Konflik Israel dan Palestina telah terjadi sejak bertahun-tahun lalu. Negeri Syam, Palestina, dan Israel, tidak pernah menjadi tempat yang strategis dari segi geografis maupun ekonomi, khususnya pada abad ke-20 ini.
Perlu dipahami bahwa konflik Israel–Palestina ini memiliki beberapa akar persoalan seperti identitas, agama, geopolitik, politik, hingga sejarah. Ada pula aktor yang menggawangi seperti negara-negara Arab, Israel, Barat, dan non-negara.
Lalu kiranya apa yang menengarai konflik antara Israel dan Palestina dalam konteks sejarah Islam dan politik Timur Tengah? Pemaparan tentang hal tersebut diurai oleh dua pemateri pada webinar yang digelar Ikatan Mahasiswa Alumni Nurul Jadid (IMAN) Malang Raya, Sabtu (26/6/2021).
Webinar yang bertajuk ‘Menyelami Konflik Israel-Palestina dalam Konteks Sejarah Islam dan Politik Timur Tengah,’ tersebut menghadirkan pemateri, Ahmad Sahidah, Phd yang merupakan dosen pasca sarjana Universitas Nurul Jadid, dan Heavy Nala E, M.Hub.Int, dosen hubungan internasional UM.
Ahmad Sahidah menjelaskan bahwa konflik ini merupakan konflik identitas (Arab, keislaman, judaisme, Yahudi) dan agama. Secara alamiah, mereka memang memiliki identitas dan agama yang berbeda.
Persoalan Palestina dan Israel bukan hanya soal agama. Dalam memahaminya, satu buku yang dapat dirujuk yaitu History of Palestina – The Last Two Thousand Years (Jacob De Haas). “Meski buku tersebut karya penulis Yahudi, tetapi di dalamnya memuat banyak hal yang juga memihak Palestina,” tuturnya.
Palestina di hari ini, juga di jalur Gaza, tidak sepenuhnya masyarakat muslim. Banyak orang Yahudi, sarjana sekalipun, yang memihak Palestina. Selain itu ada pula buku Ten Myths About Israel karangan Ilan Pappe.
Dua Mitos Penting
Pada webinar tersebut Ahmad Sahidah menerangkan, hanya ada dua mitos yang paling penting.
Pertama, mitos yang berkembang bahwa Palestina itu ‘tanah tanpa rakyat untuk orang tanpa tanah,’ Seperti yang diklaim oleh zionis Yahudi awal.
Pappe menunjukkan bahwa perpindahan pribumi sudah menjadi sebagian dari ideologi penjajah (kolonial) dari dulu.
“Mitos pertama ini menjelaskan tuntutan zionis bahwa Palestina adalah tanah kosong. Terdapat kesepakatan di kalangan para sarjana bahwa orang Romawi yang memberi nama tanah itu sebagai Palestina,” lanjutnya.
Pada zaman Romawi dan kemudian Bizantium, Palestina itu adalah wilayah kekuasan kaisar. Banyak pemerintahan muslim bercita-cita untuk menguasainya, karena merupakan rumah kedua paling suci dalam Islam, subur, dan berada di lokasi strategis.
Ahmad Sahidah kemudian menceritakan zaman Utsmaniyyah bermula, pada tahun 1517, dan berlangsung selama 400 tahun. Ketika Utsmaniyyah tiba, mereka menemukan sebuah masyarakat yang kebanyakannya nuslim Sunni dan kota pinggiran yang bisa berbahasa Arab.
Kurang dari 5 persen penduduknya adalah Yahudi dan mungkin 10 hingga 15 persen beragama Kristen. Ilan Pappe menuliskan bahwa dari sepuluh mitos, mitos pertama yang paling penting.
Yonatan Mendel, pakar sejarah, menyatakan bahwa persentase Yahudi yang tepat sebelum kebangkitan zionisme tidak diketahui. Namun, mungkin di antara 2–5 persen saja.
Menurut catatan Utsmaniyyah, sejumlah 462.465 penduduk tinggal pada tahun 1878 di Israel-Palestina sekarang ini. Dari jumlah ini, 403,795 (87%) adalah muslim, 43,659 (10%) adalah kristinai dan 15,011 (3 %) adalah penganut Yahudi.
