Menimbang Tiga Prinsip Ekonomi Al-Ghazali (3): Ekonomi Berkeadilan (Iman)

Al-Ghazali melakukan pembedaan antara istilah transaksi yang sah dengan transaksi yang adil. Menurutnya karena tidak semua larangan berbuat aniaya dalam perniagaan dapat membuat hukum transaksi menjadi tidak sah (fasid), maka perlu adanya pembedaan; transaksi sah bisa saja mengandung aniaya, sebagaimana transaksi ilegal malah terdapat keadilan.

اِعْلَمْ أَنَّ الْمُعَامَلَةَ قَدْ تَجْرِي عَلَى وَجْهٍ يَحْكُمُ الْمُفْتِي بِصِحَّتِهَا وِانْعِقَادِهَا وَلَكِنَّهَا تَشْتَمِلُ عَلَى ظُلْمٍ يَتَعَرَّضُ بِهِ الْمُعَامِلُ لِسُخْطِ اللَّهِ تَعَالى إِذْ لَيْسَ كُلُّ نَهْيٍ يَقْتَضِي فَسَادَ الْعَقْدِ

“Ketahuilah, bahwa perniagaan terkadang berhukum sah, namun ia mengandung kelaliman karena pelaku transaksi melakukan perkara yang dimurkai Allah. sebab tidak semua larangan dapat membuat akad menjadi fasad.” (Ihya’ Ulumuddin, hal 516)

Jual beli yang jelas-jelas sah telah memenuhi syarat dan rukunnya dapat berhukum haram jika dilakukan ketika azan Jum’at. Jika di balik, mencuri uang seseorang yang hukumnya jelas haram bisa saja mengandung kebaikan jika hasilnya diberikan kepada fakir yang membutuhkan. Walaupun hal semacam itu tidak sepenuhnya dibenarkan.

Alur berpikir ini akan kita jumpai padanannya dalam teori perintah dan larangan dalam ushul fikih. Al-Ghazali ternyata dalam merumuskan bagaimana ekonomi ideal Islam tidak bisa lepas dari kapasitasnya sebagai seorang pakar usul fikih.

Pada uraian bab (fi bayan al-‘adl fi al-mu’amalah), al-Ghazali membagi kezaliman dalam transaksi ekonomi dalam dua bagian. Pertama, praktik ekonomi yang hanya merugikan pihak yang aktif terlibat transaksi. Al-Ghazali menyebutkan tiga contoh dalam bagian ini; iklan fiktif, review palsu dan ketidakjujuran dalam penentuan harga. Ketiga hal ini tentu saja merugikan pembeli. Kedua, praktik ekonomi yang merugikan manusia secara umum. Inflasi berkaitan dengan bagian pertama ini.

Baca juga:  Dinamika dan Empat Tokoh Utama Ushul Fikih (1): Idris al-Syafi’i; Peletak Dasar dan Sebuah Perdebatan Pembuka

Macam-macam praktik ekonomi zalim bagian ini mencakup penimbunan kekayaan (ihtikar) dan pemalsuan uang (tarwij az-zaif). Penimbunan BBM atau minyak menjadi contoh yang pas dalam konteks Indonesia yang pernah mengalami krisis minyak pada tahun 1973 hinggan 1975. Bayangkan jika sebelumnya orang-orang kaya melakukan penimbunan minyak untuk kemudian dijual pada saat krisis dengan harga mahal. Padahal minyak telah menjadi komoditas pokok yang dibutuhkan masyarakat saat itu. “Seakan-akan ia (penimbun) telah membunuh keseluruhan manusia,” kecam al-Ghazali mengutip salah satu hadits Nabi.

Adapun pemalsuan uang tentu menimbulkan akibat yang lebih parah. Selain karena si pemalsu bertransaksi dengan cara yang haram, uang palsu yang terlanjur beredar akan sulit untuk dideteksi dan dibedakan kembali dari uang asli. Hal ini akan berbuntut panjang menurunkan nilai kurs mata uang karena jumlah uang beredar ternyata tidak sesuai dengan uang asli yang diizinkan bank sentral.

