produk-produk turunan CPO. Seandainya ada BUMN, dengan kualifikasi seperti itu, mungkin Pemerintah tidak akan semalu sekarang ‘dikerjain’ swasta.