Read Time:4 Minute, 20 Second
Oleh Ari Yoseva*)
Hari ini, tiba-tiba saja penulis tertarik membaca dan mencari tahu lebih lanjut mengenai teori Multiple Intellegences yang dipopulerkan oleh Howard Gardner, seorang psikolog Amerika.
Pencarian penulis ini berawal dari banyaknya mention mengenai Multiple Intellegences dan Howard Gardner sendiri. So, hari ini dengan hanya bermodalkan ponsel dan paket internet, penulis mulai menjelajahi jendela ajaib yang menghubungkan dengan orang-orang di belahan dunia lainnya. Jendela ajaib ini tak lain adalah Google.
Ketika mengetik nama Howard Gardner, muncul banyak kumpulan artikel tentangnya yang hampir semuanya ternyata dalam Bahasa Inggris. May I say, woaaahh?
Oke, akhirnya setelah scroll up and down, penulis memilih artikel yang ditulis oleh Michele Marenus dari sebuah web bernama www.simplypsychology.org. Michele adalah seorang asisten riset di Laboratorium Harvard Graduate School of Education, Ecological Approaches to Social and Emotional Learning.
Michele adalah lulusan S2 Harvard di bidang Human Developement and Psychology (Psikologi dan Perkembangan Manusia). Sambil diiringi lagu Charlie Puth “we don’t talk anymore”, saya membacanya kurang lebih 30 menit. And now here I am writing it down to share.
Isi tulisan tersebut intinya, Gardner mengatakan bahwa kecerdasan yang umum kita kenal hanya mengedepankan aspek kognitif saja. Padahal tidak semua orang terlahir seperti itu. Menurutnya, seharusnya ada banyak definisi kecerdasan berdasarkan kompetensi intelektualnya.
Gardner mengembangkan 8 seri kecerdasan yakni linguistic intellegence, logical-mathematical intellegence, spatial intellegence, musical intellegence, bodily-kinesthetic intellegence, interpersonal intellegence, intrapersonal intellegence, naturalist intellegence. Berikut ini penjelasannya.
Pertama, Linguistic Intellegence (Word Smart)
Ini merupakan kecerdasan berbahasa yang berhubungan dengan kesensitifan berbicara dan bahasa tertulis, juga kemampuan untuk mempelajari bahasa, serta dengan kapasitas untuk menggunakan bahasa sebagai alat untuk meraih sesuatu misi (pencapaian).
Orang-orang seperti Willian Shakespeare dan Oprah Winfrey memiliki kemampuan untuk menganalisis informasi serta menghasilkan karya lisan maupun tulisan seperti pidato, buku dan memo. Menurutnya lagi, karir yang tepat untuk orang dengan kecerdasan linguistik adalah menjadi pengacara, pembicara, moderator, penulis, jurnalis, dan kurator.
Kedua, Kecerdasan Logika-Matematika
Yaitu merujuk pada kemampuan menganalisis suatu masalah dengan logika, pengerjaan operasi matematika, dan kemampuan menginvestigasi masalah secara ilmiah (scientifically). Contoh orang-orang dengan kemampuan ini adalah Albert Einstein dan Bill Gates. Lebih lanjut dikatakan bahwa karir yang tepat untuk orang-orang dengan kecerdasan ini adalah dengan menjadi akuntan, ahli matematika, ahli statistik, ilmuwan dan analis komputer.
Ketiga, Spatial Intellegence
Ini merupakan potensi seseorang untuk mengenali dan memanipulasi pola secara luas (seperti yang dilakukan oleh navigator dan pilot). Orang dengan kecerdasan seperti ini di antaranya Frank Lloyd Wright dan Amelia Earhart, mereka memiliki kemampuan untuk mengenali dan memanipulasi gambar spasial dengan skala besar maupun potongan terkecil. Biasanya karir yang cocok adalah sebagai pilot, ahli bedah, arsitek, ahli grafis, dan dekorator interior.
