Oleh Rijal Mumazziq Z*)
Ada dua arus besar di Indonesia yang saling berebut pengaruh. Pertama, liberalisme. Corak pemikiran liberal ini menemukan momentum awal sejak era 1980-an dengan motor penggerak: Mukti Ali, Harun Nasution, Nurcholis Madjid, dan sebagainya. Pada dasarnya, lahirnya gagasan Islam Liberal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni keyakinan perlunya sebuah filsafat dialektik; keyakinan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; perlunya membuka kembali pintu ijtihad; penggunaan argument-argumen rasional untuk iman; perlunya pembaruan pendidikan, dan pentingnya menaruh simpati pada hak-hak perempuan dalam Islam. [1]
Di satu sisi, gagasan pembebasan semacam ini bagus, khususnya ketika pola pikir rasionalisme dicantolkan dengan gagasan para pemikir besar seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibu Rusyd, dan sebagainya, atau pada era keemasan peradaban Islam.
Namun di sisi lain, seringkali gagasan yang dikemukakan pemikir Islam Liberal ini terkesan “kebablasan”, khususnya dalam pola “dekonstruksi teks-teks yang disucikan”, pandangan humanisme absolut sehingga permisif pada isu-isu LGBT, serta pada isu sensitif dalam keberagaman. Kritik lain, jaringan para pemikir liberal ini juga terkesan menjadi “karpet merah” gagasan-gagasan liberal ala Barat, sembari mencemooh “tradisonalisme islam” maupun ortodoksi Islam, sembari menjadi tukang stempel kepentingan Barat.
Contohnya, ada pemuda dari Jombang yang secara konyol dan kurang ajar mencari landasan tekstual dari al-Qur’an dan hadis untuk membenarkan homoseksualitas dan perilaku gay. Naudzubillah min dzalik. Contoh lain, soal pluralisme agama yang kebablasan.
Tak hanya itu, dalam soal penjajahan Barat terhadap negara lain, maupun isu-isu kemanusiaan dan lingkungan yang melibatkan negara Amerika sebagai “predator”, para pemikir liberal ini cenderung bungkam, atau bahkan pura-pura tidak tahu. Hal ini bisa dimaklumi, karena negara Barat menjadi funding alias pengucur dana ke lembaga-lembaga seperti LSM yang menjadi kepanjangan tangan mereka dalam proyek ini.
Jaringan Isam Liberal (JIL), misalnya, yang menjadi pelanjut gerakan yang dimotori oleh Harun Nasution, Nurcholis Madjid dan lain-lain, satu dasawarsa sebelumnya, menemukan momentum kelincahan pascra reformasi. Mereka langsung berhadapan dengan gerakan Islam radikal yang berkecambah juga beberapa saat setelah reformasi.
Ulil Abshar Abdalla, Abdul Moqsith Ghozali, Luthfi Assyaukani, maupun Muhammad Guntur Romli adalah anak-anak muda penggerak JIL yang selain melakukan kritik keras terhadap gerakan fundamentalisme Islam dan “Islam Politik”, juga bergerak secara silmultan melakukan promosi gagasan-gagasan sensiitif: imam shalat perempuan, jilbab tidak wajib, pembagian waris bagi perempuan, anti-poligami, dan seterusnya. Bahkan, atas prakarsa lembaga donor, mereka juga sanggup mempromosikan pemikirannya di radio, majalah, penerbitan buku berkala, membuat website, serta menyewa satu halaman penuh setiap hari minggu di Jawa Pos. Isinya, selain wawancara, juga ada tulisan-tulisan yang berisi kritisisme terhadap ajaran-ajaran yang mereka anggap menghambat “kemajuan Islam” maupun.
