Bagi sebagian orang, membahas seputar seksualitas secara terang-terangan masih dianggap tabu. Banyak yang merasa hal ini terlalu vulgar untuk dibicarakan sehingga masyarakat lebih memilih untuk menutup diri. Padahal pembahasan tentang seks juga tidak kalah penting, melihat maraknya kasus pelecehan seksual akhir-akhir ini. Korbannya pun berada di rentang usia yang beragam, dan tidak sedikit korbannya adalah anak-anak yang masih dibawah umur. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberi edukasi tentang seks sejak dini.
Tidak sedikit yang menganggap bahwa sex education ialah pembahasan yang terlalu kebarat-baratan sehingga masyarakat kita yang masih kental dengan tradisi ketimuran merasa asing dengan hal ini. Tapi siapa sangka, masyarakat Indonesia di daerah timur khususnya masyarakat Bugis-Makassar ternyata telah memiliki kitab panduan berhubungan suami istri sejak lama. Jika India dikenal dengan kitab Kamasutra nya, Arab dengan Qurratul ‘Uyun nya, Jawa dengan Chentini nya, maka bugis memiliki kitab Assikalaibineng.
Assikalaibineng merupakan kata yang diambil dari bahasa bugis. Secara harfiah, assikalaibineng berasal dari dua kata, yaitu lai yang berarti laki-laki atau suami dan bineng atau bene yang berarti perempuan atau istri. Apabila diartikan secara keseluruhan, assikalaibineng berarti cara berhubungan suami-istri. Sedangkan dalam bahasa Makassar disebut passikalabiniang. Pada dasarnya kitab ini berisi tentang tuntunan hubungan suami-istri yang diatur dalam budaya Bugis-Makassar yang kental dengan nilai-nilai keislaman.
Pada hakikatnya kitab ini merupakan tuntunan masyarakat Bugis-Makassar untuk membangun rumah tangganya, meliputi tata cara hubungan seksual yang baik antar suami-istri, teknik-teknik yang dilakukan sebelum dan sesudah berhubungan badan, teknik berhubungan badan untuk penentuan jenis kelamin anak, waktu-waktu yang baik atau buruk untuk berhubungan, serta mantra-mantra dan doa-doa yang dibacakan saat sebelum dan sesudah berhubungan.
Pada awalnya Assikalaibineng ini hanyalah sebuah pembelajaran eksklusif yang diajarkan secara turun-temurun dan dikhususkan kepada para bangsawan Bugis-Makassar saja. Manuskripnya tersebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan dan tidak utuh. Oleh karena itu pengarang aslinya belum dapat diketahui secara pasti. Kemudian Muhlis Hadrawi yang merupakan seorang Filolog dari Universitas Hasanuddin mengumpulkan manuskrip-manuskrip tersebut untuk diterjemahkan lalu diterbitkan menjadi sebuah buku pada tahun 2009. Buku itu diberi judul Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis.
Di dalam bukunya, Muhlis Hadrawi menjelaskan bahwa referensi utama yang ia gunakan adalah 44 manuskrip beraksara lontara yang ia kumpulkan sejak tahun 1997. Manuskrip-manuskrip ini ditulis dengan aksara lontara yang berbeda-beda, diantaranya ada 28 manuskrip yang ditulis dengan aksara lontara bugis dan 16 manuskrip ditulis dengan aksara lontara Makassar. Aksara yang digunakan pun bermacam-macam, yaitu sulapa eppa, jangang-jangang, dan serang.
Karena konten Assikalaibineng ini memadukan unsur budaya Bugis-Makassar dengan nuansa keislaman yang sangat kental, naskah ini diperkirakan berasal dari abad ke-17 dimana Tasawuf Islam tengah berkembang pesat di kalangan Bugis-Makassar. Pada masa itu Tasawuf juga mengajarkan aspek-aspek seksualitas hingga ke derajat pemahaman seksual yang paling tinggi, yaitu spiritual seks. Menurut Muhlis Hadrawi, seks dalam naskah Assikalaibineng tidak hanya sebagai aktivitas biologis saja. Konteksnya ini telah menjadi bagian dari sistem sosial Bugis-Makassar yang didasari nilai-nilai Islam.
