Mochtar Lubis memang tokoh besar dalam sastra. Ia mewariskan novel-novel. Pada suatu masa, ia tampil sebagai penggerak sastra dengan majalah Horison. Debat-debat sastra sering melibatkan Mochtar Lubis. Di sastra, Mochtar Lubis bersuara keras bertambah dengan gagasan-gagasan diedarkan melalui editorial Indonesia Raya atau esai-esai sering keras. Para pembaca mudah menandai misi terbesar Mochtar Lubis adalah menguak manusia Indonesia.
Mochtar Lubis selalu teringat bila orang-orang berdebat tentang manusia Indonesia. Peristiwa terpenting terjadi di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Mochtar Lubis berceramah dengan judul “Manusia Indonesia”. Ceramah bikin geger. Tulisan untuk ceramah terbit menjadi buku. Laris! Orang-orang membaca untuk mufakat dan membantah. Polemik berkepanjangan dengan pengajuan data, argumentasi, sangkaan, dan impian. Polemik dengan buku dan esai memberi bobot pemikiran ketimbang omong kosong. Mochtar Lubis pantang bertarung dalam bualan.
Buku terbit 1977 saat rezim Orde Baru berlagak membangun manusia Indonesia utuh. Soeharto rajin mengingatkan dan memerintah agar mewujud manusia Indonesia untuk kesuksesan pembangunan nasional. Dokumen-dokumen dibuat dan dipelajari. Pidato-pidato diberikan di hadapan ribuan orang. Slogan-slogan diteriakkan di pelbagai tempat. Indonesia masa 1970-an dalam ketegangan gagasan. Mochtar Lubis tampil bersuara keras dan berani bertarung kata.
Mochtar Lubis (1985) menengok silam: “Sejak ceramah delapan tahun yang lampau, tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa kita, di samping yang lama, juga telah timbul tantangan baru, yang juga hanya akan dapat dihadapi dan diatasi oleh manusia Indonesia seandainya dia berhasil memperkuat dirinya dengan berbagai sikap, tingkah laku, nilai, dan disiplin belajar, bekerja dan tak dilupakan disiplin dan solidaritas sosial yang teguh dan tangguh.” Seruan bijak setelah memicu adu argumentasi bertema manusia Indonesia. Mochtar Lubis mengetahui dan mencatat sekian perubahan di Indonesia. Ia masih berpijak dari ceramah telah terbti menjadi buku. “Semoga buku kecil ini dapat memberikan sumbangan sekadanya pada pemikiran kita semua memperbaiki diri manusia Indonesia,” tulis Mochtar Lubis. Ia bukan sosok rajin berpidato mendingan menulis dan terbit menjadi buku-buku.
Di industri buku Indonesia, buku berjudul Manusia Indonesia termasuk penting dan berpengaruh. Laris! Buku pantas tercatat dalam daftar 100 buku bermutu abad XX di Indonesia. Kini, buku masih cetak ulang tapi cara baca sudah jauh berbeda, tak semenegangkan bila terbaca pada masa 1970-an dan 1980-an.
Pada saat berceramah tentang manusia Indonesia, Mochtar Lubis memulai dengan imajinasi dan ingatan-naratif. Orang-orang boleh mesem atau tertawa tapi merasa malu mengetahui diri adalah manusia Indonesia. Mochtar Lubis tak sedang mengerjakan disertasi, enteng saja mengutip beragam perkara tanpa harus diajukan dalam kaidah dan pembahasaan akademik.
