Laduni.ID, Jakarta – Kata sunan memang sangat lumrah di kenal oleh masyarakat indonesia sebagai seorang manusia yang tinggi ilmu agamanya, terutama ketika bisa berdakwah dan menyampaikan risalah islamiyaah bagi orang awwam terlebih khusus yang ada di daerah Jawa ini.
Perjalan dakwah dan syiar yang dilakukan oleh para Sunan ini memang sangatlah panjang dan berliku dalam mengajak orang-orang awam (non muslim) ke jalan yang sangat di ridhoi oleh Allah SWT yaitu agama islam, sehingga jasa dan pengorbanannya kini sangat besar sekali.
Lalu bagaimana penjelasan mengenai istilah daripada sunan tersebut menurut literatur bahasa indonesia? Berikut penerangan yang di ambil dari beberapa sumber terpercaya.
Sunan, dalam budaya suku-suku di Pulau Jawa, adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Kata ini merupakan penyingkatan dari susuhunan. Kata ini berarti tempat penerima “susunan” jari yang sepuluh, atau dengan kata lain “sesembahan”.
Pada periode sejarah Jawa pra-Islam gelar ini jarang dipakai atau tidak banyak didokumentasi. Pada awal-awal masuknya Islam di Jawa, gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Selain sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu, atau tuan guru. Gelar “sunan” atau “susuhunan” juga diberikan kepada penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat (Kasunanan Surakarta).
Gelar penguasa Jawa
Pemakaian lainnya untuk istilah “sunan” dan “susuhunan” adalah sebagai gelar bagi raja-raja dari Kesultanan Mataram semenjak Amangkurat I hingga suksesi pada Kasunanan Surakarta sampai sekarang. Ini adalah warisan Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam, yang mengklaim sebagai Sultan dan Sayidin Panatagama, yaitu raja dan pemimpin agama bagi masyarakat Jawa.
Walisongo
Walisongo adalah sembilan orang penyebar agama Islam di pulau Jawa yang paling terkenal di antara mereka yang mendapat sebutan sunan. Istilah Walisongo berasal dari kata wali (bahasa Arab, yang berarti wakil, dan sanga (bahasa Jawa, yang berarti sembilan). Mereka dianggap sebagai mubaligh agung, baik dari segi ilmu agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomahnya terhadap kehidupan masyarakat dan kenegaraannya. Berikut ini adalah daftar sembilan wali yang secara umum dianggap sebagai Walisongo tersebut:
Sunan Walisongo
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4. Sunan Drajat atau Raden Qasim
5. Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Kalijaga atau Raden Said
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Sunan Sunan lain
Beberapa mubaligh lainnya selain Walisongo, khususnya yang terlibat dalam masa awal penyebaran agama Islam di Jawa, juga disebut sunan. Berikut ini adalah beberapa mubaligh lainnya yang mendapat gelar sunan:
1. Sunan Bangkalan
2. Sunan Bungkul
3. Sunan Dalem
4. Sunan Geseng, adalah murid Sunan Kalijaga
5. Sunan Ngadilangu
6. Sunan Ngerang
7. Sunan Ngudung, adalah ayah Sunan Kudus
8. Sunan Prawata, adalah putra sulung Sultan Trenggana
9. Sunan Sendang Duwur
10. Sunan Tembayat atau Sunan Pandanaran II, bupati kedua Semarang
11. Sunan Wilis
12. Sunan Lawu, Raden Gugur, putra Brawijaya-V
Penggunaan dalam masyarakat Sunda
Orang Sunda memakai “sunan” untuk menyebut orang yang memiliki kedudukan terhormat (Susuhunan). Salah satu contohnya adalah penyebutan tokoh Sunan Ambu, sosok perempuan mulia yang merupakan “ibu” dari kebudayaan dan peradaban Sunda.
Wallahu A’lamu Bishowaab.
Sumber: piss-ktb.co
https://www.laduni.id/post/read/80628/mengenal-istilah-sunan-dalam-literatur-bahasa-indonesia.html