Meskipun kitab ini disebut-sebut sebagai Kamasutranya orang Bugis, pembahasan yang terkandung dalam Assikalaibineng ini sangat menonjolkan nilai keislaman. Dapat dilihat dari bagaimana kitab ini menganjurkan untuk mengucap basmalah dan berwudhu sebelum berhubungan. Selain itu kitab ini juga menyarankan pada pengantin untuk melakukan hubungan badan setelah shalat Isya karena jarak waktu antara Isya dan Subuh cukup panjang sehingga para pengantin tidak perlu merusak wudhunya.
Dalam kitab ini juga disebutkan bagaimana Sayyidina Ali memperlakukan istrinya (Fatimah) ketika hendak berhubungan. Sang pria disebut sebagai Ali (sahabat Rasulullah SAW) dan sang perempuan disebut sebagai Fatimah (putri Rasulullah SAW). Saat sang pria memegang tangan perempuannya, dianjurkan bersyahadat dan berniat malaikat Jibril yang menikahkan dan Nabi Muhammad SAW yang menjadi walinya.
Muhlis Hadrawi menerjemahkan salah satu manuskrip yang ia peroleh, “Inilah pengetahuan dari Baginda Ali ketika hendak berhubungan dengan Fatimah. Malam Jumat dia mencium ubun-ubun sebab di situlah maninya berada, Sabtu dia mencium kepalanya, sebab di situlah maninya berada, malam Ahad, Ali mencium mata Fatimah sebab di situlah maninya berada, malam Senin diciuminya perantara keningnya” Dalam Assikalaibineng, titik pusat rangsangan tertinggi pada perempuan disebut mani.
Kitab ini banyak menjelaskan tentang titik-titik rangsangan pada perempuan dan siklus perubahannya yang sesuai dengan siklus menstruasi. Dalam manuskrip lain juga disebutkan bahwa perempuan memiliki 7 titik rangsangan yang menjadi daerah sensasi saat malam pertama. Tujuh titik tersebut berbeda setiap harinya, tergantung hari apa malam pertama tersebut berlangsung. Ketujuh titik itu ialah Buwung (ubun-ubun) pada malam Jum’at, Ulu (kepala) pada malam Sabtu, mata pada malam ahad, Lawa Anning (perantara alis) pada malam Senin, Inge’ (hidung) pada malam Selasa, Pangolo (payudara) pada malam Rabu, dan Uluwati (ulu hati) pada malam kamis.
Meski kitab ini merupakan panduan untuk berhubungan suami-istri, bahasan dari kitab ini tidak hanya membahas hal-hal yang erotis saja. Kitab ini juga menegaskan bagaimana cara memperlakukan pasangan dengan baik, dan berhubungan yang berlandaskan rasa saling menghargai. Kitab ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Bugis tidak membenarkan seorang laki-laki memunggungi pasangannya atau berpindah kamar setelah berhubungan badan. Lelaki juga diharuskan untuk tidur bersama pasangannya sambil berpelukan.
Selain itu, Assikalaibineng juga memuat beberapa catatan sejarah serta larangan untuk berhubungan sesame jenis. Orang-orang yang berani melanggar aturan itu akan diberi hukuman berupa pengusiran dari kampung atau diarak ke lautan lepas kemudian ditenggelamkan. Menurut catatan sejarah, sanksi ini juga diberlakukan untuk orang yang suka berburu kepuasan seksual. Dalam riwayatnya, salah satu raja yang menerima hukuman ini ialah raja Bone La Icca. Raja ini kerap melampiaskan nafsunya dengan merebut istri rakyatnya. Hal ini mengundang kemarahan rakyat sehingga sang raja dibunuh dengan cara ditumbuk dadanya. Wallahu a’lam bishawab.
https://alif.id/read/muya/mengenal-kitab-assikalaibineng-sex-education-suku-bugis-b241274p/