Menyimak Pandangan Syaikh Ali Jum’ah dalam Menakar Hukum Bank yang Dikaitkan dengan Riba

Laduni.ID, Jakarta – Sebagian kalangan menganggap bahwa bunga bank itu riba sehingga berinteraksi dengan bank sama dengan berinteraksi dengan riba. Namun, penjelasan berbeda dikemukakan oleh Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Negara Mesir. Beliau berpendapat bahwa bank itu bukan riba sehingga tidak ada larangan untuk berinteraksi dengan bank.

Dalam sebuah program wawancara yang bertajuk “Mafahim Ifta’iyah” (Pendalaman-Pendalaman Fatwa), beliau menjelaskan secara terperinci mengapa bank tidak bisa disebut riba.

Syaikh Ali Jum’ah mengawali penjelasannya, bahwa fatwa itu menurut peristiwanya secara spesifik; jika peristiwanya telah berubah, maka fatwa tersebut tidak lagi relevan. Beliau juga menjelaskan bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) harus benar-benar mendalami dan menguasai persoalan yang sedang dimintakan fatwa. Ketidakpahaman terhadap suatu persoalan, menjadikan fatwa cenderung berpotensi tidak benar atau tidak sesuai dengan hukum Islam.

Syaikh Ali Jum’ah kemudian menjelaskan, tidak bisa dipungkiri memang dahulu terdapat fatwa bahwa bunga bank itu termasuk riba dengan asumsi bahwa uang yang beredar di masyarakat masih berpatokan pada emas. Namun, itu telah berubah. Uang yang beredar, terutama lewat bank, tidak lagi berpatokan pada emas, tapi memiliki sistem sendiri yang diatur dan diawasi oleh Bank Central. Dengan demikian, fatwa mengenai bank tersebut cenderung tidak lagi relevan sekarang ini.

Selain itu, dahulu orang memahami bahwa uang dan bank adalah sesuatu yang berbeda; tapi pemahaman ini tidak relevan lagi, karena uang dan bank itu hakikatnya adalah sama.

Pemahaman yang membedakan antara uang dan bank berangkat dari asumsi bahwa uang itu berpatokan pada emas. Tapi sekarang, tidak lagi demikian. Uang tidak lagi berpatokan pada emas, tapi pada devisa negara.

Di samping itu, uang yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh bank, yaitu Bank Central. Jadi, sebenarnya uang dan bank adalah satu kesatuan, ibarat dua sisi mata uang. Implikasinya, jika seseorang mengatakan bahwa bank adalah riba, maka berarti uang yang beredar sekarang juga riba karena berasal dari bank sehingga semuanya haram. Tentunya tidak ada yang berpendapat demikian.

Syaikh Ali Jum’ah juga menjelaskan, bahwa selama ini bank dianggap riba atas dasar beberapa hal, yaitu:

1. Uang yang ditransaksikan dalam bank adalah berpatokan pada emas atau perak.
2. Transaksi bank diasumsikan sebagai bentuk Qardh (utang-piutang) sehingga terdapat Dhaman (tanggungan) dari pihak yang berutang.
3. Terdapat manfaat (faedah/ tambahan) dalam utang-piutang tersebut yang lazim disebut dengan bunga bank.

Hukum ini benar jika bank memang benar demikian. Nyatanya, bank atau sistem bank, tidaklah demikian sehingga hukum tersebut tidak bisa dibenarkan.

Sebuah tukar menukar bisa dianggap riba jika berupa emas atau perak yang ditukar dengan sejenisnya dengan adanya tambahan; dengan arti tidak sama timbangan/nilainya. Jika uang -yang dikeluarkan oleh bank- memang representasi dari emas/perak, maka benar jika transaksi bank dianggap riba. Namun, nyatanya tidak demikian, uang yang beredar sekarang bukan representasi dari emas/perak sehingga tidak terdapat unsur riba.

Selanjutnya, transaksi bank sebenarnya bukanlah bentuk Qardh (utang-piutang), melainkan Tamwil (pembiayaan). Riba terjadi karena ada tambahan dalam utang (Qardh) tanpa ada pekerjaan (produksi), sedangkan transaksi bank tidak demikian. Sistem bank yaitu investasi. Bank mengumpulkan dana dari masyarakat lalu menginvestasikannya dalam bentuk pembiayaan pada masyarakat pula. Jadi sebenarnya tidak ada “bunga utang” atau faedah, tapi yang ada adalah sistem bagi hasil dari keuntungan pembiayaan.

Syaikh Ali Jum’ah menegaskan bahwa terdapat 6 fakta mengenai bank yang perlu diketahui, yaitu:

1. Uang adalah sama saja dengan bank karena dikeluarkan olehnya.
2. Uang yang beredar sekarang -yang dikeluarkan oleh Bank Central- adalah sama sekali tidak lagi berkaitan dengan emas.
3. Bank -terutama Bank Central- memiliki tugas di masyarakat yang perlu diketahui, yaitu mencegah inflasi.
4. Bank tercipta dan tumbuh dari sistem lain (Barat) yang tidak banyak kita ketahui.
5. Sekarang ini, sistem bank telah dipakai oleh seluruh dunia tanpa bisa dihindari lagi oleh suatu negara.
6. Bank itu fungsinya membiayai (Tamwil), bukan mengutangi (Qardh); jadi tidak ada yang namanya “bunga utang” atau faedah, tapi yang ada adalah sistem bagi hasil dari keuntungan pembiayaan.

