Misteri Stiker Jempol dalam Penilaian Belajar Daring

Oleh Ati Latifah

Sejak diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) efek pandemi Covid-19 (Corona Virus) di Cirebon, sejak itu pula pemerintah mengeluarkan kebijakan agar siswa-siswi juga guru di seluruh Indonesia untuk menjalankan proses belajar mengajar dari rumah, tanpa terkecuali juga siswa/i di PAUD ikut merasakan belajar dari rumah.

Siap tidak siap, terima tidak terima, mudah ataupun sulit, semua kebijakan dan keputusan tersebut harus kami jalani bahkan sampai detik ini saya membuat tulisan ini, sebagian sekolah wilayah Kabupaten dan Kota Cirebon masih menjalani pembelajaran secara daring (dalam jaringan).

Saya, yang sedang menjalani peran sebagai guru anak-anak usia dini (PAUD), cukup mengalami kesulitan dalam menjalani pembelajaran daring ini. Ada banyak hal yang benar-benar harus diperhatikan dari pembelajaran daring, dari mulai bahan ajar, materi-materi yang ingin disampaikan, bahkan sampai pada penilaian hasil belajar siswa dari rumah.

Berbagai Webinar dan pelatihan-pelatihan via online pun kami ikuti, demi mendapatkan ide-ide kreatif untuk anak-anak didik kami, agar tetap tercipta belajar yang aktif, kreatif dan menyenangkan. Begitu juga dengan sistem penilaian belajar daring, seperti apa penilaian kreatif dan efektif yang bisa kami berikan pada anak didik kami. Awalnya kami pun mengalami kebingungan bagaimana cara menilainya dan dalam bentuk apa penilaiannya.

Setiap hari kami memberikan tugas-tugas untuk siswa. Setiap hari pula siswa mengirimkan hasil belajarnya. Satu persatu pesan WA-pri (WhatsApp pribadi) dari siswa. Siswa mengirimkan hasil belajarnya baik itu dalam bentuk foto atau video selalu saya periksa dengan baik dan teliti, dan tidak lupa juga memberikan nilai.

Bagi saya, penilaian adalah hal yang wajib saya berikan pada siswa, karena di situlah bentuk penghargaan kami sebagai guru untuk anak didik kami yang sudah bersusah payah mengerjakan dan mengirimkan tugasnya dengan berbagai kendala yang ada, seperti masalah sinyal, kuota yang limited, juga memori handphone yang penuh, sehingga tidak bisa menampung video yang durasinya cukup lama, bahkan ada juga siswa yang orang tuanya memang belum memiliki smartphone.

Maka dari itu, penilaian sangat penting saya berikan pada siswa. Walaupun hanya sekadar kata-kata “Alhamdulilaah, Ani sudah hafal doa mau makan dan doa setelah makan. Ani keren. Terima kasih, ya. Terima kasih juga buat Mamah yang sudah mengirimkan tugasnya.” Kalimat yang sangat sederhana tapi efeknya akan sangat berpengaruh pada semangat anak, sehingga mereka akan terus semangat walau belajar dari rumah, dan pastinya akan membuat anak semakin bersemangat mengirimkan tugasnya, tidak hanya memberikan penilaian dalam bentuk stiker jempol atau emoticon jempol.

Beberapa teman yang anak-anaknya sedang menjalani belajar dari rumah curhat, “Sudah susah payah mengirimkan tugas, membujuk anak agar mau mengerjakan tugasnya tepat waktu, belum lagi menahan emosi jiwa saat mood anak sedang tidak baik, eeh cuma dikasih stiker jempol doang sama gurunya.” Mau tertawa tapi takut dosa. Tapi dari situ saya berfikir bahwa alhamdulillaah setidaknya penilaian yang saya berikan pada siswa, tidak seperti yang dikeluhkan teman saya. Setidaknya saya berusaha memberikan penilaian yang terbaik untuk siswa, agar mereka tetap terjaga semangatnya, tetap terjaga mood-nya untuk mengerjakan tugas dengan penuh tanggung jawab. Walau usia mereka masih dini, tapi nilai-nilai tanggung jawab wajib harus ditanamkan pula sedini mungkin.

Penulis mengajak para guru yang istimewa untuk hargai hasil karya anak-anak didik kita dengan memberikan penilaian hasil belajar mereka dengan hal-hal yang bisa membangkitkan semangat mereka, tidak hanya STIKER JEMPOL saja. Satu lagi selain stiker jempol, stiker-stiker lain bergambar yang cuma ucapan “terima kasih” juga terasa kurang. Iya sih, intinya mengucapkan terima kasih, tapi bagi penulis, rasanya kurang nyaman kalau menjawab pesan atau chat hanya dibalas dengan stiker atau emoticon doang.

Coba bayangkan dan rasakan, kalau pembaca sekalian sedang chattingan sama seseorang, lantas hanya dibalas dengan emot doang, bagaimana perasaan kalian? Kalau penulis pribadi, langsung sadar diri sih, “Oooh, berarti orang itu sudah gak mau ngelanjutin chattingannya lagi.”

Hal ini tentunya tidak hanya dialami oleh siswa dan guru aja, tapi juga antara mahasiswa dan dosen. Upsss. Sebenarnya sih gimana gitu ya rasanya. Ketika udah capek-capek kirim tugas, mengejar deadline yang sudah mepet, begadang supaya hasil tugas maksimal, sebelum dikirim baca bismillah seribu kali, hati dagdigdug, eeeeh pas dikirim cuma dibalas pakai stiker & emot doang.

Coba bayangin…. Bayangin aja, bayangin! Dalam hati membatin, “Ya Allah, semoga kelak kalau aku jadi dosen atau pejabat, aku gak membalas chat mahasiswa/rakyatku seperti itu.”

Talun, 15 November 2020