Menjadi Muslim Yang Njawani

Laduni.ID, Jakarta – Saya orang Jawa, namun dalam pemaknaan keislaman dan ke-Jawa-an, saya tidak ikut pemahaman Sobat Rahayu yang menihilkan peranan Islam dalam peradaban Jawa sekaligus membangkitkan kembali hasrat dan memori Jawa-Pra Islam. Ini bisa disimak dalam karya Dhamar Sashangka dan juga diskusi di grup Mojopahitan.

Saya melihat apabila watak ke-Jawa-an sangat lentur, mudah larut tapi mempengaruhi citarasa. Ya, sebagaimana telaah Ibnu Khaldun, kondisi sosio-kultural-antropologis mempengaruhi watak manusianya, demikian pula watak orang Jawa. Persis kunyit yang bisa tumbuh di manapun dan pas dipakai campuran jamu apa pun.

Karena itu, pada saat agama Budha masuk, manusia Jawa menyesuaikan diri, demikian pula dengan Hindu. Anasirnya diserap dan disesuaikan dengan falsafah ke-Jawa-an. Contoh yang paling gamblang adalah gubahan cerita Arjuna Wiwaha, Gatotkacasraya, Bharatayuddha, hingga Kresnayana. Juga penambahan tokoh Punakawan yang berkarakter khas Jawa ke dalam lakon Mahabharata yang elitis India sentris. Wong Cilik yang disisipkan ke dalam epos para raja dan dewa.

Ketika Islam masuk, terjadi tumbukan pengetahuan yang kolaboratif. Dari Penanggalan Jawa Islam yang disusun era Sultan Agung, hingga penyusunan Primbon Betaljemur Adamakno yang basis filosofis Jawa-Islamnya. Termasuk pada tradisi komunal: dari Selametan, Tasyakuran, Sedekah Desa, tradisi Grebeg hingga kenduri kematian.

Di wilayah pedagogik, pesantren dan etika relasi kiai-santri-masyarakat sebagian diramu dari watak pendidikan Jawa saat itu, dari Mandala, Ashram, hingga Padepokan, dan sentuhan kitab etik bagi pelajar seperti Ta’limul Muta’allim dan pesulukan. Aguk Irawan melacak akar etika pesantren ini dalam bukunya “Akar Etika Pesantren” (Bandung: Iiman, 2019). Penelusuran yang menarik.

Di kemudian hari, literatur Islam mempengaruhi cara pandang ulama dan pujangga Jawa melalui berbagai karyanya. Silakan dicek karya para ulama dan pujangga Jawa dalam kurun empat abad terakhir. Penggunaan kitab fiqh, seperti al-Muharrar-nya Imam Rafi’i, Taqrib-nya Abu Syuja’ al-Ashfihani, Tuhfatul Muhtaj-nya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Lubabul Fiqh-nya Imam al-Mahamili, hingga Fathul Wahhab-nya Imam Zakariya al-Anshari mempengaruhi cara pandang para fuqaha era Mataram hingga zaman Ngayogyakarta Hadiningrat dan keraton lain tumbuh.

Di bidang tasawuf, Tuhfatul Mursalah Ila Ruhin Nabi-nya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri turut menyuburkan penyebaran Tarekat Syattariyah di kalangan bangsawan Jawa, termasuk keluarga Hamengkubuwono II dan jaringan Pangeran Diponegoro. Di bidang teologi, kitab Aqidatul Ushul-nya Syekh Abu Laits Assamarqandi juga menjadi referensi, termasuk syarahnya, Bahjatul Ulum. Beberapa nama kitab yang menjadi referensi di zaman Mataram Islam disebut dengan pelafalan Jawa dalam Serat Centhini, salah satu karya monumental pujangga Jawa.

Dalam “Saya, Jawa dan Islam” (2019), Irfan Afifi mengupas dengan baik interaksi ilmiah antara literatur Islam dengan unsur Jawa. Para ulama bertindak sebagai koki intelektual yang mengolah dengan baik agar citarasa keilmuan Islam bisa dikunyah dengan sepenuh oleh “alam pikiran” dan “Roso” manusia Jawa. Karya-karya pujangga Jawa mayoritas dipengaruhi bangunan epistemologi Islam yang mapan di abad pertengahan namun diolah dengan “olah batin dan pikir” ala Jawa melalui serat, suluk, primbon, kitab hingga babad. Di sinilah letak keasyikan tumbukan peradaban itu. Menghasilkan semacam sintesa kebudayaan yang khas namun dengan ciri keotentikan yang kuat.