Hanya saja, saat ini sebagai sebuah perkumpulan JIL sudah tidak lagi sekokoh satu dasawarsa silam. Penyebabnya, dugaan saya, karena tidak ada lagi sponsor dari Barat—yang memilih mendanai program di organisasi lain,–sehingga promosinya tidak segencar dulu, serta aktivisnya banyak yang sudah berganti haluan. Gus Ulil Abshar Abdalla, selain menjadi politisi sejak 2009 dengan bergabung dengan Partai Demokrat, saat ini aktif bergerak ke berbagai daerah dengan sistem “ngaji online”. Tak tanggung-tanggung, Gus Ulil ngaji ala pesantren dua kitab induk tasawwuf: al-Hikam al-Athaiyyah dan Ihya Ulumiddin, juga Misykatul Anwar dan sesekali membalagh Tafsir a-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa. Uraiannya asyik, kadang disertai teori-teori filsafat dan ilmu sosial. Menyimak pemaparan pengajiannya, kita tahu, Gus Ulil di antara sedikit cendekiawan yang seimbang enaknya dalam penyampaian lisan maupun tulisan. Sedangkan Cak Abdul Moqsith Ghazali aktif di LBM PBNU, dan Guntur Romli menjadi politisi PSI.
Meski demikian, gagasan Islam Liberal tetap mendapatkan pengikut dan sebagai sebuah wacana, pemikiran ini mendapatkan tempat dengan diterbitkannya karya para pemikir-pemikir (yang dianggap liberal); dari Muhammad Syahrur, Nashr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Fatima Mernissi, hingga liberal-radikal seperti Irshad Manji, dan sebagainya. Sebagai sebuah wacana, sah-sah saja kita sebagai santri mengkajinya sebagai bagian dari pengembangan wawasan. Namun, dalam konteks implementasi, ada baiknya memilih dan memilih serpihan gagasan mereka, dengan tetap mengkritisinya. Misalnya, kita butuh gagasan Abid al-Jabiri mengenai nalar Arab: Irfani, Bayani, dan Burhani. Silahkan dikaji pemikiran ini untuk memperkuat posisi pemikiran para santri di era kekinian. Menarik!
Mengapa saya tidak memasukkan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam gerbong liberalisme Islam? Sebab, bagi saya Gus Dur tidak pada posisi liberal, dia ada pada ranah post-tradisionalisme Islam. GD berpijak pada tradisi Islam tradisional, memamah biak wacana-wacana kebangkitan Arab, liberalisme ala Barat hingga teologi pembebasan Amerika Latin, namun dirinya tidak hendak menggunakan Islam sebagai “keset” modernitas. Dirinya, sebagaimana diwawancarai Andy F. Noya dalam Kick Andy, mengatakan dengan bangga, “Mula-mula saya ini adalah seorang santri!”. Corak post-tradisionalisme Islam ala Gus Dur terlihat kuat dalam beberapa karyanya, “Islamku, Islam Anda dan Islam Kita”, “Islam Kosmopolitan” dan “Kiai Nyentrik membela Pemerintah”.
Selain corak liberal, yang kedua terdapat arus radikalisme atau ekstremisme [2]. Sebagian orang menyebutnya fundamentalisme. Jika arus liberalisme Islam di Indonesia dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri AS maupun konstelasi politiknya, maka gerakan radikalisme Islam juga dipengaruhi oleh unsur asing, yaitu konstelasi politik di Timur Tengah—yang juga dipengaruhi oleh intervensi AS.
Di Indonesia, sayap radikal ini tumbuh saat Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949. Ketika pemerintah berhasil memberangus organisasi ini, namun jejak ideologisnya masih berlanjut. Tahun 1970-an, “NII Reborn” bergerak secara rahasia dan membentuk sel-sel pengikut yang cukup militan. Sebagian bisa dikendalikan oleh pemerintah melalui operasi intelijen, sebagian tetap revolusioner. Misalnya pembajakan pesawat DC Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, 1981, yang dilakukan oleh faksi Komando Jihad, pecahan NII.
Sayap NII lain yang dimotori oleh Abu Bakar Basyir dan Abdullah Sungkar memilih lari ke Malaysia. Di negara ini, mereka melakukan pembinaan terhadap para simpatisan NII asal Indonesia yang akan dikirim berjihad ke Afganistan yang sedang dijajah Uni Sovyet. Di Afganistan ini, para pemuda Indonesia seperti Imam Samudera, Ali Imron/ Mukhlas, Amrozi, bertemu dengan jejaring pemuda militant lintas negara. Ketika perang Afganistan usai, mereka kembali ke Indonesia dan membentuk jaringan baru bernama Jamaah Islamiyah. Organisasi ini berada di balik terror bom gereja semasa pemerintahan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, Bom Bali I & II, Bom JW Marriot, Bom Ritz Carlton, dan pengeboman lain. Ironisnya, yang menjadi korban aksi bom bunuh diri ini mayoritas umat Islam juga. Mengerikan!
Jamaah Islamiyah yang beroperasi di Indonesia era 2000-an ini memiliki corak khas. Mereka dipimpin orang Indonesia, mencari dana di Malaysia dan Singapura, dibantuk orang Malaysia, merekut pemuda militan Indonesia, dilatih di Filipina (Mindanao), lalu beraksi di Indonesia sebagai pelaku teror.
Hanya saja, setelah para pentolannya dieksekusi dan dipenjara, organisasi rahasia ini melemah. Diganti jejaring baru yang juga sama-sama berkiblat ke al-Qaidah yang dipimpin oleh Usamah bin Laden. Mereka bergerak secara rahasia, solid, dan punya daya propaganda luar biasa. Di Indonesia, mereka mengelola Jihad Magazine dan arrahmah.co. serta rajin memposting pertempuran di Irak dan Suriah.
Rekrutmen anggota dijalankan secara rahasia juga. Di antara pentolannya bernama Jibril Abdurrahman (anaknya tokoh 212 Abu Jibril). Di tahun 2007 saya pernah bergabung dalam group mailing list (yang disetting seperti kaskus.co) yang dikelola jaringan ini. Isinya mengerikan, selain pidato propaganda, “nasyid perjuangan”, pemenggalan kepala musuh, peledakan bom bunuh diri, dan pertempuran melawan pasukan reguler Irak dan AS, juga ada petunjuk teknis pembuatan bom, bahkan dengan bahan baku sangat sederhana (ada petunjuk teknis melalui rekaman video). Mengerikan!
Secara organisasi, mereka berbaiat kepada pemimpin al-Qaidah (dulu Usamah bin Laden, kini Aiman Adz-Dzawahiri), serta terkonesi dengan sel Jabhatun Nushrah di Irak dan Suriah yang dipimpin oleh Abu Mush’ab Azzarqawi, yang kemudian digantikan Abu Muhammad al-Jaulani.
Selain ada NII, Jamaah al-Islamiyyah, dan al-Qaidah Indonesia, ada juga organisasi yang sangat militan, namanya Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), pecahan dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang juga dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Di kemudian hari, ada juga Jamaah Ansharud Daulah (JAD) ini dipimpin oleh Aman Abdurrahman yang sekarang dipenjara di Nusakambangan. Secara ideologi, nbaik JAT dan JAD berbaiat kepada Abu Bakar al-Baghdadi, deklarator sekaligus khalifah ISIS (Islamic State in Iraq and Suriah). Pengikut JAD ini melakukan aksinya secara serampangan. Kasus penyekapan dan pembunuhan prajurit Brimob, penusukan polisi, bom di kawasan Jl. Thamrin (2016) dan Bom di gereja Surabaya (2018), maupun aksi bom bunuh diri di Polrestabes Solo dan Surabaya, serta Medan, hingga penusukan Menkopolhukam Wiranto merupakan aksi yang dilakukan oleh simpatisan ISIS di Indonesia ini.
Ciri-Ciri Kelompok Ekstremis
Sungguhpun kelompok radikal ini memiliki beragam varian organisasi, namun ada empat cirri khas yang melekat pada kelompok ini. Pertama, fanatik terhadap pendapat sendiri dan menolak pendapat orang lain. Pola pikir yang keras di antara mereka tak jarang berujung pada pemaksaan pemahamannya sehingga berujung pada kekerasan pula. Kedua, memahami teks agama secara harfiyah, misalnya, dalam memahami ayat-ayat perang tanpa mengindahkan tujuan dan sebab turunnya ayat tersebut.
Ketiga, mereka biasanya berlebih-lebihan dalam pengharaman. Dalam perspektif mereka, segala sesuatu yang tidak berlandaskan syariah adalah haram. Keempat, mereka sangat mudah sekali mengkafirkan orang lain atau pemerintah. Nah, faktor terakhir inilah yang membahayakan, sebab poin ini dijadikan alasan dan legitimasi pengeboman yang terjadi di Indonesia. Jika seseorang telah (dianggap) kafir, maka kekerasan atau pertumpahan darah, adalah “diperbolehkan” [3].
