Oleh Dr. Nasaruddin Idris Jauhar, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
RumahBaca.id – Menulislah dengan hati, bukan dengan pikiran. Dengan hati, proses menulis akan lebih mudah dan hasilnya akan mudah dipahami oleh yang membaca. Sebaliknya, menulis dengan pikiran, prosesnya terasa berat dan hasilnya pun umumnya tidak enak dibaca dan sulit dipahami. Menulislah seperti orang yang sedang marah, keluar dan mengalir begitu saja, tanpa outline dan editing yang berbelit-belit.
Itulah kata-kata bertenaga yang disampaikan Prof. Imam Suprayogo pada acara zoominar bertajuk “Membangun Tradisi Menulis” yang diselenggarakan oleh Komunitas Sahabat Pena Nusantara (SPN) berkolaborasi dengan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, Ahad, 03 Oktober 2021.
Di antara kita mungkin ada yang tidak setuju dengan prinsip menulis yang beliau lontarkan ini. Tapi itulah pengalaman nyata beliau dalam dunia litarasi yang telah mengantar beliau mampu menulis tidak kurang dari 4600 artikel dan 40 buku dalam waktu lebih kurang sembilan tahun. Hebatnya, menulis dengan konsisten dan produktif tersebut beliau lakukan setiap hari hampir tanpa jeda di tengah kesibukan beliau sebagai pimpinan Universitas Muhamadiyah dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Atas konsistensinya tersebut, beliau pernah mendapat penghargaan MURI dalam kategori konsistensi menulis setiap hari selama setahun.
Menurut beliau, dari hatilah ide dan inspirasi menulis bermula. Hatilah yang sejatinya mengolah ide dan inspirasi yang hendak disampaikan sesorang melalui tulisan. Otak dan dan pikiran hanyalah alat dari proses yang bersumber dari hati ini. Maka, menulis yang orisinal dan bertenaga adalah yang mengikuti suara hati, bukan yang bertumpu pada olahan otak dan pikiran. Menulis dengan tuntunan hati akan mengalir lancar tanpa beban. Hasilnya pun mencerminkan suara hati yang juga umumnya mudah dipahami dan dicerna oleh pembaca. Tulisan yang lahir dari proses seperti ini menjadi sarana tegur sapa dari hati ke hati anatar penulis dan pembaca.
Sebaliknya, proses menulis yang lebih banyak bertumpu pada olahan pikiran akan terasa berat, karena harus melewati “rambu-rambu” yang dibuat oleh penulis sendiri. Pada tahap inilah proses menuangkan ide atau pikiran ke dalam baris-baris kata dan kalimat akan terasa berat. Dan inilah kenapa banyak penulis produktif banyak yang memberi saran kepada para penulis pemula untuk menulis apa yang dipikirkan dan tidak memikirkan apa yang ditulis. Sebenarnya, masalah seperti ini tidak hanya muncul ketika menulis, tapi juga saat berbicara. Ketika seseorang terlalu mengontrol pembicaraannya, baik konten maupun cara bicaranya, dia justru akan kesulitan berbicara atau, setidaknya, ia tidak akan berbicara dengan lepas dan lancar.
Namun demikian, menulis dengan tuntunan hati bukan berarti mengabaikan rambu-rambu menulis. Tulisan sebagai media komunikasi dengan orang lain tetap harus memperhatikan rambu-rambu tertentu agar menjadi karya yang efektif dan tercapai tujuannya. Di antara hal mendasar yang dapat mempermudah proses menulis dengan hati adalah menulis apa yang dikuasai dan tidak memaksakan diri menulis sesuatu yang belum dikuasai atau dipahami dengan baik. Penguasaan tentang suatu topik adalah modal utama untuk menulis, karena dari sinilah muncul ide dan inspirasi tetang apa yang hendak ditulis. Proses menulis pun akan menjadi relatif lebih mudah dan lancar, karena tidak lagi membutuhkan banyak proses berpikir.
