Menjaga Pesantren Tetap Menjadi Pesantren

Dunia pendidikan di Indonesia berkembang pesat seiring perkembangan zaman, berjalan saling berdampingan dan berkompetisi bersama tren model-model pendidikan umum baik formal maupun informal yang ada di seluruh dunia. Lini masa panjang Nusantara hingga resmi menggunakan nama Indonesia, tentunya juga meninggalkan kisah-kisah perjalanan dunia pendidikan di dalamnya. Setidaknya, model pendidikan di Nusantara pada masa lampau terlihat mulai diinisiasi dan dijalankan oleh para pemuka agama yang menyampaikan pendidikan agama sesuai metode “dakwah’nya masing-masing.

Beberapa model pendidikan berbasis ke-agama-an yang kemudian berkembang di Nusantara [Indonesia], antara lain dalam Islam kita kenal istilah Majelis Taklim yang merupakan kelompok-kelompok masyarakat di berbagai tempat yang mengkaji ilmu agama dan dipandu oleh seorang kyai/ulama. Kemudian Madrasah Takmiliyah atau Madrasah Diniyah, yang lebih terorganisir dan memiliki kurikulum pelajaran serta berjenjang. Begitu halnya dalam agama Kristen dikenal istilah Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja dan Katekisasi. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat istilah Pasraman dan Pesantian yang merupakan lembaga pendidikan informal sebagai upaya agar pengetahuan dalam agama Hindu-Buddha lebih intensif.

Kesemuanya merupakan model-model pendidikan berbasis agama yang di”ampu” oleh tokoh ulama agama masing-masing. Bentuk dan tujuannya sama seperti halnya pondok pesantren yang menitikberatkan pendidikan agama secara intensif.

Model lembaga pendidikan Pesantren dalam dunia pendidikan [informal] Islam di Indonesia, merupakan salah satu bentuk dari hasil produk akulturasi budaya di Indonesia [Nusantara]. Akulturasi budaya tersebut tidak lepas dari budaya awal (budaya agama) yang telah lebih dulu ada di Nusantara sebelum masuknya Islam. Hal tersebut memberi pesan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui sistem pendidikan yang dapat diterima oleh agama dan budaya terdahulu, yang sudah ada sejak lama di Nusantara sebelum masuknya Islam.

Pesantren (pe-Santri-an), dalam Kabus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat murid-murid (santri) mempelajari ilmu dan segala hal yang menyertainya. Pada perkembangannya, dengan semakin banyaknya santri yang hadir dan memilih untuk tetap bersama panutannya (kyai/ulama), maka dibangunlah kamar-kamar tempat menginap (asrama/pondok). Tempat-tempat berupa kamar santri itulah yang kemudian memunculkan istilah yang hingga kini digunakan, yakni Pondok Pesantren atau Asrama Santri yang mengadaptasi istilah Pashraman (ashram) dalam pendidikan agama Hindu-Buddha.

Baca juga:  Clubhouse, Medsos yang Unik dan Eksklusif di Era Dakwah 3.0  

Definisi lainnya yang menjelaskan arti Pesantren adalah proses pe-nyantri-an yang memiliki dua arti ; yaitu tempat santri atau proses menjadi santri (Soebahar 2013).

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, disebutkan beberapa istilah Pesantren yang dikenal di Indonesia. Disebutkan dalam Undang-Undang tersebut istilah Dayah yang digunakan masyarakat Aceh Darussalam untuk menyebutkan tempat belajar mengajar seperti halnya Pesantren. Dayah diadaptasi dari bahasa Arab yakni Zawiyah yang dalam beberapa bentuk penulisan transliterasi Arab-Melayu ditulis Dhawiyah atau dalam kebiasaan pengucapan lisan melayu terdengar menjadi bunyi Dayah.

Cantrik adalah seseorang yang  menjadi pengikut atau seseorang yang mempelajari sesuatu dengan serius secara terus menerus. Kata Cantrik  merupakan bahasa Sansekerta yang biasa digunakan masyarakat Jawa pada masa lampau. Kata inilah yang kemudian diadaptasai menjadi “Santri”, sesuai dengan pemaknaan dan kesamaan aktivitas yang dilakukan Santri-Pesantren yang menjadi pengikut seorang ulama dan mengambil ilmu darinya.

Sedangkan seseorang yang menjadi pengajar ilmu agama dengan kompetensi sesuai standar keilmuan Islam biasa dikenal dengan berbagai nama yang merujuk pada satu istilah yakni Kyai (kiai) atau Ulama. Di Jawa dikenal dengan sebutan Kyai, di Nusa Tenggara dikenal dengan sebutan Tuan Guru, sementara di Minangkabau dikenal dengan nama Inyiak dan Buya atau Abuya, Ajengan di wilayah Jawa Barat dan Anre Gurutta di Sulawesi selatan, yang kesemuanya merupakan istilah yang menggambarkan sosok ulama atau Syekh/Syaikh dalam bahasa Arab.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa istilah Pesantren yang berangkat dari istilah-istilah seperti sanggar dan padepokan, dan juga cantrik dan pesantian adalah ruang publik tertua dan berasal dari hasil akulturasi budaya yang mencerminkan moderasi beragama di Nusantara. Pesantren sebagai lembaga pendidikan berakar moderasi di Nusantara tersebut tetap mencerminkan nilai-nilai tawassuth, i’tidal, tasamuh, musyawarah, ishlah, qudwah, muwathanah serta i’tirofil urfi.

