Mengkaji Ulang Anggapan “Perempuan Sumber Fitnah”

Keberadaan perempuan di tengah-tengah masyarakat patriarki masih mengalami bermacam ketidakadilan termasuk pelecehan dan penistaan. Hal ini terjadi disebabkan konstruk sosial, adat istiadat, mitos, budaya, bahkan hal-hal yang diatasnamakan agama termasuk di dalamnya dalil al Qur’an dan Hadist tentang perempuan.

Perempuan yang dianggap sumber fitnah sejauh ini, disadari atau tidak telah membuat posisi perempuan serba salah. Saat aturan-aturan dalam masyarakat di lingkungan sosial tidak memihak pada perempuan, maka apa yang dilakukan perempuan selamanya akan dinilai tidak pantas, salah, bahkan bisa-bisa dianggap menodai agama.

Salah satunya adalah saat perempuan memilih bekerja di luar rumah (berkarir), yang pertama akan disorot adalah penampilannya, bentuk tubuhnya, atau gaya ia berjalan hingga bergaul, bukan kemampuan atau nilai intelektualnya.

Perempuan dianggap tidak menjaga kehormatannya apabila ada laki-laki yang tertarik hingga menggodanya di jalan, perempuan dianggap tidak pantas bila berjamaah ke masjid, perempuan tidak pantas menjadi pendakwah, dengan alasan menebar aurat baik melalui suara atau penampilannya. Lagi-lagi perempuan dianggap sumber fitnah, tak pernah dinilai dari segi spiritualnya.

Dalam kenyataannya juga, apabila ada perempuan yang pintar dan sukses di suatu bidang, itu pun akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Alih-alih dipuji, dianggap baik pun itu sudah luar biasa. Kesuksesan perempuan tak bernilai seperti pencapaian laki-laki, bahkan gagasan perempuan tidak begitu bernilai dibanding gagasan laki-laki, hanya dengan alasan bahwa kualitas akal perempuan itu tak sebanding tinggi dengan laki-laki.

Baca juga:  Kitab Fasholatan dan Kenangan Belajar Salat Masa Kecil

Banyaknya kesalahpahaman tentang posisi perempuan, termasuk kasus di atas melalui pemahaman tafsir yang tidak berkeadilan gender, tentu akan terus menyebabkan dan menjadi sumber rujukan masyarakat melanggengkan budaya patriarki termasuk di dalamya tidak akan pernah menghargai perempuan. Menilai perempuan sebelah mata, termasuk sebagai sumber fitnah atau bahkan fitnah itu sendiri.

Faqihuddin Abdul Kodir melalui bukunya berjudul “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah” berusaha menjelaskan kesalahpahaman tentang narasi perempuan sebagai sumber fitnah yang sering dijadikan dalil oleh masyarakat melalui pendekatan mubadalah dalam menginterpretasikannya.

“Buku ini merupakan implementasi praktis dari langkah-langkah interpretasi teks dengan metode mubadalah. Sehingga diharapkan para pembaca bisa memahami dan menggunakan lebih lanjut terhadap teks-teks yang lain, baik al-Qur’an, Hadist, Fikih, Undang-Undang, atau naskah lain yang hidup dan otoritatif di kalngan masyartakt tertentu.” Ungkap Kang Faqih, dalam sebuah tulisan pendahuluan.

Buku “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah” mengaji ulang hadis dengan metode mubadalah ini menyajikan 4 bagian pembahasan. Pertama, metode mubadalah dalam interpretasi hadis. Dalam bagian ini pembaca akan diajak memahami tentang bagaimana penulis menggunakan metode mubadalah (kesalingan) dalam memaknai dan menggunakan hadis seputar relasi gender dan bagaimana cara kerja mubadalah dalam memaknai teks hadis.

Kedua, buku ini membahas mengenai hadis tentang jati diri perempuan yang disalahpahami. Dalam pembahasan ini Kang Faqih dengan metode mubadalah mengupas jelas tentang dalil-dalil yang biasa digunakan oleh masyarakat tentang separuh akal dan agama perempuan, perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, perempuan penduduk neraka terbanyak, perempuan haid dilarang masuk masjid, bahkan khitan bagi perempuan.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (33): Fathul Izar, Kitab Pendidikan Seks Tingkat Lanjut

Bagian ketiga, adalah tentang hadis basis partisipasi perempuan di ruang publik yang disalahpahami. Pada bagian ini penulis menjelaskan kesalahpahaman anggapan perempuan sebagai aurat, pesona perempuan yang dianggap fitnah, jihad perempuan yang hanya dalam rumah, hingga larangan perempuan menjadi pemimpin negara.

Sedangkan dibagian keempat, memuat hadis relasi pasangan suami–istri yang disalahpahami. Salah satunya adalah usia dini Aisyah saat dinikahi oleh Nabi, ketidakbolehan perempuan menolak lamaran laki-laki, istri pemberi layanan yang baik soal seks pada suami, hingga hadis soal poligami yang dijadikan senjata kaum laki-laki yang ingin menikah lagi.

“Buku ini merupakan tawaran Dr. Faqihuddin Abdul Kodir melalui mubadalah atau kesalingan. Dengan mubadalah kita telah menemukan jalan yang lebih solutif dalam menghadapi teks yang dari penampakan eksplesitnya seringkali merugikan perempuan.” Komentar Lies Marcoes, MA, pada catatan pengantar dalam buku Perempuan (bukan) Sumber Fitnah.

Saya yakin, buku ini tentu akan membuka wawasan kita, akan membuka mata kita untuk melihat lebih luas kekuasaan Tuhan, menyadari betapa indahnya Islam memperlakukan perempuan termasuk betapa bijaknya agama dalam mengatur relasi antar manusia, baik laki-laki dan perempuan.

“Siapapun berhak untuk terbebas dari pernikahan yang menyakitkan, terutama perempuan.” Ini adalah salah satu kalimat yang dikutip dalam buku ini. Penasaran pernyataan ini menanggapi dalil hadis yang mana? Mari bersama-sama membaca buku “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah.

Baca juga:  Sabilus Salikin (61): Hizib Ghazaliyah

Bagi saya yang masih terus belajar memahami, bagi kamu yang belum juga terketuk untuk memahami, mari mengaji ulang persoalan-persoalan yang selama ini pelik dan menyudutkan perempuan melalui buku “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah”.

Memilih membaca buku ini, InsyaAllah akan ada banyak ilmu dan pemahaman baru yang objektif dan berkeadilan bisa kita petik yang kemudian akan diinterpretasikan bersama-sama, untuk menuju kehidupan yang rahmatal lil alamin.

 

Buku: Perempuan (bukan) Sumber Fitnah

Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir

Penerbit: afkaruna.id Bandung

Tahun terbit: 2021

Tebal buku: xxviii + 240 hlm

ISBN: 978-623-93728-8-0

https://alif.id/read/rz/mengkaji-ulang-anggapan-perempuan-sumber-fitnah-b239715p/