Mengapa Ulama Sering Berselisih Pendapat dalam Menetapkan Hukum?

Mungkin sebagian kita pernah mbatin mengapa banyak sekali perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai suatu hukum? Bukankah sumber mereka dalam berijtihad satu, yakni Al-Quran dan sunah Rasul. Namun mengapa hasil fatwanya selalu saja berbeda di tiap mazhab.

Tidak berhenti di mbatin saja. Lebih lanjut mungkin ada yang mengambil sikap curiga dan sinis terhadap perbedaan tersebut, “adakah perbedaan itu disebabkan oleh karena ada sebuah pesanan atau kepentingan tertentu?”.

Sikap overthinking seperti itu menurut saya wajar. Namun baiknya kita berhenti untuk su’udzon dan belajar lebih mendalam lagi, apa penyebab mereka berselisih dalam menghukumi suatu masalah. Hingga akhirnya kita bisa bijak jika suatu saat mendapati perbedaan dalam praktik keagamaan. Tidak gampang kagetan dan sedikit-sedikit men judge orang berdosa atau malah kafir.

Misalnya saja, mazhab Maliki berbeda dengan mazhab yang lain dalam menghukumi bahwa anjing tidak najis, meski bekas jilatannya tetap wajib dibasuh tujuh kali sekaligus dengan campuran debu. Atau dalam hal, apakah menyentuh perempuan non mahram bisa membatalkan wudhu ketika tanpa syahwat. Menurut Imam Syafii, iya bisa membatalkan wudhu. Sedangkan menurut tiga mazhab mu’tabarah yang lain tidak bisa membatalkan wudhu. Tentu hal ini, sedikit aneh bukan, jika sumber yang mereka gunakan dalam mencetuskan hukum itu sama?

Untuk merespon hal-hal demikian, saya akan berbagi pengetahuan yang saya dapati saat belajar mengenai Fikih Perbandingan Mazhab. Nanti akan begitu terkejutnya kita ketika tengah menyadari jika ternyata sebagian besar dari perbedaan itu justru malah ditengarai oleh sumber primer umat Islam itu sendiri, yakni Al-Quran dan Hadist. Menarik bukan?

Saya akan merangkumnya menjadi lima bagian:

  1. Perbedaan dalam memahami Al-Quran

Tentu semua kita tahu bahwa sumber primer pertama yang dijadikan rujukan umat muslim adalah Al-Quran. Namun para ulama mazhab seringkali memiliki kesan dan pesan yang berbeda saat mengulik ayat Al-Quran. Sehingga hasil hukum yang mereka simpulkan dari sebuah ayat pun beragam.

Baca juga:  Gincu Merah Sastra Pesantren

Perbedaan tersebut seringkali terjadi karena bahasa-bahasa yang digunakan dalam Al-Quran memiliki ambiguitas. Misal satu lafadz memiliki dua makna yang sama-sama kuat. Ambil saja contoh kata qur’ (bermakna suci atau haidh) saat Al-Quran mencoba menerangkan lama waktu iddah bagi perempuan yang ditalak. Di sana disebutkan masa idahnya adalah tiga qur’, oleh karena kata tersebut memiliki dua makna maka kesimpulan yang dihasilkan pun ada dua pula. Hanafiyah dan Hanabalah misalnya, karena mereka memaknai kata qur’ dengan haidh maka menghukumi bahwa masa idah perempuan yang ditalak adalah tiga kali masa haidh. Sebaliknya, Syafiiyah dan Malikiyah yang memaknai kata qur’ dengan arti suci menghukumi lama masa idah perempuan yang ditalak adalah tiga kali masa suci.

Ini baru dalam satu kasus dan satu contoh. Yang lain? Masih banyak sekali.

  1. Perbedaan dalam memahami Hadist Nabi

Dalam sumber primer kedua umat muslim ini para ulama juga banyak mengalami selisih pendapat. Soalnya, mereka memiliki klasifikasinya tersendiri dalam memandang serta menyikapi sebuah hadist. Menurutnya, hadist itu dibagi menjadi dua macam: mutawatir, dan ahad.

Hadist mutawatir adalah hadist yang periwayatannya bisa dibilang kredibel dan jauh dari kemungkinan berbohong karena banyaknya perawi. Jumlahnya tentu sangat sedikit. Hadist mutawatir dibagi dua: qath’i dilalah, hadist yang menggunakan lafadz-lafadz lugas yang bersifat non debatable sehingga kesepakatannya hanya satu. Dan satu lagi dhony dilalah, hadist yang menggunakan lafadz-lafadz yang memiliki makna global, ganda, atau ambigu. Di macam yang kedua ini biasanya para ulama seringkali berselisih hukum satu sama lain.