Ingatan-ingatan bersambungan: “Orang Belanda di zaman VOC menganggap manusia Indonesia itu amat khianat, tidak mau memegang teguh perjanjian, amat suka membunuh, mau berperang saja, tidak jujur, seperti binatang, beestachig, maha kejam.” Ratusan tahun lalu, manusia-manusia di tanah subur dan berlimpah rempah-rempah mendapat penilaian biadab. Mochtar Lubis melanjutkan: “Kemudian pandangan ini mulai berubah setelah orang Belanda hidup sebagai penjajah… manusia Indonesia diakui juga bersifat hormat, tenang, dapat dipercaya, baik, royal, ramah pada tamu, dan lembut. Namun, ada juga yang mengatakan, manusia Indonesia itu tidak suka memikirkan yang susah-susah, tak punya pendirian, tak punya kemauan, tak bisa mengambil keputusan.”
Kita mengandaikan Mochtar Lubis mengajukan pengimajinasian manusia Indonesia melalui gubahan-gubahan sastra oleh Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, Marah Roesli, Abdoel Moeis, Kwee Tek Hoay, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Ramadhan KH, Ajip Rosidi, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Novel-novel mereka turut mengumumkan manusia Indonesia di latar sejarah berbeda berkaitan kolonialisme dan revolusi. Mochtar Lubis bukan kritikus sastra, tak berkemampuan mengusung puluhan novel dalam mengisahkan dan menjelaskan manusia Indonesia, dari masa ke masa.
Mochtar Lubis mengatakan: “Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat Indonesia.” Kritik pedas masih berlaku sampai sekarang. Orang-orang mungkin jemu istilah feodalisme. Sekian berita mulai menggunakan diksi-diksi berbeda tapi kita kadang menganggap itu feodalisme dengan latar berbeda, ingin berjarak dari lakon masa revolusi atau Orde Baru. Kita tetap saja mengetahui ada gelagat dan perwujudan feodalisme. “Jiwa feodal hidup berkembang dengan cemerlangnya di kalangan atas maupun di kalangan bawah,” kata Mochtar Lubis.
Ceramah dan penerbitan buku memicu debat dan penulisan buku-buku berkaitan. Mochtar Lubis tak dibiarkan bicara sendirian. Ia membutuhkan “tandingan” atau “penerus” dalam berurusan manusia-manusia di Indonesia. Pengajuan tema dan sosok oleh Mochtar Lubis memang agak berlebihan meski ada usaha-usaha untuk mula-mula memunculkan masalah-masalah manusia Jawa, manusia Sunda, manusia Bugis, dan lain-lain.
Pada 1983, terbit buku berjudul Manusia Jawa susunan Marbangun Hardjowirogo. Buku tipis tapi turut dalam debat panjang. Buku ditulis untuk menjadi “pasangan” bagi Manusia Indonesia. Ia turut menjelaskan feodalisme meski berbeda pembahasaan dari Mochtar Lubis. Kita simak: “Feodalisme tak lain ialah suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan. Dalam hal ini, bahasa dan budaya Jawa berbuat sangat terperinci. Dalam menghadapi seseorang lebih tua dalam usia, orang Jawa menggunakan kata-kata berlainan dengan apabila ia menghadapi seseorang lebih muda atau sama dalam usia.”
Dulu, Mochtar Lubis memasalahkan feodalisme dalam politik. Rezim Orde Baru berlakon feodalisme demi pelanggengan kekuasaan atau kemapanan jabatan menjanjikan pendapatan besar, gengsi, dan kemenangan. Marbangun Hardjowirogo justru mengaitkan dengan etika atau adab, sebelum berpengaruh dalam tata politik di Indonesia.
Bermula dengan ceramah dan terbitan buku, publik tak rampung membahasa manusia Indonesia. Babak belum rampung mendapat sindiran buku puisi gubahan Taufiq Ismail (2004) berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Larik-larik digubah dalam situasi pelik 1998 menimbulkan kecewa dan lara: Di negeriku, anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu/ dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara/ hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu…. Di negeriku, budi pekerti di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di/ tumpukan jermai selepas menuai padi. Dulu, Mochtar Lubis belum memerlukan puisi untuk perkara manusia Indonesia. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/mochtar-lubis-2-manusia-indonesia-dan-perbukuan-b242396p/