Keempat, adalah kecerdasan Kinestetik yang menjadikan potensi bagian tubuh seseorang sebagai pemecahan masalah atau menghasilkan karya. Contohnya Michael Jordan dan Simone Biles yang memiliki kemampuan untuk berkarya dan menghasilkan performance (pertunjukan). Karir yang tepat untuk orang dengan kecerdasan seperti ini adalah menjadi penari, atlet, ahli bedah, mekanik, tukang kayu, dan terapis.
Kelima, Kecerdasan Bermusik atau Musical Intellegence
Kecerdasan ini merujuk pada kemampuan performa, komposisi, dan apresiasi pola musik. Orang-orang dengan kecerdasan musikal seperti Beethoven dan Ed Sheeran memiliki kemampuan untuk mengenali dan membuat pitch musik, ritme, timber dan tone.
Umumnya orang-orang ini berhasil dalam dunia seni musik seperti komposer, penyanyi, DJ, dan pemusik.
Keenam, kecerdasan interpersonal. Yaitu kemampuan memahami keinginan, motivasi, dan hasrat orang lain dan mampu bekerja sama dengan orang lain secara konsekuen. Contohnya Mahatma Gandhi dan Mother Theresa. Mereka mampu mengenali dan memahami perasaan, hasrat, semangat dan keinginan seseorang. Orang-orang dengan kecerdasan ini akan berhasil sebagai guru/pengajar, psikolog, manager, salespeople dan relasi publik.
Ketujuh, Kecerdasan Intrapersonal
Yaitu kemampuan untuk memahami seseorang secara utuh termasuk keinginan, ketakutan dan kemampuan dirinya. Contohnya Aristoteles dan Maya Angelou, mereka mampu memahami perasaan, semangat dan keinginan dirinya sendiri. Kecerdasan ini bisa membantu seseorang untuk mengerti tujuan hidupnya yang penting dan bagaimana meraihnya. Karir yang cocok adalah menjadi terapis (psikis), psikolog, konselor, wirausahawan.
Kedelapan, Naturalist
Adalah kecerdasan yang meliputi keahlian dalam mengenali dan mengklasifikasikan berbagai macam spesies flora dan fauna di lingkungannya. Contohnya seperti Charles Darwin dan Jane Goddal. Karir yang tepat adalah sebagai botanis, biolog, astronom, meteorolog, geology, dan lain sebagainya.
So, tidak ada istilah pintar atau tidak pintar dalam dunia pendidikan. Setiap anak adalah pintar dari banyak sisi berbeda. Ada anak yang pintar berhitung, pintar bahasa, pintar main gitar, pintar main piano, pintar menggambar, pintar melukis, pintar bernyanyi, pintar main basket, pintar main bola sepak, pintar menulis, pintar memasak, pintar berpidato, pintar karate, pintar taekwondo, pintar bermain peran (acting), dll.
——-
Harusnya semua pihak yang ikut berperan dalam pendidikan mulai sadar dan belajar menerima kenyataan bahwa semua anak adalah “pintar”. Namun dengan tolok ukur yang berbeda dan tidak disamaratakan. Karena sejatinya manusia diciptakan oleh Tuhan “tidak seragam”, namun “beragam”.
Setiap manusia diciptakan unik dan berbeda satu sama lainnya. Tidak pantas jika kita membuat mereka jadi “seragam” dengan ukuran yang kita buat-buat sendiri.
Lalu, muncul pula pertanyaan baru di benak saya. Bagaimana agar semua kecerdasan ini mulai dilirik dan kemudian difasilitasi oleh para pelaku pendidikan, sehingga tidak ada satu pun anak Indonesia yang merasa “tertinggal”. Semua anak merasa diperhatikan dan diistimewakan dengan minatnya. ***
*) Ari Yoseva, Mahasiswi Prodi PAI IAI Cirebon, Pegiat Literasi di UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon