Bicara tentang film “The Objective” (2008) yang digarap oleh sutradara Daniel Myrick, memang cukup pantas dikategorikan sebagai film yang jujur dan obyektif. Dari perspektif tersendiri, sebagai orang beragama yang percaya adanya suatu mukijzat, mungkin film ini sangat menghebohkan dalam upaya mengguncang keseimbangan iman dan kesadaran kita.
Diawali dengan hadirnya seorang agen CIA yang diperintahkan untuk bergabung dengan satu tim pasukan khusus Amerika, kemudian dilepas di tengah hamparan luas padang pasir Afghanistan. Mereka mempunyai misi untuk mencari seorang imam yang dikenal masyarakat sebagai seorang “wali” atau “sufi”, tetapi pihak Amerika menjulukinya sebagai tokoh Taliban.
Konon, menurut para petinggi militer Amarika, Mohammad Aban memiliki banyak informasi perihal pergerakan rakyat Afghanistan, serta dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab dalam rangka pembebasan penduduk Afghanistan.
Namun masalahnya, pembebasan dalam arti apa? Pemerintah Amerika lagi-lagi berdalih dalam rangka memerdekakan rakyat Afghanistan, meski sulit juga dijelaskan, kemerdekaan dalam arti apa? Dapatkah suatu pemerintah negara lain, memaksakan kehendak dan penafsirannya tentang makna “kemerdekaan”, hingga kemudian bangsa lain dipaksa untuk ikut dan menuruti penafsiran yang sama?
Pemaksaan kehendak itulah yang membuat tim pasukan khusus berambisi dan terus merangsek, bereksplorasi untuk menelusuri tanah-tanah tak bertuan di tengah padang luas dan perbukitan. Misi mereka cukup jelas, untuk mencari informasi perihal keberadaan Mohammad Aban, yang bagi penduduk setempat dikenal sebagai imam besar yang memiliki derajat kewalian atau kesufian.
Namun, di tengah perjalanan menelusuri perbukitan, yang merupakan tempat sakral dan hanya boleh dimasuki atas seizin “penunggu” wilayah, tiba-tiba muncul kejadian-kejadian misterius yang di luar nalar dan akal sehat manusia. Sebenarnya, kejadian berupa tanda-tanda (sign) sudah berkali-kali diperlihatkan di hadapan mereka, tetapi sikap “penyangkalan” selalu didahulukan oleh pikiran rasional mereka. Misalnya, mesin kendaraan tiba-tiba mati, air minum berubah menjadi pasir, munculnya bayangan atau suara-suara sejenis azan, atau serupa pembacaan ayat-ayat suci Alquran.
Sikap penyangkalan terus mereka pelihara. Tanda-tanda semakin menguat diperlihatkan di hadapan mereka, seperti penerjemah dan pemandu bayaran tiba-tiba terserang depresi hingga kemudian tewas lantaran menjatuhkan diri dari bukit terjal. Penerjemah bayaran itu sebenarnya sudah dilarang oleh ibu dan kakeknya, tetapi ia bersikeras untuk bergabung dengan tim khusus lantaran tergiur oleh bayarannya.
Dan lagi, kejadian yang mencengangkan, beberapa anggota tim, tiba-tiba melihat sosok seorang imam yang sedang membisiki jamaahnya, padahal ia sejenis bayang-bayang fatamorgana. Dengan rasa kesal dan penuh amarah, dua orang tentara tiba-tiba mengamuk dan menembaki bayang-bayang itu, namun kejadian misterius diperlihatkan di hadapan teman-temannya, karena kedua manusia itu tiba-tiba “cling!” menghilang di hadapan mereka.
Kehilangan itu bukan karena kesasar atau sembunyi di balik bukit, tetapi hilang dalam pengertian riil, nyata, di hadapan mereka sendiri, bersamaan dengan munculnya cahaya dan suara-suara serupa ayat-ayat suci Alquran. Lalu, masihkah ada penyangkalan atas fenomena mukjizat yang jelas-jelas terjadi di hadapan mata kepala mereka sendiri?
Sebenarnya, “The Objective” kurang pas jika dikategorikan sebagai film horor, melainkan sejenis science fiction. Jika kita mau membuka mata hati, wilayah teritorial yang menjadi kekuasaan penduduk setempat bersama imam besar yang memimpinnya, tak beda jauh dengan fenomena Gaza dan Baitul Maqdis, yang tak henti-henti diserbu dan diperangi, namun mereka tetap kesulitan untuk menguasai wilayah tersebut. Mereka sebenarnya sadar ada “kekuatan lain” yang tak terjamah oleh nalar dan pikiran rasional. Kekuatan itu senantiasa melindungi, mengamankan dan melestarikan. Bukankah di dalam Alquran sudah termaktub kesucian tiga wilayah yang djamin keamanannya oleh Allah, yakni Masjidil Haram (Mekah), Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjidil Aqsha (Palestina). Masihkah mereka berupaya keras untuk mengadakan penyangkalan?
Yang tidak kalah menarik dari film “The Objective”, justru karena ia tak memberi penjelasan mendetil perihal hilangnya tim khusus itu satu persatu. Apakah cahaya itu sejenis makhkuk luar angkasa (alien)? Ataukah sejenis penemuan teknologi laser yang dirancang petinggi militer Rusia atau Amerika sendiri? Kenapa kemunculannya selalu dibarengi suara-suara serupa ayat-ayat suci Alquran?
Setelah agen CIA, Keynes (Jonas Ball) lebih bijak dan arif menelusuri fenomena tersebut, ia seakan memahami, bahwa tim pasukan khusus yang dikerahkan di wilayah Afghanistan itu, bukanlah memulai dengan niat-niat baik dan tulus, melainkan diam-diam punya maksud terselubung untuk menangkap dan membunuh Mohammad Aban, hidup ataukah mati. Ini bukanlah misi biasa yang harus mereka selesaikan, melainkan suatu upaya pembunuhan atas tokoh penting Afghanistan yang telah dibentuk oleh elit militer Amerika dan CIA.
Serangkaian kejadian aneh tak masuk akal, yang dilihat Keynes dengan mata kepalanya sendiri, semakin membuka mata dan hati nuraninya, bahwa perburuan atas tokoh religius itu, memang suatu tindakan yang tak beradab dan tak manusiawi.
Pada akhirnya, para pemburu yang kemudian menjadi “buruan” itu, harus introspeksi dan sadar-diri, bahwa tak ada pilihan lain selain mereka harus angkat kaki meninggalkan area maut yang sarat dengan kekuatan supranatural itu. Kalau tidak, mereka semua harus menanggung risikonya sendiri, atau nyawa mereka akan melayang sebagai akibatnya. (*)
https://alif.id/read/muz/mukjizat-yang-disangkal-komentar-atas-film-the-objective-b243510p/