Oleh Mun’im Sirry
Banyak cara menghormati para ulama dan karya-karya besarnya. Ada orang yang memperlakukan karya mereka sebagai panduan hidup, menerima sepenuhnya tanpa mempertanyakan. Apa yang ditulis ulama-ulama kita terdahulu harus diterima apa adanya. Ketentuan mereka jangan sampai dilanggar. Itu memang satu bentuk penghormatan.
Ada juga orang yang menghormati karya mereka dengan mengkajinya secara kritis. Menghormati mereka bukan berarti harus menerima tanpa reserve, melainkan memperlakukannya secara dinamis, dengan asumsi bahwa setiap karya intelektual merupakan produk zamannya.
Di antara keduanya masih ada beragam cara menghormati karya para ulama. Penerimaan dan kritisisme itu soal tingkatan/derajat. Ada orang yang tingkat penerimaan dan/atau sikap kritisnya tinggi atau rendah atau sedang-sedang saja.
Saya memilih menghormati karya-karya mereka dengan mengkaji dan menelitinya. Jika terkait karya sejarah, saya akan mengujinya dengan metode kritk-historis modern. Jika terkait karya teologi, saya akan menawarkan suatu penafsiran dengan perangkat keilmuan yang saya pelajari.
Jika cara saya menghormati karya intelektual para ulama seperti itu dianggap salah bahkan sesat, ya saya tidak peduli. Jika orang menganggap hasil penelitian saya tidak ada yang baru, saya pun tak peduli. Karena orang seperti itu tidak mengerti kebaruan atau orisinalitas dalam riset.
Orisinalitas riset itu tidak semata ditentukan apakah temanya belum pernah dibahas orang lain. Tak ada hal baru di kolong langit ini. Kebaruan dapat dihasilkan melalui berbagai cara. Bisa jadi karena kesimpulannya, bisa jadi karena pendekatannya, bisa jadi karena model pembacaannya.
Adagium dalam dunia akademis adalah bahwa kesarjanaan kita dibangun di atas pundak atau hasil kerja sarjana-sarjana sebelumnya. Yg diperlukan dari seorang pembelajar ialah kreativitas dan berpikir inovatif.