Mengarifi Tari Lengger sebagai Cerminan Diri

Terdengar lantunan parikan menyelingi alunan gamelan yang ditabuh para niyaga dari salah satu paguyuban kesenian tari topeng lengger Wonosobo.

“Aweh pangan pangeran aweha pangan/Aweh sandang pangeran aweha sandang/Aweh udan pangeran aweha payung/Dalan lunyu pangeran aweha teken/Duh gusti pengeran kula”

Selaras dengan pesan Sunan Drajat; “Wenehono teken marang wong kang wutho//Wenehono mangan marang wong kang luwe//Wenehono Busono marang wong kang Mudha//Wenehono yupan marang wong kang kudhanan”

Wenehono teken marang wong kan wutho, artinya kita sebagai manusia harus menolong orang yang lemah. Manusia sebagai mahluk sosial harus memiliki responsibilitas sosial yang tinggi, ketika ada orang buta, maka hendaknya kita memberinya sebuah tongkat agar ia dapat berjalan. Ini adalah makna harfiah, tetapi lebih dari itu, makna kalimat tersebut dapat diperluas bahwa kondisi seseorang menjadi buta matanya hatinya adalah ketika ia melupakan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam segala hal apapun salah satu kuncinya yaitu untuk selalu bersyukur serta tolong menolong kepada sesama.

Dalam pagelaran tari lengger ini biasanya dibuka dengan tembang diatas kemudian dilanjut parikan, “tolak balak” yang isinya dari segi arah mata angin apapun semoga selama pertunjukkan dimulai diharapkan lancar dan maksimal. Tidak lupa sholawat “Sholla allahu ‘alaihi wasalam” menyelingi disetiap parikan dilantunkan.

Baca juga:  Sisi Lain Malam Doa untuk Palestina

“Bilahi saka wetan tinolak baliha ngetan/la ilaha illa Allah/ Iman slamet tak suwun baliha slamet/ Shollallahu ‘alaihi wasalim/bilahi saka kulon tinolak baliha ngulon/la ilaha illa Allah/bilahi saka dhuwur tinolak baliha dhuwur/bilahi saka ngisor tinolak baliha ngisor/iman slamet tak suwon baliha slamet/ Shollallahu ‘alaihi wasalim/.”

Setelah itu baru babak “kinayakan” membuka tari lengger ini pentas, penari lengger cewek bersama penari laki-laki panggung. Sebar bunga disetiap gerakan di setiap penjuru dengan bergantian menari bergiliran. Kinayakan adalah sebagai disclaimer awal, melandasi bahwa selama pagelaran lengger berlangsung pesan yang disampaikan yaitu diri ini untuk selalu memfilter, menyaring hal yang baik sebagaimana kata dasarnya yaitu “ayak”.

Di Kabupaten Wonosobo sendiri tari lengger merupakan tari tradisional yang biasanya dipentaskan oleh 2 orang penari. Satu laki-laki dan satunya perempuan. Penari laki-laki memakai topeng sesuai karakter dan yang perempuan memakai pakaian tradisional, seperti: jarit, sampur atau slendang. Berbeda dari lengger di Banyumas hanya dimainkan oleh pemain wanita saja dengan pakaian hampir sama, hanya saja tidak menggunakkan jamang (baca: penutup kepala) tetapi dengan rambut digelung.

Tari lengger dalam penyajiannya memiliki beberapa unsur antara lain gerak, musik atau iringan, busana, rias, tempat pertunjukkan, dan properti. Gerakan dasarnya pada semua tarian dalam kesenian lengger sangat sederhana dan sama, tetapi yang membedakan adalah pembawaan karakter masing-masing dari jenis tarian, ketika menari lengger pun diselingi dengan memakai topeng, biasanya dipakai pada pertengahan penampilan.

Baca juga:  Kompetisi Pelajar FFP 2019 Dibuka Hingga Akhir Mei

Dari segi topeng itu sendiri gerak tarinya berbeda beda orang Wonosobo menyebutnya, alusan, gagahan, gacul. Nah nantinya model gaya atau versinya pun ada versi njambunan dan njantinan (nama wilayah di Wonosobo sebagai role model gaya tari lengger). Dimana dari segi alunan gamelan condong main di bendhe dan selingan parikan atau syiir dilantunkan bersama-sama (gerongan) secara sorak-sorai dan satunya lebih dengan model melantukan syiir tersebut dilantukan oleh sinden. Namun itu semua tidak ada pengaruh apapun, yang terpenting adalah nguriuri kebudayaan Jawa agar tetap lestari.

Sebenarnya pagelaran lengger secara utuh itu sama saja seperti seni drama tradisional yang ditambah seni tari dan dialog, namun yang menjadi pusat perhatian hanya seni tarinya saja. Jaman dahulu, lengger mempunyai kesan yang kurang baik karena sering disamakan dengan tari ronggeng, tapi jaman sekarang sudah berubah, bahkan banyak sekali bermunculan grup-grup lengger profesional seperti lahirnya kesenian Sindhung Lengger sebagai tari yang berbijak pada lengger.

Meski dengan munculnya kreasi baru, namun lengger yang masih dengan tradisi aslinya tetap dikenal masyarakat dan biasanya dipentaskan dalam acara resmi, hari besar, dan upacara ritual desa. Tari lengger dapat dikembangkan sebagai bentuk keseniaan yang difungsikan sebagai hiburan dan mempererat hubungan antar sesama masyarakat.

Baca juga:  Islam di Banjar (2): dari Syekh Arsyad hingga Kontestasi Ustaz Baru di Medis Sosial

Dari gerakan per gerakan, kebyak-kebyok, seblak sampur sampai lampah sekar serta pola lantai dan teori terkait dengan seni tari dalam lengger pun bisa digali maknanya. Misalnya, ada gerakan yang menyiratkan bahwa diri kita ini disuruh untuk selalu mengambil perkara yang baik-baik dan menghilangkan yang buruk. Sebagaimana gerak merupakan unsur pokok pada diri manusia dan merupakan alat bantu yang paling tua dalam kehidupan manusia, untuk mengemukakan keinginan atau menyatakan refleksi spontan di dalam jiwa.

Gamelan atau iringan musik yang menyelingi menambah syahdu dan khusyu’ ketika menonton terlebih dari penari itu sendiri. Apabila diresapi setiap gerakan tari tersebut adalah gambaran sifat jamal dari Tuhan, keindahan dan rasa mahabbah kita kepada Kanjeng Nabi pun tertuang disetiap gerakan tari lengger. Nah hal ini adalah bagian muhasabah diri untuk hitung-hitungan refleksi kedalam diri apakah kita sudah mencerminkan akhlak dari beliau setiap langkah kita apakah sudah sesuai dengan koridor yang ditentukan dan tepat? Wallahu’alam.

https://alif.id/read/mukhamad-khusni-mutoyyib/mengarifi-tari-lengger-sebagai-cerminan-diri-b247145p/