Pesantren dengan ciri khas asalnya, tetap harus dipertahankan di tengah kemajuan zaman dewasa ini yang semakin banyak bermunculan model-model lembaga pendidikan serupa Pesantren namun kehilangan “ruh” Pesantren-nya. Ciri khas Pesantren yang menjadi syarat sebuah lembaga pendidikan agama Islam dapat disebut Pesantren, minimal harus memiliki beberapa syarat wajib yakni ; yang Pertama Kyai atau sebutan lainnya seperti dijelaskan sebelumnya.

Baca juga:  Mengapa Alquran Mengizinkan Perang dan Kekerasan?

Sosok ini adalah figur pengasuh yang menjaga eksistensi sebuah Pesantren dan memberi pengajaran di dalam Pesantren. Kedua adalah Santri yang bermukim. Yakni peserta didik yang menerima pengajaran dari Kyai di Pesantren dan harus bermukim di dalam Pesantren. Jika tidak bermukim dalam Pesantren maka lembaga itu tidak disebut sebagai Pesantren. Ketiga, adalah ketersediaan asrama, seperti disebutkan pada penjelasan sebelumnya bahwa Pesantren adalah ruang pembelajaran intensif yang membutuhkan sebuah tempat bagi santri-nya untuk tinggal dan berdekatan dengan Kyai/Guru nya. Keempat, yakni ketersediaan tempat beribadah yaitu Masjid. Kemudian yang kelima, adalah bahan ajar khusus yang diajarkan di Pesantren yakni rujukan-rujukan ilmu dari tulisan-tulisan yang muktabar, yang lebih dikenal di dunia Pesantren dikenal sebagai Kitab Kuning.

Ruang pendidikan yang telah lama dijalankan Pesantren di Nusantara dan ideal sesuai namanya adalah Madrasah, yang namanya mengadaptasi kata dari bahasa Arab. Kata Madrasah, diambil dari bahasa Arab yang berarti tempat belajar. Kata tersebut masuk dalam kebiasaan masyarakat di Nusantara, terkait dengan adanya proses pembelajaran agama Islam yang dibawa oleh para mubaligh berbangsa Arab melalui misi dagang yang dijalankannya di Nusantara.

Sementara Pesantren, tetap menggunakan nama dari adaptasi bahasa Sansekerta, seperti yang sudah lebih awal digunakan di Nusantara (khususnya Jawa). Pada perjalanannya, Madrasah selalu ada dalam Pesantren sebagai kelas intensif yang mengelompokkan santri-santri yang ada di dalamnya sebagai peserta belajar. Madrasah adalah ruang belajar tertua di Indonesia, yang sudah dikenal sejak Indonesia masih menggunakan nama Nusantara. Sejarah adanya pengorganisiran sistem pendidikan Pesantren menggunakan model Madrasah, dapat ditemukan di beberapa Pesantren di Indonesia khususnya Pesantren yang tergolong lama/tua.

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (5): Tiga Ulama Sumbawa dan Tiga Tuan Guru Pertama

Menjaga Ruhul Ma’had

Hingga saat ini, lembaga pendidikan Pesantren masih dipercaya sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang memiliki ciri khas dalam menjaga serta membentuk karakter asli daerah masing-masing dan karakter bangsa Indonesia. Karakteristik santri yang merupakan bagian penting pendidikan Pesantren dapat dilihat dari sikap mencintai daerah asalnya. Terbukti dengan banyaknya Pesantren yang didirikan pada era abad ke-17 hingga abad ke-19, dengan tidak menggunakan nama Pesantrennya dalam bahasa atau istilah Arab namun menggunakan nama daerahnya masing-masing. Sebut saja beberapa Pesantren seperti Pesantren Tegalsari Ponorogo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Kademangan Bangkalan, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Buntet Cirebon dan masih banyak yang lainnya.

Pesantren dan ciri khas dinamika kehidupan para santri dan kyai-nya, serta ciri khas metode pengajaran dan bahan rujukan ilmu yang digunakan sejak dahulu hingga kini telah melahirkan generasi-generasi emas yang mewarnai perjalanan panjang bangsa Indonesia. Membuktikan bahwa Pesantren dan Sui Generis-nya dalam bentuk lembaga dan metode pengajarannya merupakan mahakarya yang harus tetap ada dan harus tetap seperti itu adanya. Menjaga Pesantren agar tetap menjadi Pesantren, adalah tanggungjawab semua pihak di dalam negara ini. Karena negara ini turut dibangun dari pemikiran serta peran aktif santri dan ulama pesantren.

Pesantren dan perkembangannya dewasa ini, menghadirkan berbagai bentuk modernitas. Namun di tengah maraknya model-model baru Pesantren yang ditawarkan hari ini, Pesantren haruslah tetap menjaga “ruh”-nya. Pesantren tetaplah harus memiliki Kyai  yang mengampu pendidikan serta berada dalam Pesantrennya sebagai contoh bagi santri-santrinya. Pesantren tetaplah menggunakan kitab-kitab yang telah sejak lama digunakan dengan tetap menggunakan cara-cara penyampaian kajian kitab seperti halnya Pesantren-Pesantren terdahulu[]

https://alif.id/read/maral/menjaga-pesantren-tetap-menjadi-pesantren-b245619p/