Menjadi Manusia Spesialis atau Generalis?

Ketika orang berkemampuan expert di bidang tertentu mendapat gaji lebih besar dan perjalanan karir yang mengesankan, para generalis justru menyabet julukan master of none. Ya, orang-orang yang keahliannya adalah piawai mengglorifikasi diri sendiri sebagai seorang multitalent.

Boleh jadi, inilah yang menjadi satu dari sekian penyebab munculnya ‘glorifikasi’ para pemrakarsa berbagai macam disiplin keilmuan, di hampir setiap mukadimah masterpiece-nya. Terbukti, kita sering mendapati mabadi’ asyroh (sepuluh dasar) dan syair-syair yang sarat akan keutamaan fan ilmu yang dibidangi.

Tentu ini terlepas dari fakta: ilmu lain yang ternyata juga dikuasai para pelopor berbagai fan itu. Imam al-Ghazali misalnya, beliau hanya masyhur berjibaku dengan tasawuf dan empat juz Ihya’ al-Ulum al-Din. Sementara itu, siapa pun akan dibuat terperanjat-nggliyeng dengan uraian fikih komprehensif di tujuh juz Al-Wasith fi Al-Madzahib karya beliau.

Walaupun sudah ‘ngaji’ Lubb Al-Ushul, kitab yang menguraikan metodologi hukum fikih, saya terlambat tahu kalau syekh Zakariya al-Anshari ternyata mengarang kitab Al-Lu’lu’ Al-Nadzim fi Raum Al-Ta’allum wa Al-Ta’lim. Kitab kecil yang sarat panduan dan kiat-kiat bibinahu (mencari ilmu). Kitab yang melatarbekalangi saya menulis tulisan singkat ini.

Baru di halaman pertama, Syekh Zakariya al-Anshari mengatakan bahwa tidak semua orang ‘layak’ mempelajari seluruh bidang keilmuan. Setiap orang akan dimudahkan untuk memperdalam ragam ilmu sesuai dengan tabiatnya.

أنْ يقصد العلم الذي يتعلمه طِباعه، إذ ليس كل أحد يصلُح لتعلُّم العلوم، ولا كلّ مَن يصلح لتعلُّمها يصلح لجميعها، ولا كلّ مَن يصلح لتعليمها يصلح لجميعها، بل كلٌّ مُيسّر لِما خلق له.

Tapi, dawuh Syekh Zakariya ini tidak bisa semerta-merta dijadikan hujjah untuk memulai atau melanjutkan sikap apatis terhadap ilmu yang betul-betul menjadi kebutuhan seseorang, meskipun mungkin tidak ia sukai.

Tanpa mengesampingkan keunggulan orang-orang yang serba bisa tapi kurang begitu mahir, pada waktunya, orang-orang dengan keahlian khusus akan lebih dicari daripada jack of all trade itu. Utamanya dalam hal keilmuan. Sebab, kita hidup di era yang begitu kompetitif. Kalau tidak spesial di satu bidang, sulit digambarkan seseorang akan terlihat di permukaan.

Baca juga:  Kisah Singkat Imam Al-Ghazali

Toh kita dapat menengok berbagai keunggulan yang katanya dimiliki master of none seperti: mudah beradaptasi, dianggap lebih kreatif dan lebih dipercaya sebagai leader, adalah hal yang juga sangat mungkin dikuasai para master of one, setelah memiliki spesialisasi tertentu.

Ada dua hal yang menegaskan hal ini: sematan AlQadhi pada beliau syekh Zakariya, dan fakta bahwa di semua bidang keilmuan, beliau selalu hadir dengan karya mukhtashar (ringkasan) atau anotasi (syarah) kitab ulama lain.

Kita kembali ke Al-Lu’lu Al-Nadzim fi Raum Al-Ta’allum wa Al-Ta’lim. Syekh Zakariya juga menyebutkan faktor-faktor kegagalan seseorang dalam menuntut ilmu (secara umum), dan menjadi spesialis (khususnya). Di antaranya adalah;

Sebagai informasi, ada yang berusaha mengkompromikan perdebatan antara generalis dan spesialis dengan menawarkan istilah ciamik “expert generalist” atau “T-Shaped People”. Secara pribadi, jujur saya kurang suka usaha muluk-muluk semacam ini.

Sebab, alih-alih menjadi expert generalist, banyak yang ujung-ujungnya gagal dan tetap menjadi generalis. Diduga kuat, selain ingin menyandang gelar keren expert generalist, biang keroknya adalah multitasking. Alias belum tuntas, sudah beralih tidak jelas.

Maksud saya, memang benar bahwa expert generalist adalah satu-satunya pemenang perdebatan jenaka ini (meskipun curang karena ini pertandingan antara generalis dan spesialis). Tapi untuk menuju ke sana,  agaknya seseorang harus menekuni satu bidang terlebih dahulu sebelum menginjak ke disiplin lainnya.

Kita tilik saja Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Hadratusyaikh K.H Hasyim Asy’ari. Pada bab empat, persisnya di penjelasan adab ke tiga, terdapat keterangan: agar tidak buang-buang waktu, seorang muta’allim mestinya fokus pada satu fan terlebih dahulu sebelum beralih ke fan yang lain, dan tentunya dengan bimbingan intens sang mu’allim.

Atau Syekh Khatib al-Baghdadi (sebagaimana tertulis di Shafahat min Shobr al-Ulama). Beliau mengutip bahwa seorang thalibul ilmi tidak akan sukses belajar kecuali ia menutup usaha tokonya, membakar kebunnya, mendiamkan teman-temannya, dan tidak ikut takziah saat saudara terdekatnya meninggal. Tapi, berhubung memahami secara tekstual bukan budaya kita, maka syekh Badruddin bin Jamaah menjelaskan, ini agar para muta’allim tidak terdistraksi dengan tetek bengek itu tadi.

