Menimba ‘Berlian’ dari Riwayat Hidup Mbah Sidik Jember

Laduni.ID, Jakarta – “Sidik Jember, Sidik Jember, Sidik Jember!” Begitulah R. KH. Moh. Kholil, pengasuh Pondok Pesantren Kademangan Bangkalan, berteriak-teriak menyambut santrinya Mohammad Sidik, dari Lasem, ketika sowan ke Bangkalan untuk menanyakan gundah hatinya terkait dengan masa depan pengabdian hidupnya di jalan Tuhan. Padahal waktu itu, Sidik baru sampai di halaman rumah kiai kharismatik yang karib disapa Shaikhuna Kholil atau Mbah Kholil Bangkalan dan belum bertemu muka.

Pada saat itu, Sidik sudah lama ‘boyong’ dari Pondok Pesantren Syaikhuna Kholil dan pulang ke kota asalnya Lasem, Kabupaten Rembang. Dia sudah mulai berkiprah sebagai guru ngaji di sana, sekaligus sudah membina berumah tangga dengan tiga putra yang masih kecil. Untuk menghidupi keluarganya, dia pun berniaga kecil-kecilan. Dalam kondisi yang demikian, ia mengalami pengalaman spiritual luar biasa. Dia ‘didatangi’ Nabi Muhammad, yang berdasarkan nasab yang dicatat dalam silsilah keluarga termasuk kakek moyangnya. Dalam pengalaman itu, sebagian ada yang mengatakan bermimpi tapi sebagian lain menyebut didatangi secara langsung, Sidik disuruh memilih arah hijrah.

Sahdan, pada saat itu Nabi Muhammad ‘datang’ dengan membawa bakul berisi nasi di tangan kiri dan tasbih di tangan kanan, sambil bersabda, “Bila ingin mencari kepentingan duniawi, pergilah ke arah barat. Bila ingin mencari kepentingan akherat, pergilah ke arah timur”. Dengan mantab, Mbah Sidik memilih timur.  Namun, timur adalah sebuah arah yang panjang dan luas, dan tentu sangat tidak mudah untuk menjatuhkan pilihan. Akhirnya ia pun sowan ke Bangkalan, untuk mendapatkan titik terang dari Sang Guru yang dikenal sebagai guru para pendiri pesantren di Jawa dan Madura tersebut.

Sebagaimana yang dikisahkan di awal ngablak ini, sebelum Sidik masuk ke rumah Mbah Kholil Bangkalan dan baru sampai di halaman rumah, Mbah Kholil sudah menyambutnya dengan teriakan ‘Sidik Jember, Sidik Jember’. Sebuah isyarat yang menunjuk pada tempat yang tepat bagi Sidik untuk melabuhkan diri, mengabdi, dan menghidupkan agama. Sebagaimana diketahui, Mbah Kholil adalah ulama yang memiliki kelebihan khusus mampu melihat masa depan. Hal itu berlaku bagi santri-santrinya, yang di kemudian hari menjadi kiai-kiai besar di Jawa, Madura dan Nusantara. Pada diri Sidik, isyarat itu pun menemukan kebenarannya. Terbukti, Sidik cocok dengan tanah Jember. Terbukti, bahwa Sidik bakal mampu memaksimalkan perannya di Jember. Terbukti, sekarang ini di daerah Jember sudah ada sekitar 3000 masjid, sekitar 750 pesantren dan kurang lebih 1000 lembaga pendidikan Islam lainnya.

Mbah Sidik lalu ke Jember dengan meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Usia Mbah Sidik pada saat itu 30 tahun, jadi sekitar tahun 1884. Hal itu karena Mbah Sidik lahir pada tahun 1453 Hijriyah, bertepatan dengan 1854 Masehi. Ia ditemani oleh saudara sepupunya Sumohadi, sambil membawa peralatan pertanian dan barang-barang modal perdagangan. Awal tiba di Jember, ia tinggal di kampung Gebang. Sambil berdagang ke pasar-pasar di Jember, seperti Patrang, Ambulu, Rambipuji dan lainnya dengan berkendara dokar, Mbah Sidik membangun musola kecil di tempat tinggalnya, sebagai tempat shalat berjamaan dan mengajar ngaji. Musola itulah awal pesantren yang didirikan Mbah Sidik. Begitu Mbah Sidik pindah ke Talangsari dan mendirikan pesantren lagi di sana, Pesantren Gebang dipegang oleh anaknya KH. Mahmud.

Mbah Sidik lahir di pedukuhan Punjulsari, desa Waru Gunung, Lasem, Rembang. Sebagaimana diketahui Lasem adalah ‘gudang para wali dan kiai’. Sebagaimana yang telah disinggung, garis nasab atau silsilahnya nyambung sampai Nabi Muhammad, sebagaimana yang dicatat dua anaknya KH. Ahmad Qusyairi dan KH. Abdul Halim. Selain nyantri ke Mbah Kholil di Pesantren Kademangan Bangkalan, Mbah Sidik nyantri ke beberapa pesantren lainnya, seperti KH. Abdul Aziz Baidlowi (Lasem Rembang), KH. Sholeh (Langitan Tuban), KH. Sholeh Darat (Semarang), KH. Ya’kub (Siwalanpanji Sidoardjo), dan KH Abdurrohim (Sepanjang Sidoarjo).

