Oleh Masyhari
Dikutip dari aplikasi KBBI V, piutang berarti uang yang dipinjamkan (yang dapat ditagih dari seseorang). Jadi, kata piutang adalah kebalikan dari utang.
Seorang mahasiswa curhat, bercerita. Kata dia, ada temennya yang pinjam uang 100 ribu sama dia.
“Tapi dia susah banget ditagih. Sudah 7 bulan. Setiap ditagih alasannya selalu gak ada uang. Padahal dia pake banyak perhiasan, pakai gelang emas, cincin emas. Saya tahunya dari status WA-nya. Gimana tuh, Pak?” curhatnya.
Merasa pernah mengalami hal serupa, saya respon santai saja.
“Biarkan saja. Ditagih atau diingatkan cukup 1-2 kali saja. Selebihnya diikhlaskan, diniatkan sedekah saja. Kalau dibayar, ya alhamdulillah,” jawab saya.
“Tapi kok ada orang yang begitu?” dia kembali bertanya.
Saya tidak merespon pertanyaan yang satu ini. Saya kira, dia tidak terlalu serius bertanya soal itu, dan mungkin tidak perlu jawaban. Karena memang begitulah realitas dunia dengan model dan variasi manusia: ada yang baik, buruk, jahat, dermawan, pelit, pelupa, pemalu, tak tahu malu, dsb..
“InsyaAllah akan ada pengganti dari yang lain,” jawab saya singkat.
Saya pun berkisah kepadanya, bahwa saya juga pernah mengalami hal yang serupa, meski tidak sama persis. Jumlah piutang saya di angka Rp60 juta oleh seorang kawan.
“Hah?!” balas dia. Sepertinya, dia kaget.
“Sudah 7 tahun berjalan. Dan kini tersisa di angka 30an juta. Padahal dia punya mobil. Ya, mungkin ada kebutuhan atau tanggungan lainnya yang harus didahulukan,” terang saya.
“Tapi berarti dia punya itikad buat bayar kan, Pak?” balas dia.
“Ya,” kata saya.
Mengingat yang curhat ini saya tahu kondisi keuangannya cukup mampu, dan punya penghasilan yang lumayan, saya katakan:
“Kalau cuma 100 ribu, niatkan infaq/sedekah saja. Kalau diniatkan sedekah, dengan ikhlas, bakal mudah segala urusan,” kata saya.
“Ya, anggap saja itu traktiran di kafe.hehe,” lanjut saya bercanda.
“Cuma yang bikin sakit hati, dia bohong terus. Bilang bulan depan bayar. Terus bulan depan lagi. Terus, nyampe udah 7 bulan,” keluhnya.
“Lagian, orang begitu ditagih. Bakal susah, dan bikin sakit hati. Padahal, yang (hatinya) sakit itu dia, bukan kamu,” balas saya.
Saya bilang begitu, karena berdasarkan pengalaman, orang yang model begitu, biasanya memang kurang ada niat baik untuk melunasi dan suka menggampangkan urusan. Sehingga mudah melupakan janji dan utangnya. Hidupnya bakal susah, tidak berkah.
“Sabar dan ikhlaskan. Akan ada pengganti dari jalur lain yang lebih besar. Pengalaman saya sih,” tegas saya.
“Terima kasih, Pak, atas wejangannya,” balas dia.
“Sekadar cerita lainnya. Ada seorang kawan fb. Saya belum pernah ketemu. Dia jualan buku. Tapi sedang sepi, katanya. Melalui chat inbox, dia minta bantuan untuk ditransfer 200 ribu, untuk sekadar menyambung hidup,” terang saya kepadanya.
“Tak berselang lama, saya minta nomor rekeningnya. Lalu, saya transfer 200an ribu, saya lupa angka tepatnya. Kejadiannya sudah cukup lama, sekitar akhir April 2022,” lanjut saya.
Akhirnya, saya bilang ke teman fb itu, saya beli bukumu. Dan saya pun pilih beberapa judul buku yang dijualnya.
Tapi buku tak juga dikirimkan. Pernah saya ingatkan sekali. Kata dia, “Buku aman. Besok saya kirimkan.”
Dan, ternyata hingga kini, buku itu belum dikirimkannya juga. Ya, saya sedari awal sudah niatkan bantu. Kalau memang dia lupa utangnya, ya tidak mengapa. Semoga kawan itu tidak sempat baca tulisan ini. Sudah saya ikhlaskan. Postingan ini juga saya privat khusus agar orang itu tidak bisa membacannya.
“Berarti Bapak niatin sedekah, ya?” tanyanya.
“Selama dia tidak mengirim buku atau tidak melunasi, ya anggap saja sedekah,” jawab saya.
Berarti orang tersebut lepas dari tanggung jawab membayar di akhirat dong?” tanya dia penasaran.
“Itu urusan dia, bukan saya,” kata saya santai.
Saya katakan kepadanya, bahwa piutang itu jadi sedekah, dan sedekahnya ngalir terus selama uang kita diutang. “Orang yang ikhlas akan tenang dan ringan hidupnya,” pungkas saya.
RS Bunda, Benowo Surabaya, 24 Juli 2022