Malam yang dingin dan cukup basah di akhir Januari 2024. Pria berusia dua puluh tujuh tahun, cukup sibuk mengemasi perbekalan. Tas Pannier, botol minum, sepatu, kaos, obeng, sampai sebuah pena dan kertas putih di tata begitu rapi terikat kencang pada sebuah sepeda berkelir biru. Badannya yang cukup kekar ditambah tekadnya yang kuat itu, nampak air mukanya tak tersirat setitik rasa takut sekalipun. Adalah Narendra Wicaksana, pemuda dari Klaten yang kisahnya lebih hebat dari Moby Dick.
Narendra tinggal di Klaten tepatnya di Ceper. Bersama Ibunya dan Ayahnya ia sering bergumam menyoal hidup dan cita. Narendra orang yagn diplomatis. Ia berbicara dengan santun, untuk meyakinkan kedua orang tuanya atas semangatnya yang membara, untuk melalanglang buana menembus batas dengan sepedanya yang tergeletak setelah lulus SMP.
Narendra Wicaksana mengukuhkan tekad untuk bersepeda. Batinnya tak hanya merujuk kepada kayuhan sepeda. Ia juga menyuluh terkait kemanusiaan. Sepada bermerk Polygon tipe Nimbus dengan rasio kecepatan tiga kali tujuh, setiap kayuhannya menyiratkan sebuah amanat. Amanat mengenai sepeda dan kemanusiaan.
Mafhum, pertemuannya dengan sepeda sudah dirasakannya sejak dari kecil. Narendra ingin mengayuh dan mencecap aroma rasa udara, dan semerbak tanah yang tak melulu di lingkungan Indonesia semata. Realitas waktu membentuk Narendra memiliki tekad yang kuat. Syahdan, Ibundanya sendiri menyampaikan, bahwa Narendra sendiri sejak kecil punya nyali yang tak biasa.
Tragedi 1 Oktober 2022, ialah sebab musabab, tekad Narendra untuk bersepeda semakin mencuat. Menyoal sepak bola, Rendra panggilan akrabnya, sangat menyukai sepak bola, terkhusus Persis Solo. Batinnya bergejolak ketika pecinta sepak bola di Kanjuruhan harus menghembuskan nafas dengan tak wajar. Pertimbangan yang cukup mantap dan semangat yang meletup-letup, Rendra memutuskan untuk bersuara. Melalui sepedanya itu, Rendra cukup lantang berbicara mengenai Tragedi 1 oktober 2022 di Kanjuruhan Malang yang memilukan itu. Bila sahaja mengetuk pintu hukum tak dapat jawaban, Ia menyuluh sembari mengayuh sepedanya menuju Mekah Al Mukaromah untuk mengetuk pintu langit.
Sepeda dan Pernyataan Sikap
Sebuah rumah mungil pinggir jalan Slamet Riyadi 644, Narendra bermula dan bersiap. Sebelumnya ia bersepeda dari Klaten, kemudian singgah sejenak di Slamet Riyadi 644. Penghuni yang berisi kolumnis itu, acap kali setelah shalat maghrib Rendra mengajaknya berbincang. “Saya akan menyuarakan nasib saudara-saudaraku di Kanjuruhan sampai tanah suci, bahkan seluruh belahan bumi ini.” Tukas Rendra. Beberapa terkesiap atas inisiatifnya. Namun, sebagai seorang kawan, kerisauan itu kami tendang jauh-jauh. Derap harap terbaik untuk Rendra seorang yang mengayuh sepedanya.
Pukul dua pagi 21 Januari 2024, Rendra berpamitan meninggalkan Solo. Sebagian besar penghuni 644 sudah terlelap. Ia mengucapkan salam tanda pamit untuk membayar janjinya untuk sepak bola dan kemanusiaan. Rendra merangsek membelah jalanan Pantura sampai jalanan terjal sepanjang Sumatera. Setiap kota punya cerita mengenai bola. Para supporter di setiap kota di Indonesia yang dilalui Rendra menyambut baik atas inisiatif Rendra yang mulia itu. Terkhusus kawan-kawan Malang yang selalu mensupport Rendra.
Kayuhan sepeda tak selamanya mulus. Perjalanan Rendra beberapa kali diterpa ujian. Permasalahan fisik ialah paling utama. Beberapa kali mengabarkan melalui Whatsapp, tengkuk, betis dan punggungnya memar parah. Ia menggambarkan bagian tubuh tertentunya seperti dihantam oleh pendulum yang sakitnya bukan main. Terpaan itu, menguji dirinya. Mafhum, Rendra tetap setia pada pendiriannya.
Dari negeri ke negeri, Rendra menjelajah dan menyuluh mengenai kemanusiaan. Ia menyampaikan kepada khalayak yang dilaluinya atas sikap dan prinsipnya. Bahwa menghilangkan nyawa orang itu adalah perbuatan yang keji.
Kurang lebih dua tahun sudah, Tragedi Kanjuruhan berlalu. Derita yang mengiris masih terbesit sampai hari ini. Rendra tak ingin sepak bola dinodai oleh tindak kekerasan bahkan berujung pembunuhan. Salah satu tokoh penting yang membikin Rendra semakin tebal ialah Mohandas Karamachand Gandhi. Salah satu petuah yaitu Ahmisa memberi keteguhan untuk menyuluh kebaikan dan kedamaian menjauhi kekerasan. Rendra ingin membuktikannya.
Rendra menyuarakannya sepanjang ia melanglang buana. Malaysia, Thailand, India, Turkey dan Yordania, Narendra menyuarakan solidaritas untuk siapapun menyoal tragedi Kanjuruhan. Luka tragedi Kanjuruhan adalah luka sepak bola dunia. Para pecinta bola seantero dunia harus merasakan dan bersolidaritas agar tak lagi terjadi dalam persepakbolaan.
Perjumpaannya di beberapa negara derap syukur disambut baik. Mereka memberikan banyak apresiasi kepada Rendra. Dari setiap negara yang dilaluinya Rendra mendapatkan banyak sekali perspektif sosiologis sampai politik. Perjalanan panjang itu cukup menguji nyalinya. Kemudian di Turki, Narendra berkesempatan untuk bersua dengan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di Turki. Pertemuan itu memantik perbincangan-perbincangan dengan para supporter di Turkey untuk menyuluh Tragedi Kanjuruhan.
Waktu yang panjang bagi Rendra mengarungi jalanan dari negeri ke negeri lainnya. Pada (16/07/2024) Rendra sudah sampai di dekat Masjidil Haram. Sambil meneteskan air mata, tak terkira ia dapat menempuh ribuan kilometer dengan sepedanya. Rapalan doa dan kalam ilahi menyeruak. Tetesan air mata yang membasahi pipinya itu, seakan membeberkan pedihnya perjuangan merengguh keadilan.
Rendra yang berjuang untuk menyuarakan tragedi Kanjuruhan belum selesai. Ia akan terus bersuara sampai sang khaliq memanggilnya pulang. Setelah perjalanan panjang itu, ia akan membikin sebuah memoar. Ia terkesima dengan Zen RS dan Sindhunata yang juga menyinggung sepak bola dengan sudut pandangnya nan begitu segar. Herbert Feith dari Vienna dan Narendra dari Klaten. Mereka sama-sama menyukai sepeda. Rendra akan setia menyuluh Kanjuruhan, Sepeda dan Kemanusian. Sekian.
Baca Juga
https://alif.id/read/mga/menyuarakan-kemanusiaan-bersepeda-dari-klaten-sampai-makkah-b249601p/