Menulis apa yang dikuasai juga berarti bahwa aktifitas menulis harus didukung dengan aktifitas membaca. Pengetahuan, pemahaman dan penguasaan tentang sesuatu tidak mungkin tanpa membaca. Orang yang banyak baca akan mengetahui dan menguasai banyak hal, dan orang yang menguasai banyak hal akan terinspirasi untuk menulis banyak hal. Sebaliknya, orang yang jarang baca tak akan memiliki banyak ide untuk menulis. Ia mungkin bisa memaksakan diri untuk menulis sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami dan kuasai, tapi itu tentu akan menjadi proses yang berat baginya, karena apa yang hendak ia tulis belum terkonsep secara utuh dalam hatinya. Ia pasti akan terjebak dalam proses “menulis sambil berpikir” yang berat itu.
Selain itu, tulisan harus dituangkan dalam pilihan kata dan kalimat yang logis dan meyakinkan. Logis berarti masuk akal dan mudah dipahami. Untuk tulisan yang berangkat dari konsep yang sudah utuh dan matang dalam hati, proses ini relatif tidak sulit. Sementara meyakinkan adalah dapat diterima dan dipercaya oleh pembaca. Kedua hal ini penting dalam sebuah tulisan, karena terkait dengan tujuan dasar aktifatas menulis, yaitu menyampaikan sesuatu, dipahami dan diterima oleh pembaca. Sama seperti aspek penguasaan materi, aspek ini juga membutuhkan dukungan bacaan dan referensi yang cukup, terutama yang berkaitan dengan teori-teori dari berbagai bidang ilmu. Penulis yang mengetahui teori-teori tertentu tulisannya lebih berbobot dan meyakinkan. Selain itu, ia bisa melihat sesuatu dengan cara yang bernuansa sehingga ia mendapatkan banyak ide untuk menuslikannya kembali untuk orang lain. Penulis yang melihat sesuatu dengan teori seperti orang yang melihat kuman dengan mikroskop. Ia bisa mengetahui sesuatu dengan lebih jelas dan lebih detail dari yang dilihat kebanyakan orang. Dan ini adalah modal yang sangat berharga baginya untuk menulis.
Ketika proses menulis dengan hati sudah bisa dilakukan, tahap selanjutnya adalah berusaha bagaimana agar proses tersebut bisa dilakukan dengan konsisten dan produktif. Ada faktor internal dan eksternal yang bisa mempengaruhi hal ini. Faktor internalnya adalah, seorang penulis harus berusaha merespon semua ide yang muncul dalam hatinya untuk diwujudkan menjadi tulisan. Siapa pun yang banyak membaca, umumnya akan kedatangan banyak ide untuk ditulis. Tapi tidak semua pembaca adalah penulis. Penyebabnya adalah karena ide-ide yang hadir tidak disambut dengan baik dan tidak dituangkan dalam sebuah tulisan. Hanya mereka yang selalu berusaha meneruskan idenya menjadi tulisanlah yang akan muncul sebagai penulis konsisten dan produktif.
Adapun faktor eksternalnya adalah dukungan lingkungan. Untuk menjadi konsisten dan produktif, seorang penulis butuh berinteraksi dengan orang lain yang juga menekuni dunia tulis-menulis. Lingkungan seperti ini ia butuhkan bukan hanya untuk menjaga semangat dan motivasi menulisnya, tapi juga sebagai cermin tempat berkaca untuk mengukur dan menilai kualitas tulisannya.
Di atas semua itu, menulis harus dipahami sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari keterlibatan seseorang dalam dunia akademik dan keilmuan. Karya tulis adalah bukti keilmuan dan keilmuwanan seseorang. Karya tulis, terutama buku, bagi para guru dan dosen, tak ubahnya seperti hasil panen bagi para petani. Bukti bertaninya seorang petani adalah hasil panennya, dan bukti interaksi seorang guru atau dosen dengan bidang ilmunya adalah karya tulisnya. Petani yang tidak memanen berarti menjalani musim yang paceklik, dan Guru-dosen yang tidak memiliki karya tulis adalah guru-dosen yang mengalami paceklik keilmuan.
Wallahu A’lam.