Di kawasan keraton, ulama menulis karya dengan menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Raden Bagus Arfah menyusun terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Jawa, dengan aksara Jawa (honocoroko) dan berbahasa halus (krama inggil) pada 1905. Judulnya Kur’an Jawi. Dua tahun sebelumnya, Kiai Sholeh Darat Assamarani menulis tafsir berbahasa Jawa pesisiran. Ditulis menggunakan aksara Arab Pegon, menggunakan bahasa Jawa periferal. Baik Raden Bagus Arfah dan Kiai Soleh Darat melakukan upaya vernakulisasi (membahasa-lokalkan) wahyu dengan realitas zamannya.

***

Saya juga tidak sepakat dengan cara pandang bahwa “Arabisme” adalah segalanya dan Jawa tidak berdaya, pasif, dan tunduk. Keislaman dan ke-Jawa-an bagi saya saling mengisi, berinteraksi secara harmonis. Bisa dilacak melalui karya Yosodipuro, maupun Ronggowarsito. Juga melalui cara pandang Kiai Sholeh Darat dalam beberapa karyanya. Perkembangan dunia tasawuf Jawa diulas menarik oleh Prof Simuh dalam salah satu karyanya, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.

Dengan demikian, kalau melihat sejarah ke-Jawa-an dan ke-Nusantara-an, khususnya ke-Jawa-an ada banyak fakta menarik bagaimana identitas etnik ini bertumbukan dan membentuk “cluster pemikiran dan kebudayaan” yang baru. Misalnya kawin silang Jawa-Tionghoa maupun Jawa-Arab. Sri Sultan Hamengkubuwono II bahkan punya dua menantu dari kalangan Alawiyyin: Sayyid Alwi Ba’abud, imigran Hadrami, yang menikahkan putranya, Sayyid Hasan Munadi Ba’abud dengan BRA Samparwadi yang melahirkan Sayyid Ibrahim Ba’abud, sahabat masa kecil hingga dewasa Pangeran Diponegoro yang kelak bergelar Pekih (Faqih) Ibrahim yang menjadi pengawal sang Pangeran dalam Perang Jawa.

Menantu lainnya dari Sri Sultan Hamengku Buwono II adalah Sayyid Hasan bin Thoha bin Yahya, leluhurnya Habib Lutfi bin Yahya. [Catatan: saya belum menemukan validitas informasi ini. Butuh penjelajahan lebih lanjut). Menantu lain yaitu Raden Ronggo Prawiro Dirjo III, Bupati Madiun, ayah dari Sentot Alibasya, komandan kavaleri dalam Perang Jawa.

***

Menjadi Jawa Muslim, atau Muslim yang nJawani bagi saya indah. Tetap berpijak pada tradisi, sekaligus bernafas dengan nilai Islam. Kalau ingin memahami betapa indahnya men-Jawa sekaligus menjadi Muslim, saya kutipkan bait-bait tembang indah dalam “Mantra Yoga” yang dianggit oleh Ki Trunarimong dan Sang Indrajati. Konon, ini adalah tembang yang disusun oleng Kanjeng Sunan Kalijogo. Perhatikan, betapa indahnya:

Napasku nabi Ngisa linuwih

Nabi Yakup pamiryarsaningwang

Dawud suwaraku mangke

Nabi brahim nyawaku

Nabi Sleman kasekten mami

Nabi Yusuf rupeng wang

Edris ing rambutku

Baginda Ngali kuliting wang

Abubakar getih daging Ngumar singgih

Balung baginda ngusman.

(Nafasku Nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakub pendengaranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi rupaku. Ali sebagai kulitku. Abu Bakar darahku dan Umar dagingku. Sedangkan Usman sebagai tulangku.)

Sumsumingsun Patimah linuwih

Siti aminah bayuning angga

Ayup ing ususku mangke

Nabi Nuh ing jejantung

Nabi Yunus ing otot mami

Netraku ya Muhammad

Pamuluku Rasul

Pinayungan Adam Kawa

Sampun pepak sakathahe para nabi

Dadya sarira tunggal

(Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti Aminah sebagai kekuatan badanku. Nabi Ayub ada di dalam ususku. Nabi Nuh di dalam jantungku. Nabi Yunus di dalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.)

Akhirnya, untuk menjadi Jawa, tidak perlu rasis. Untuk menjadi muslim, tidak usah fasis. Biasa saja. Urip mung sakmadyo!

Oleh: Rijal Mumazziq Z (Rektor Inaifas, Kencong, Jember)

https://www.laduni.id/post/read/71905/menjadi-muslim-yang-njawani.html