Poin-poin di atas, secara sekilas bisa mengingatkan kita pada ekstrimis Khawarij yang hidup beberapa abad silam. Secara organ gerakan, kelompok ini telah punah, tetapi secara pemikiran dan ideologi, Neo-Khawarij dengan pola gerakan yang lebih canggih telah menjadi orok yang membahayakan Islam sendiri.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan. Sikap tawassuth yang selama ini dipraktekkan oleh para ulama NU, menjadi pilihan. Tawassuth alias tengah-tengah atau yang bisa disebut wasathiyah merupakan corak beragama yang moderat, tengah-tengah.
Tidak menjadi Syi’ah, juga tidak menjadi Wahabi, melainkan menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah Annahdliyyah. Mencintai Ahlul Bait, sekaligus mencintai para sahabat Rasulullah. Tidak menjadi Rafidhi, juga tidak menjadi Khawarij. Tidak menjadi liberal, juga tidak radikal. Tidak tekstualis, juga tidak substantif. Tidak terlalu ortodoks, juga tidak terlampau progresif. Mempelajari ilmu umum, sekaligus memperkuat ilmu agama, tidak mengenyampingkan salah satunya. Mencintai Islam, sekaligus mencintai Indonesia, tidak memisahkan salah satunya. Menjadi umat Islam yang baik, sekaligus menjadi warhna negara Indonesia yang bertanggungjawab. Demikianlah keseimbangan itu dijalankan. Sebab, kata Rasulullah, sebaik-baik perkara itu yang tengah-tengah. Wallahu A’lam Bisshawab.
Makalah ini disampaikan dalam PKD PMII Komisariat KH. Affan Malik STAI Bustanul Ulum Krai Yosowilangun Lumajang, Jumat, 10 September 2021. Pukul 20.30 WIB. Pernah pula didiskusikan di PP. Hidayatul Qur’an Darul Ulum Rejoso Jombang, yang diasuh oleh KH. M Afifudin Dimyathi, Kamis, 23 Januari 2020]
Referensi:
[1] Zuly Qodir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002 (Yogyakarta: 2010), 95.
[2] Sanad ekstremisme ulama asing yang mempengaruhi ekstremisme di Timur Tengah hingga Indonesia dijelaskan dengan baik oleh Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said dalam “3 Ulama Idola Fundamentalis” (Surabaya: Imtiyaz, 2019). Sedangkan buku Kritik Ideologi Radikal: Deradikalisasi Doktrin Keagamaan Ekstrem dalam Upaya Meneguhkan Islam Berwawasan Kebangsaan yang dtulis oleh Tim Santri Lirboyo sangat bagus mengupas cirikhas gerakan ini sejak masa lalu hingga bermetamorfosis dalam corak yang lebih kekinian, hingga bahasan mengenai konteks kebangsaan Indonesia dalam kacamata Islam.
[3] Buku Aku Melawan Teroris (Solo: Jazeera, 2004) karya Imam Samudera secara gamblang dan memberikan alasan-alasan mengerikan mengenai perlunya memerangi taghut. Demikian pula dengan catatan trio bomber Bali dari balik penjara yang terbit pada 2009; Ali Ghufran (Mukhlas) dengan “Mimpi Suci Di Balik Jeruji Besi”, Imam Samudera dengan “Sekuntum Rosela Pelipur Lara”, dan Amrozi dengan “Senyum Terakhir Sang Mujahid”. Ketiga buku ini diterbitkan oleh Arrahmah Media, Jakarta, pada 2009. Demikian pula buku tipis yang ditulis oleh Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, tersangka kasus terorisme, “Ya, Mereka Memang Taghut” (Surabaya: Kafilah Syuhada’, 2012). Membaca beberapa tulisan ini, (nyaris saja) saya menganggap mereka ini adalah psikopat yang berlindung di balik jubah agama. Untuk mengimbanginya, “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan” (Jakarta: Serambi, 2006) bisa menjadi teropong kritis mendalami hakikat kaum puritan. Dalam kacamata yang lebih dramatik-manusiawi, Noor Huda Ismail menulis “Temanku Teroris? Saat Dua santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda” (Jakarta: Hikmah, 2010)