Baca juga:  Dhawuh Kiai Haji Salahuddin Wahid

Poin pertama ini seolah berkata: ”Tentukanlah spesialisasi yang ingin Anda miliki terlebih dahulu!”

Setelah mantap dengan pilihan spesialisasi, kita harus siap dengan berbagai konsekuensi yang ada, di antaranya adalah prokrastinasi.

Prokrastinasi adalah kebiasaan menunda-nunda yang sering kali disebabkan oleh emosi-emosi negatif dalam diri seseorang. Kita tahu, dengan menggeluti satu bidang tertentu secara khusus, kita akan lebih sering menagak rasa bosan yang membuncah.

Terkait hal ini, saya selalu berusaha mengingat akan dawuh-dawuh para kyai, panutan kita sebagai santri.

Apa yang sampean pelajari itu yang ada di hadapan sampean.” Aw kama qaal.

Begitu dawuh K.H. Muhammad Anwar Manshur kepada banyak santri yang sowan ke ndalem beliau. Beliau mewanti-wanti supaya para santri mengerahkan tenaga dan pikirannya, untuk hanya fokus pada apa yang sedang dihadapkan pada mereka.

Pada bagan ini pula, Syekh Zakariya menuturkan apa yang pernah didawuhkan Allohu Yarham K.H Habibulloh Zaini, yaitu:

Semakin tambah umur, semakin bertambah pula kesibukan seseorang. ‘Tidak ada’ orang tua yang nganggur.Aw kama qaal.

Syekh Zakariya menuturkan:

والإنسان كلّما كبر كثرتْ عوائقه

Kita tahu Mozart, komposer musik-musik opera itu. Dia tak pernah menunda untuk mencatat not-not yang berlalu-lalang dalam benaknya. Tertulis di buku Eric Weiner, The Geography of Genius, Mozart bisa melakukannya di tengah ramainya pesta makan malam. Dan bukan dengan kertas, media tulisnya adalah pikiran.

Maka, poin kedua ini seolah melarang kita menunda langkah demi langkah menuju spesialisasi yang telah ditentukan. Takut keburu tua, sibuk dengan persoalan lain, dan tetap menjadi generalis.

Syekh Zakariya menuturkan bahwa banyak orang yang ilmunya tak benar-benar tertancap di hati, karena dalam prosesnya, mereka hanya mengandalkan kecerdasan, mengandalkan kefahaman sebelumnya, tidak mengulang dan tidak mencatat ilmu yang baru didapat. Tidak tertancapnya ilmu juga merupakan tanda orang-orang generalis.

Apakah saya mengatakan bahwa Mozart termasuk mengandalkan kecerdasannya saja? Tentu tidak. Terlepas dari benar atau tidaknya, Mozart tetap mencatat not-not musik dalam pikiran, dan di kertas. Dia tidak memainkan lagu secara spontanitas di atas panggung. Dan seperti kata Eric Weiner, Mozart tidak membeda-bedakan momen insipirasional dengan yang biasa-biasa saja, keduanya adalah inspirasi bagi Mozart.

Baca juga:  Kisah Satu Angkot dengan Gus Im, Lalu Membuntutiku hingga Tempat Kost

Berkenaan dengan ini, pada bab “Keutamaan Akal” dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Mawardi (975 M – 1085 M) mengkisahkan bahwa Ziyad bin Abi Sufyan, katib Abu Musa al-Asy’ari, suatu ketika dimakzulkan dari kedudukan jabatannya atas perintah sayidina Umar.

Saat Ziyad bertanya kepada sayidina Umar, beliau menjawab: “Aku tidak memakzulkanmu karena engkau tidak berkompeten atau telah berkhianat. Aku hanya khawatir kecerdasan akal luar biasamu banyak memengaruhi masyarakat awam setempat.” Aw kama qaal.

Benar bahwa al-Mawardi menjabarkan perkhilafan ulama terkait: apakah kecerdasan akal muktasab yang di atas rata-rata termasuk fadhilah (keutamaan) atau tidak. Benar juga bahwa pendapat yang ‘menang’ adalah: termasuk fadhilah. Namun perdebatan itu tetap bermuara pada pengertian yang didawuhkan ‘Amir bin Qais:

إذا عقلك عقلك عمّا لا ينبغي فأنت عاقل

Ketika akalmu mengikat (menjaga) dirimu dari hal-hal yang tidak pantas, maka kamu baru berakal.”

Hal ini mirip dengan yang disampaikan K.H. Miftahul Akhyar di acara Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Buntet. Beliau dawuh bahwa, kemampuan literasi dan intelektual sudah semestinya diimbangi dengan bismirobbik.

Di poin ketiga ini, seseorang tidak semestinya mengandalkan kecerdasan belaka di perjalanan panjangnya menjadi spesialis. Sebab kecerdasan adalah sesuatu yang anugerah sekaligus bahaya.

Terakhir, sebagai santri, kita perlu menyadari bahwa, dengan beragamnya mata pelajaran di pondok-pondok pesantren, kita sejatinya sedang dicetak untuk menjadi seorang expert generalist.

Sebagaimana dawuh mustahiq saya: “Di pondok, kalian dikenalkan dengan banyak pilihan disiplin keilmuan sebagai bahan mentah. Setelah lulus, kalian diberi kehendak bebas untuk fokus dan konsisten pada makanan apa yang akan kalian hidangkan ke masyarakat.” Aw kama qaal.

Semoga bermanfaat.

https://alif.id/read/mhs/menjadi-manusia-spesialis-atau-generalis-b246738p/