Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (2): Radikalisme dalam Konsep dan Transformasi Diri

Radikalisme adakalanya disamakan dengan ekstrimisme yang pada dasarnya memang memiliki output yang sama: eksesifitas. Sementara dalam khazanah budaya Jawa sikap semacam ini kerap dipandang tak elok. Pada dasarnya hal ini sama belaka dengan pesan Nabi Muhammad untuk menghindari sikap yang berlebihan. Kedekatan prinsip-prinsip hidup dalam kebudayaan Jawa dengan pesan dan ajaran Nabi Muhammad memang bukanlah hal yang mengada-ada.

Tengoklah berbagai aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dimana budi pekerti seakan menjadi titik awal sekaligus titik akhir orang-orang yang mendalami kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Dalam paguyuban Sumarah seumpamanya, budi pekerti itu termaktub dalam sesanggeman yang mesti diketahui dan disanggupi ketika hendak mendalami ketuhanan lewat jalan sumarah.

Sementara pada Paguyuban Harda Pusara budi pekerti itu terpampang dalam apa yang disebut sebagai pepacak. Dalam agama Islam, budi pekerti ini kerap disebut sebagai akhlaq yang konon merupakan tugas kenabian Nabi Muhammad dimana keberadaannya tak lain adalah untuk menyempurnakannya.

Dalam Serat Wulangreh, Sunan Bagus mengetengahkan berbagai corak radikalitas yang erat kaitannya dengan budi pekerti. Secara indah salah seorang yang menjadi rantai keilmuan tarekat Akmaliyah ini melambangkan radikalitas atau sikap yang tak berbudi itu dengan kijang, ular, dan gajah.

Ana pocapanipun

Adiguna adigang adigung

Pan adigang kidang adigung pan esthi

Adiguna ula iku

Telu pisan mati sampyoh

 

Si kidang umbagipun

Angandelken kebat lumpatipun

Pan si gajah angandelaken geng ainggil

Ula ngandelaken iku

Mandine kalamun nyakot

 

Iku upaminipun

Aja ngandelaken sira iku

Suteng nata iya sapa ingkang wani

Iku ambege wong digung

Ing wusana dadi asor

 

Adiguna puniku

Ngandelaken kapinteranipun

Samubarang kabisan dipun dheweki

Sapa pinter kaya ingsun

Toging prana nora enjoh

 

Ambeg adigang iku

Ngandelaken ing kasuranipun

Para tantang candhala anyenyampahi

Tinemenan nora pecus

Satemah dadi geguyon

                                               

Dene katelu iku

Si kidang suka ing patinipun

Pan si gajah alena patinireki

Si ula ing patinipun

Ngandelken upase mandos

Baca juga:  Kapitayan (1): Dinamika di Tengah Temaram Zaman

Tiga binatang itu melambangkan sikap berlebihan yang secara potensial memang lekat dengan manusia. Kijang, yang terkenal karena kelebihannya dalam hal kecepatan dan kegesitan dalam berlari, menggunakan kelebihannya itu untuk mengukur segala sesuatu di luar dirinya. Sementara ular yang terkenal dengan bisanya yang mematikan dan gajah yang secara fitrahnya memang berbentuk besar, juga sama-sama mengandalkan masing-masing kelebihannya untuk menyikapi yang lainnya.

Padahal, menurut Sunan Bagus, kelebihan mereka itu adalah justru kekurangannya. Raja ke-4 Surakarta ini memang cukup halus ketika menyingkapkan potensi radikalitas manusia. Bukankah kelebihan yang dimiliki ketiga hewan itu adalah fitrah mereka? Bagi Sunan Bagus letak permasalahannya bukanlah pada fitrah-fitrah hewan itu, tapi adalah ketika hewan-hewan itu mengandalkan fitrah-fitrahnya secara absolut. Bukankah tak selamanya kebesaran seekor gajah, misalnya, dapat mengatasi serangan seekor semut?

Dengan demikian, kijang merupakan perlambang sikap eksesif yang disebut sebagai adigang atau mengandalkan kekuatan di atas yang lainnya. Sementara gajah merupakan perlambang sikap adigung atau mengandalkan kebesaran dimana kekayaan menjadi salah satu bagiannya. Adapun gajah merupakan perlambang sikap adiguna atau mengandalkan kepandaian.

Dinilai sebagai kurang berbudi pekerti karena pada akhirnya sikap-sikap seperti adigang, adigung, dan adiguna ini akan merendahkan orang lainnya dengan sisi kelebihan yang berbeda. Logika radikalitas memang beranjak dari sikap yang “adi,” yang secara harfiah berarti “lebih,” yang otomatis akan merendahkan yang lainnya.