Baca juga:  Haji Naik Kapal Laut, Bisa Khatam Alquran

Sedangkan hadist ahad adalah hadist yang periwayatannya tidak mencapai batas tawatur (sebuah bilangan yang tidak mungkin orang di dalamnya sepakat melakukan kebohongan). Dalam menyikapi hadist ini para ulama sangat sensitif, sebab eksistensinya saja masih diragukan, apakah hadist ini bisa dianggap ada atau tidak. Kalau dianggap ada dalam derajat mana ia bisa digunakan sebagai hujjah (argumentasi).

  1. Perbedaan Ulama dalam Kuantitas Hafalan Hadist

Jamak kita ketahui bahwa pada masa sahabat kadar kedekatan mereka dengan Rasul itu berbeda-beda. Hal itu tentunya menuntut perbedaan pada kadar periwayatan hadist pula yang menjadi rujukan hukum. Sehingga terjadilah perbedaan hukum diantara mereka, tatkala satu sahabat yang memiliki banyak riwayat hadist ditanyai satu permasalahan Ia menjawabnya dengan hadist. Sedangkan sahabat lain yang perbendaharaan hadistnya lebih sedikit menjawab permasalahan tersebut dengan ijtihad ( ra’yi) nya sendiri.

  1. Perbedaan Metode Ijtihad

Jauh sejak masa sahabat, umat Islam telah memiliki dua akademi hukum yang nantinya menelurkan manhaj atau metode ijtihad berbeda pada generasi selanjutnya. Dua akademi tersebut adalah akademi hadist di Madinah yang dipimpin oleh Abdullah bin Umar dan akademi ra’yi atau nalar di Kufah yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud. Dari dua akademi inilah nantinya para mujtahid muthlaq lahir di periode abad ke-1 dan 2 hijriah.

Sumber dalilnya kemudian terbagi menjadi dua: ada yang bersifat muttafaq alaih (disepakati bersama) dan juga mukhtalaf fih (terjadi perselisihan). Dalil yang muttafaq alaih diantaranya adalah Al-Quran, Hadist, dan ijmak. Sedangkan dalil atau metode yang masih mukhtalaf fih diantaranya; qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dlsb.

Baca juga:  Riwayat Selawat Badr yang Mendunia

Dari situ saja kita sudah mafhum mengapa ulama berbeda pendapat? Lah wong, metode yang digunakan saja sudah beda. Imam Hanafi misalnya sangat luwes menggunakan istihsan dalam berijtihad, sementara Imam Syafii membantah habis-habisan metode ini. Yang lain, Imam Malik sangat luwes menggunakan maslahah mursalah, saat yang lain mengabaikan metode tersebut.

  1. Perbedaan yang Mengikuti relevansi waktu dan Tempat

Kita tentu tidak asing dengan satu adagium yang berbunyi, al-Islam shalihun li kulli zaman wa makan, islam itu relevan untuk setiap masa dan tempat. Sebagaimana kita tahu permasalahan-permasalahan yang menimpa kita umat manusia sangatlah beragam, bergantung pada masa dan tempatnya. Di Mesir punya iklim dan budaya yang berbeda dengan di Indonesia. Hal ini tentu memicu adanya pola pikir yang berbeda untuk menyelesaikan satu masalah agar menjadi maslahah. Satu permasalahan ada banyak jawaban, asal pangkalnya adalah bangun (paradigma) keilmuan.

Lalu bagaimana kita menyikapi perselisihan tersebut? Mari kita kembali tengok sikap bijak para ulama terdahulu kita. Imam Malik pernah berkata, “aku hanyalah seorang manusia yang bisa benar juga bisa salah. Jika kalian mendapati pendapatku yang sesuai Al-Quran dan sunah maka ambilah. Dan jika tidak sesuai maka ambillah.” Sungguh ungkapan yang sangat bijak, betapa beliau hanya mementingkan sebuah kebenaran pendapat alih-alih mengunggulkan pendapatnya sendiri. Sebenarnya beliau hanya ingin kita bercermin, bahwa semua mungkin salah dan mungkin benar maka sering-seringlah introspeksi diri dan hindari menyalahkan orang lain. Sekian wassalam.

Sumber:

Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd, cet Dar Ibn Hazm

Fiqh Al-Ibadah Al-Muqaran, Jamal Muhamad Yusuf Ali, cet Jami Al-Azhar

Tarikh Tasyri’, Rasyad Hasan Khalil, cet Jami Al-Azhar

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/amj/mengapa-ulama-sering-berselisih-pendapat-dalam-menetapkan-hukum-b247982p/