Ketika masyarat terus membeli barang dengan banyaknya uang palsu, maka seiring waktu akan terjadi peningkatan demand barang di samping keterbatasan stok barang. Uang akan melemah, harga barang akan menjadi mahal; terjadilah inflasi. Saking merugikannya imbas pemalsuan uang sampai muncul bahasa al-Ghazali,

اِنْفَاقُ دِرْهَمٍ زَيْفٍ اَشَدُّ مِن سَرِقَةِ مِائَةِ دِرْهَمٍ لِأَنَّ السَّرِقَةَ مَعْصِيَّةٌ وَاحِدَةٌ وَ قَدْ تَمَّتْ وَ انْقَضَتْ وَ اِنْفَاقُ الزَّيْفِ بِدْعَةٌ اَظْهَرَهَا فِى الدِّيْنِ وَ سُنَّةٌ سَيِّئَةٌ يَعْمَلُ بِهَا مِنْ بَعْدَهٌ فَيَكُوْنُ عَلَيْهِ وِزْرُهَا بَعْدَ مَوْتِهِ اِلَى مِائَةِ سَنَةٍ اَوْ مِائَتَيْ سَنَةٍ

Baca juga:  Haji dan Seputar Gelar Tuan Guru

Membelanjakan satu dirham uang palsu lebih merugikan daripada mencuri seratus uang dirham. Sebab mencuri adalah satu dosa yang seketika selesai. Sedangkan membelanjakan uang palsu adalah bid’ah yang dilarang agama dan perkara turun temurun yang buruk, orang-orang setelah dirinya terus menggunakan uang palsu itu. Maka dosanya ditanggung si pemalsu bahkan setelah ia mati sampai 100 atau 200 tahun (ketika uang yang sama tidak lagi dipergunakan). (Ihya Ulumuddin, hal 517)

Menariknya, al-Ghazali tidak hanya berhenti melarang peredaran uang palsu. Tapi juga mewanti-wanti masyarakat utamanya pedagang sebagai pelaku bisnis melakukan tindakan preventif. Semisal memerhatikan dengan teliti uang yang dipergunakan pembeli, mempelajari perbedaan uang palsu dengan asli, tidak menerima pembayaran uang palsu dan beberapa tindakan lainnya yang sebaiknya dilakukan oleh pelaku ekonomi.

الثَّانِي أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى التَّاجِرِ تَعْلَمُ النَّقْدَ لَا لِيَسْتَقْصِي لِنَفْسِهِ وَلَكِنْ لِئَلَّا يُسَلِّمَ إِلَى مُسْلِمٍ زَيْفًا وَهُوَ لَا يَدْرِي فَيَكُونَ آثِمًا بِتَقْصِيرِهِ فِي تَعَلُّمِ ذَلِكَ الْعِلْمِ فَكُلُّ عِلْمٍ عَمَلٍ بِهِ يَتِمُّ نَصْحُ الْمُسْلِمِيْنَ فَيَجِبُ تَحْصِيْلُهُ وَلِمِثْلِ هَذَا كَانَ السَّلَفُ يَتَعَلَّمُوْنَ عَلَامَاتِ النَّقْدِ نَظْراً لِدِيْنِهِمْ لَا لِدُنْيَاهَمْ

“Kedua, seorang pedagang wajib mengetahui ciri-ciri uang, bukan untuk kepentingan dirinya tapi agar ia tidak memberikan saudara muslimnya secara tidak sengaja uang palsu hingga berakibat dosa karena kecerobohannya dalam mempelajari ciri-ciri uang palsu tersebut. Setiap informasi dari suatu hal yang dapat memenuhi kepentingan kaum muslimim wajib dipelajari. Hal semacam ini dilakukan oleh para salaf, mereka mempelajari ciri-ciri uang asli bukan untuk dunia tapi demi kepentingan akhirat.” (Ihya Ulumuddin, hal 518)

Baca juga:  Benarkah Al-Ghazali dan Al-Asy’ari Sumber Kemunduran Dunia Islam? (Bagian kedua)

Ini artinya pemerintah sebagai pihak berwenang dalam hal ini juga berkewajiban mendesain bentuk uang yang sulit dipalsukan dan mensosialisasikan masyarakat cara membedakan uang asli dengan uang palsu. Beruntung karena keseriusan bank sentral mendesain uang, persentase uang palsu di Indonesia terbilang rendah, yakni per-2020 beredar 5 lembar uang palsu dari 1 juta lembar rupiah asli. (Bank Indonesia: Peredaran Uang Palsu Turun 5 Persen pada 2020 – Bisnis Tempo.co)

Kesimpulan yang saya dapat setelah membaca bab ini, al-Ghazali berusaha membumikan ekonomi yang bukan hanya sah tapi juga berkeadilan, tidak mengandung kezaliman yang merugikan masyarakat luas. Selain itu, prinsip ekonomi berkeadilan merupakan manifestasi keimanan kepada Allah dan Hari Kiamat, di mana semua manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas kelaliman perniagannya.

https://alif.id/read/mnr/menimbang-tiga-prinsip-ekonomi-al-ghazali-3-ekonomi-berkeadilan-iman-b241517p/