Ketika orang merasa suci, maka ia akan menggunakan kesuciannya itu untuk merendahkan dan menindas orang lainnya yang dipandangnya kotor (radikalisme) atau bahkan seolah menjadi alasan untuk menyingkirkan atau membasminya (terorisme). Ketika sebuah umat atau komunitas merasa besar, maka secara otomatis ia akan mengecilkan umat atau komunitas lainnya (radikalisme) dimana ujungnya juga akan menjadi alasan untuk mengenyahkannya (terorisme).   

Dengan demikian, bagi Sunan Bagus, letak permasalahan radikalitas atau ekstrimisitas kalangan muslim seumpamanya, bukanlah pada fitrahnya yang konon suci dan besar. Tapi masalah itu terletak pada sikap lupa diri kalangan muslim radikal bahwa tak selamanya kesucian dan kebesarannya itu menyelamatkan. Bisa jadi kesucian dan kebesaran inilah yang justru mencelakakannya dimana ketika mereka mencelakakan kalangan atau komunitas lainnya sudah pasti akan berbalik mencelakai dirinya sendiri.

Baca juga:  Marxisme dan Wayang Purwa

Setidaknya, dalam konteks Indonesia, mereka harus siap berurusan dengan hukum atas perasaaan lebih suci dan lebih besar itu. Karena itu, Sunan Bagus mewanti-wanti untuk selalu tak berlebihan atau bersikap moderat dalam kehidupan dan membiasakan diri untuk selalu melihat laku-nya sendiri serta jeli dalam menilai orang lainnya. Moderatisasi diri ini disebut sebagai sikap “Rereh ririh ngati-ati.”

Ing wong urip puniku

Aja nganggo ambeg kang tetelu

Anganggoa rereh ririh ngati-ati

Den kawangwang barang laku

Den waskitha solahing wong

Sementara dalam Serat Wedhatama, Raden Mas Sudira menyingkapkan satu gejala dimana sikap Arab-oriented adalah yang menjadi pemicu radikalitas. Arab-oriented adalah pola pemahaman dan pola penyikapan dimana seandainya tak kearab-araban akan merasa kurang islami. Tak kurang dalam hal ini mulai dari nama, nasab, busana, karakter, gaya bahasa, bahasa tubuh hingga cita rasa—baik ruhani maupun jasmani—akan terkesan memaksa untuk kearab-araban. Bukankah para tukang propaganda dan para teroris di Indonesia seolah minder untuk bernama “Santoso” atau “Tamtomo,” dan seolah merasa gagah ketika bernama “Abu Suyuqi” ataupun “Bahrun Naim”?

Padahal, catat R.M. Sudira, di sana dan di sini sebenarnya tak berbeda—atau setidaknya, ketika berorientasi ke sini sama sekali tak mengurangi kualitas dari apa yang dilakukan. Bukankah untuk sekedar berbudipekerti yang baik tak perlu harus menautkan diri dengan Nabi Muhammad ataupun warisannya yang berkembang di Arab sana, entah sekedar nasab ataupun citra diri? Bukankah untuk sekedar mengerti tentang rahasia akhlaq yang merupakan tugas utama kenabian Nabi Muhammad dapat pula dilakukan dengan mempelajari budi pekerti yang merupakan awal sekaligus akhir laku aliran-aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa ataupun kearifan-kearifan lokal lainnya di Nusantara?

Baca juga:  Interferensi

Kang kadyeku kalebu wong ngaku-aku

Akale alangka

Elok Jawani den mohi

Paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah

 

Nora weruh rosing rasa kang rinuruh

Lumeketing angga

Anggere padha marsudi

Kana kene kahanane beda

Konteks sosial-politik Serat Wedhatama adalah mengecambahnya Islam transnasional pada waktu itu yang disiratkan dalam sindirannya atas kiprah sang “Sayid” di Jawa selama ini. Sebenarnya, bukanlah Arab atau kebudayaannya yang ditampik dan bahkan dilawan oleh R.M. Sudira. Melainkan sikap yang melebihkan Arab dan kebudayaannya itu atas kebudayaan-kebudayaan lainnya, terutama kebudayaan-kebudayaan lokal.

Dengan demikian, bagi Mangkunegara IV, di samping sikap yang Arab-oriented, akar radikalitas ternyata juga dipicu oleh sikap yang terlalu formalistis. Taruhlah ukuran kealiman dengan mengambil shalat sebagai bahan pengujiannya. Seseorang dikatakan alim bukanlah karena terpenuhinya syarat dan rukun shalatnya, melainkan pada kemampuannya untuk menyingkirkan potensi radikalitasnya sendiri yang dalam Serat Wedhatama diungkapkan secara indah sebagai “Setya budya pangekese dur angkara”—bukankah konon shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar?

https://alif.id/read/hs/moderatisme-beragama-dalam-kacamata-sufisme-nusantara-2-radikalisme-dalam-konsep-dan-transformasi-diri-b240845p/