Dari garis ayah Mbah Sidik bisa dirunut sebagai berikut. Dalam hal ini nama Mbah Sidik disesuaikan dengan nama aslinya Muhammad Shiddiq. Rinciannya sebagai berikut. KH. Muhammad Shiddiq bin KH Abdullah (makam di Laut Merah) bin KH. Sholeh (makam di Lasem) bin KH. Asy’ari bin KH. Azro’i bin KH Yusuf (makam di Pulandak Lasem) bin Sayyid Abdurrachman Al Basyaiban (makam di Masjid Jami’ Lasem) yang berjuluk Mbah Sambu alias Raden Muhammad Syihabuddin Sambu Digdodiningrat. Adapun garis ibu, KH. Muhammad Shiddiq binti Nyai Hj. Aminah (di makamkan di Jepara) bin Abdul Karim bin Penghulu Purwodadi bin Demang Sahid Imam (desa Kasruhan), bin Husein (desa Tuyuan), bin Waliyulloh Achmad (Lasem) bin Sayyid KH. Achmad Sholeh (Pati) bin Raden KH. Abdul Adzim (Penghulu Lasem) bin Sayyid Abdurrachman Al-Basyaiban.

Setelah melalui perjuangan panjang, Mbah Sidik wafat di Jember pada pukul 17.45, Minggu Pahing, tanggal 2 Ramadan 1353 H., bertepatan dengan 9 Desember 1934 M pada usia 80 tahun. Banyak warga yang menawarkan tanahnya sebagai makam Mbah Sidik. Akhirnya, jasad Mbah Sidik dimakamkan di kampung Turbo, ada yang menyebutnya Turbah. Sekarang di Jalan Gajahmada, Jember. Di sana juga dimakamkan tokoh-tokoh Islam Jember, yang merupakan keturunan Mbah Sidik. Makamnya hingga kini menjadi tujuan peziarah dari berbagai daerah.

Ihwal keturunan Mbah Sidik yang dikenal sebagai generasi brilian dan berlian, terdapat sebuah peristiwa menarik ketika Mbah Sidik masih nyantri di Pondok Pesantren Syaikhuna Kholil Bangkalan. Ia memiliki kegemaran mengisi bak mandi dan wudu para santri dan kiainya. Selama nyantri, itulah kegemaran yang tidak pernah ditinggalkannya. Suatu hari, tepat dinihari, ia bangun untuk mengisi bak mandi sebagai persiapan subuh. Suatu ketika ketika ia menarik timba dari dalam sumur, ia merasa isi timba demikian berat. Begitu sampai di atas, betapa terkejutnya Mbah Sidik ketika timbanya tidak dipenuhi air sebagaimana biasanya, tetapi penuh dengan batu permata.

Dengan nada penuh harap dan ratap, Mbah Sidik berkata, “Gusti, saya tidak menginginkan semua ini. Yang saya inginkan adalah generasi keturunan saya nanti menjadi keturunan yang berkah dan berharga.”

Dengan keikhlasan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata, ia menuang kembali batu-batu permata itu ke dalam sumur di Pondok Pesantren Mbah Kholil Bangkalan. Tekad Mbah Sidik pun terwujud. Anak keturunannya menjadi permata-permata, baik dalam kancah Jember maupun Nasional. Di antaranya bisa dilihat dari kiprah mereka. Dari istri pertamanya bisa dilihat kiprah anak cucunya, seperti KH. Ahmad Qusyairi, anaknya yang dikenal sebagai waliyullah di Pasuruan dan dimakamkan di Masjid Jami’ Pasuruan. KH Ali Mansur, cucu Mbah Sidik, yang dikenal sebagai pencipta Shalawat Badar dimakamkan di Desa Maibit, Rengel, Tuban. KH. Abdul Hamid, waliyullah dan kiai kharismatik di Pasuruan dan makamnya berada di Masjud Jami’ Pasuruan. Cucunya yang berasal dari anaknya KH Mahmud, yaitu KH. Abd Hamid Wijaya (pendiri GP. Ansor dimakamkan di Turbah) dan KH. Shodiq Machmud (pendiri PP. Al-Jauhar dan STAIN Jember).

Dari istri kedua, Nyai Siti Maryam, dikenal nama-nama seperti KH. Machfuz Shiddiq (dimakamkan di Turbah Jember, dikenal sebagai mantan Ketua Umum PBNU 1930-1945 dan pemikir modernis NU), KH. Abdul Halim (makam di Turbah, dikenal sebagai mubalik kondang dan pendiri Pesantren ASHRI), KH. Yusuf Muhammad dikenal sebagai mubalig, politisi terkenal, dan pendiri Pondok Pesantren Darul Shalah. Juga tidak ketinggalan KH. Achmad Shiddiq (dimakamkan di aulia Tambak Mojo Kediri, dikenal sebagai Rois ‘Aam PBNU periode 1984-1991 dan perintis Majlis Dzikrul Ghafilin dan semaan Al-Qur’an). Selain itu, masih banyak lagi.

Mbah Sidik tidak hanya dikenal sebagai arsitek pesantren dan lembaga pendidikan Islam di Jember. Banyak orang meyakini bahwa Mbah Sidik seorang wali besar. Keyakinan tersebut mu’tabar. Mengingat gaya dan laku hidupnya yang tidak pernah melenceng dari garis Tuhan dan selalu dijaga dari hal-ihwal yang membuat derajat kewaliannya ternodai, Mbah Sidik dikaruniai karomah atau kelebihan-kelebihan sebagai kekasih Alloh segudang banyaknya. Wallahu a’lam.

MA

Sidopoerno, 2021

Ilustrasi jepretan sendiri. Teks diolah dari beberapa sumber, salah satunya berupa manaqib Mbah Sidik, yang ditulis seorang dzurriyah beliau.


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/72674/menimba-berlian-dari-riwayat-hidup-mbah-sidik-jember.html