Pada 24 Februari 2022, Didi Kwartanada di media sosial mengumumkan bahwa buku berjudul Tionghoa Merajut Keindonesiaan: Persembahan 80 Tahun Leo Suryadinata telah terbit dalam edisi cetak. Buku itu rampung dikerjakan pada 2021 tapi menanti agak lama agar sampai di pangkuan dan meja pembaca berwujud cetak. Didi Kwartanada memastikan orang-orang ingin mengetahui sejarah Tionghoa di Indonesia dan Asia Tenggara wajib membaca buku-buku garapan Leo Suryadinata dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Kita menghormati sosok intelektual lama tinggal di Singapura. Di sana, ia menulis buku-buku. Di Indonesia, orang-orang membaca buku-buku sering bertema Tionghoa. Buku-buku diterbitkan oleh Sinar Harapan, Grafiti, LP3ES, Penerbit Buku Kompas. Buku-buku dinikmati dan ditanggapi pembaca berlatar masa Orde Baru. Sekian hal dalam buku kadang bersinggungan hal-hal rawan dengan kebijakan-kebijakan penguasa dan tata hidup kebhinekaan di Indonesia. Sosok di Singapura dan rajin menulis buku-buku itu bernama Leo Suryadinata.
Di majalah Tempo, 15 September 1990, dikabarkan: “Leo Suryadinata alias Liauw Kian Djoe, 49 tahun, sudah 9 tahun menjabat lektor seniar pada Jurusan Politik Universitas Nasional Singapura (NUS). Sebelumnya, sekitara 6,5 tahun, ia bekerja di Lembaga Pengkajian Masalah Asia Tenggara, Singapura.” Ia memang di negara tetangga tapi pikiran selalu mengarah ke Indonesia. Ia mengaku jarang ke Indonesia. Buku-buku bergerak dan betah menghuni Indonesia. Kehadiran buku-buku itu mungkin “pengganti” agar kalangan intelektual atau pembaca umum masih mendapat undangan-undangan memikirkan beragam hal mengenai Tionghoa.
Di majalah Tempo, Leo Suryadinata mengaku sebagai “tukang belajar” dari beberapa benua. Kita mengaku sebagai pembaca menagih buku-buku terus ditulis Leo Suryadinata meski mula-mula berbahasa Inggris. Kita memilih edisi terjemahan bahasa Indonesia saja. Pada 1990, terbit buku berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien garapan Leo Suryadinata. Buku kecil terbitan LP3ES, dicetak dengan kertas buram. Buku itu ringan tapi “berat” bagi orang-orang ingin mengetahui biografi para tokoh dan sejarah. “Tema itu yang diminta penerbit, LP3ES,” kata Leo Suryadinata. Buku dikerjakan selama setahun.
Pada 1990, para pembaca mungkin sudah terpesona dengan Mencari Identitas Nasional. Buku itu memiliki pendahulu meski buku sudah sulit ditemukan. Ingatan: “Sekitar tahun 1980, saya sudah pernah menulis biografi orang-orang Cina terkemuka di Indonesia, diterbitkan oleh Gunung Agung. Tapi buku itu sudah kedaluwarsa. Seharusnya itu bisa disempurnakan dan diperluas.”
Kini, buku berjudul Tionghoa Merajut Indonesia: Persembahan 80 Tahun Leo Suryadinata menanti untuk terbaca. Buku sebagai usaha menghormati Leo Suryadinata kelahiran 1941. Kabar menggembirakan bagi orang-orang sudah sejak lama membaca buku-buku garapan Leo Suryadinata. Pembaca baru pun mulai terpanggil untuk mengetahui tema Tionghoa dalam perbukuan di Indonesia dan perhatian akademik di pelbagai negara, dari masa ke masa.
Para pembaca mungkin ingin menikmati dan khatam lagi sekian buku telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku berjudul Dilema Minoritas Tionghoa (1984) diterbitkan oleh Grafitipers. Buku bersampul merah terbaca saat rezim Orde Baru masih saja membuat kebijakan-kebijakan diskriminatif. Leo Suryadinata menjelaskan: “Sebagaimana di banyak negara Asia Tenggara lainnya, Tionghoa di Indonesia terkenal peranannya sebagai minoritas pedagang yang kekuasaan ekonominya tidak disenangi oleh penduduk asli. Masalah Tionghoa tidak terbatas pada ekonomi, tetapi meluas ke bidang budaya, sosial, dan politik.”
Pada 1986, orang-orang membaca buku berjudul Politik Tionghoa Peranakan di Jawa: 1917-1942 terbitan Sinar Harapan. Buku tetap bersampul warna merah, Buku tipis tapi menuntun ke sejarah panjang. “Studi mengenai orang-orang Tionghoa di Indonesia masih merupakan satu bidang yang perlu dijelajahi,” tulis Leo Suryadinata. Sejak lama, studi itu sering dikerjakan sarjana-sarjana asing. Ketekunan Leo Suryadinata membuktikan ada sosok berbeda dalam penulisan buku-buku bertema Tionghoa.
Sejarah politik terbaca: “Sentimen nasionalisme (kebangkitan nasionalisme Cina di kalangang kaum peranakan Tionghoa) mencapai puncaknya pada tahun 1917, yang ditandai oleh pembykaan Konferensi Semarang. Dalam konferensi itu kelompok-kelompok nasionalis diwakili oleh dua harian Pewarta Soerabaia (Surabaya) dan Sin Po (Batavia). Yang tersebut belakangan muncul sebagai pahlawan nasionalisme Cina di Indonesia jajahan, melancarkan kampanye terhadap Undang-Undang Kawula Negara Belanda selama 1919-1920.”
Dua buku merah itu bakal “sempurna” terbaca bila dilanjutkan dengan buku berjudul Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia (2002) terbitan LP3ES. Buku besar dan cukup tebal. Kita membaca setelah keruntuhan rezim Orde Baru. “Masyarakat pribumi dan nonpribumi melihat ‘masalah Tionghoa’ dari perspektif baru,” pengharapan Leo Suryadinata.
Para penikmat sastra penting turut membaca pemikiran Leo Suryadinata. Ia tak selalu membicarakan sejarah, ekonomi, politik, dan sosial. Sastra pun diperhatikan saksama. Leo Suryadinata menerangkan: “Pada masa lampau, orang Tionghoa hanya ditonjolkan sebagai makhluk ekonomi, sehingga orang lupa bahwa minoritas ini juga memiliki kesusastraannya. Kesusastraan mereka terbagi atas dua jenis, sastra peranakan yang ditulis dalam bahasa Melayu/Indonesia dan sastra totok yang ditulis dalam bahasa Tionghoa. Namun, kebijakan negara Indonesia pada zaman Orde Baru telah membatasi, kalau bukan menghabisi, sastra yang berbahasa Tionghoa.” Ingatan sejarah terbaca berbarengan tema-tema besar ditekuni Leo Suryadinata selama puluhan tahun. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/menghormati-tokoh-menikmati-buku-b242300p/