“Bagi mereka yang menerima informasi dari sumber-sumber resmi Israel, Pappe menunjukkan bahwa mereka merujuk pada pandangan bahwa Palestina pada abad ke-16 itu, adalah mayoritas Yahudi. Sumber komersial di wilayah itu hanya bertumpu pada masyarakat Yahudi,” Terang PhD dari School of Humanities University of Science Malaysia itu.
Banyak sarjana Israel menentang cerita palsu ini, di antaranya David Grossman, Amnon Cohen, dan Yehoshua Ben-Arieh. Penelitian mereka menunjukkan bahwa selama berabad-abad, Palestina bukannya menjadi padang pasir, bahkan ia berkembang maju dengan masyarakat Arab.
Mitos yang kedua yaitu ‘orang-orang Yahudi adalah orang tanpa tanah.’ Menyoal apakah peneroka Yahudi (Jews Settlers) yang tiba di Palestina bias dianggap orang, Pappe mengutip Shlomo Sand The Invention of the Jewish People yang menunjukkan bahwa dunia Kristen (Christian world) memelihara kepentingannya sendiri mengadopsi ide orang Yahudi sebagai bangsa yang mesti suatu hari kembali ke tanah suci menurut pandangannya.
“Ini dianggap sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk pengakhiran dunia. Barangsiapa yang membaca sejarah dunia dan paham kerakusan gereja di zaman gelap pasti mengerti frasa memelihara kepentingan itu.”
Kepentingan orang Kristen, berjalin Kelindan dengan orang Yahudi. Bahwa sebenarnya alasan kita suci bisa dipahami dua, secara simbolik, dan kepercayaan.
Orang Yahudi ada yang memandang zionisme sebagai agama. Ada pula yang beranggapan sebagai ideologi. Perlu dipahami juga zionisme sebenarnya adalah proyek penjajahan. Ada dua gerakan teologi dan imperialisme yang berkelindan.
“Kita tidak lagi berbicara lagi soal agama un sich, tetapi pada waktu yang bersamaan ternyata negara Arab sendiri juga membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Kalau Palestina membuka hubungan diplomatik dengan Israel bagaimana kita hendak menyelesaikan,” jelas Ahmad Sahidah mengakhiri pemaparan materi yang pertama.
Heavy Nala Estriani menerangkan, konflik ini selain soal sejarah, sebenarnya ada dekonstruksi keinginan lain, yaitu siapa yang paling besar mendapat keuntungan.
“Konflik apa pun bisa duduk pada meja perundingan. Kenapa tidak dilakukan, berarti masih ada kepentingan lain. Amerika jelas memiliki konflik besar, Amerika hanya akan berperang dengan negara yang jauh,” tegasnya.
Lebih lanjut penulis buku Teror is Me itu menerangkan bagaimana konflik Israel–Palestina terkait dengan konflik Timur Tengah. Bahasannya sangat luas. Bisa dipahami dalam konteks eksternal, sudah menjadi masalah bagi masyarakat internasional.
Hampir semua negara turut menyoroti. Isu Israel–Palestina menjadi isu strategis hubungan luar negeri Indonesia.
Konflik Arab – Israel, dan konflik Palestina – Israel tidak bisa dipisahkan. Sejak 1948 eskalasi konflik yang terjadi bukan hanya negara Arab.
Sebenarnya yang harus dipertanyakan saat ini, terutama pasca terjadinya perang 11 hari antara Hamas dan tentara Israel adalah empat hal.
Pertama, prospek perdamaian, melakukan normalisasi hubungan arab dan Israel.
Kedua, peran komunitas Internasional, international quartet (United Nation, Uni Eropa, Amerika, dan Rusia).
Ketiga, the role key of Arab Countries (Mesir dan Yordania) Peran negara negara Arab lain. Liga arab, harusnya bisa lebih aktif dan responsif.
“Keempat, apakah masih memungkikan perjanjian dua negara, dengan kondisi yang terjadi saat ini? Peta jalan damai, apakah ini sebuah eutopia, tentu membutuhkan komitmen bersama,” jelas Heavy Nala.