Lebih lanjut dijelaskan oleh beliau, bahwa sebab hukum (‘illat) riba tidak terdapat pada bank sehingga bank tidak bisa dihukumi riba.

Pertama, bisa dianggap riba jika obyeknya (Mahal Al-‘Illat) adalah emas, sedangkan transaksi bank tidak ada kaitannya dengan emas, sehingga tidak bisa dianggap riba. Sebagaimana tersebut dalam kaidah, bahwa jika tempat (Mahal) hukum tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.

Kedua, bisa disebut riba jika transaksi berupa utang-piutang yang terdapat tambahan/faedah/manfaat di dalamnya, sebagaimana kaidah “setiap utang yang terdapat manfaatnya, maka dikatakan riba (كُلُّ قَرْضٍ جَرَى مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا).

Transaksi bank bukanlah utang-piutang, melainkan pembiayaan/investasi yang ada unsur produksi. Manfaat (bunga) yang ada pada transaksi perbankan sebenarnya adalah bagi hasil dari keuntungan yang didapatkan dari pembiayaan tersebut. Dengan demikian, transaksi bank tidak bisa dianggap sebagai riba.

Bahkan Syaikh Ali Jum’ah berpendapat, bahwa ketiadaan bank sekarang ini justru akan mendatangkan riba. Jika bank tidak ada, maka akan terjadi riba di masyarakat. Salah satu fungsi bank adalah mencegah inflasi. Dengan tidak adanya bank, berarti tidak ada lembaga yang mencegah inflasi, sehingga sangat rentan terjadi inflasi di masyarakat yang ditandai dengan naiknya harga-harga barang. Uang 100 ribu misalnya, semula bisa untuk beli sepatu bagus, tapi dengan adanya inflasi -karena tidak adanya bank- menjadi tidak bisa untuk membelinya.

Dengan demikian, jika terjadi inflasi, maka nilai uang tersebut menjadi turun (tidak sama dengan sebelumnya), sedangkan nilai/harga barang naik (bertambah). Dan hal ini tentu sangat identik dengan riba. Lagi pula kalangan yang paling menderita dengan adanya inflasi adalah rakyat kecil karena tidak memiliki banyak uang. Kemungkinan yang akan terjadi tersebut sangat cocok dengan substansi dilarangnya riba dalam Islam, yaitu melindungi kepentingan masyarakat bawah. Begitu pula dengan diwajibkannya zakat, juga memiliki substansi yang sama, yaitu melindungi kaum lemah.

Jika dikatakan bahwa bunga bank itu berlipat ganda sehingga identik dengan riba, maka bisa dijawab; bahwa bank itu memiliki sistemnya sendiri yang sudah ditetapkan dan sudah diberitahukan kepada customer atau nasabah. Jika kemudian pengutang tidak bisa membayar cicilan sehingga terkena denda maka itu sebuah konsekuensi.

Lagi pula sudah ada regulasinya, jika memang pelanggan mengalami kredit macet. Pelanggan bisa berkomunikasi dengan bank untuk memperoleh keringanan cicilan, dan jika perlu, bisa juga lewat jalur hukum. Selain itu, terdapat pula sistem bank yang memungkinkan memberikan pinjaman lagi supaya costumer tadi bisa bangkit dari keterpurukan bisnisnya.

Jika dikatakan bahwa bank itu boleh karena terpaksa (Dharurat), karena tidak bisa menghindarinya lagi; maka bisa dijawab bahwa itu tidaklah benar, karena bank itu sudah di luar riba, karena bank sama sekali tidak terkait dengan emas dan perak yang menjadi tempat (Mahal) adanya riba.

Sebagaimana dalam kaidah fiqih (Qowaid Fiqhiyah); jika tempat hukum tidak ada, maka hukum tersebut tidak bisa diberlakukan. Misalnya, hukum denda (Kafarat) dengan memerdekakan budak. Ini tidak bisa dilakukan karena sekarang ini tidak ada lagi budak. Semisal pula kewajiban membasuh tangan sampai siku dalam wudhu. Ini tidak bisa diberlakukan jika orang yang wudhu memang tidak memiliki tangan. Demikian pula dalam hal riba yang tempatnya adalah emas dan perak. Jika bank bukanlah emas dan perak, maka tidak bisa dikatakan bahwa bank itu riba. Terakhir, Syaikh Ali Jumah menegaskan bahwa fatwa yang beliau keluarkan sama sekali tidak ada campur tangan pemerintah. Hal ini ditegaskan untuk menunjukkan independensi pandangannya.

Banyak kalangan menganggap bahwa beliau memperbolehkan transaksi bank karena ditekan oleh pemerintah atau karena kepentingan negara. Syaikh Ali Jum’ah dengan tegas membantah hal tersebut. Beliau menegaskan bahwa fatwa tersebut murni akademis dengan mempelajari bank secara mendalam dan mempertimbangkan banyak hal sesuai dengan realitas sekarang. Beliau juga mengatakan telah mempelajari hal ini selama kurang lebih 40 tahun dengan meneliti seluk beluk bank secara mendalam guna mendapatkan hukum yang benar mengenai bank tersebut. []


Penulis: Yusri Yahya

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/525763/menyimak-pandangan-syaikh-ali-jumah-dalam-menakar-hukum-bank-yang-dikaitkan-dengan-riba.html