MUNAJAT MUSIM SEMI TIBA
KHM Luqman Hakim
Ketika bunga-bunga bergururan di atas nisan, sunyi senyap menusuk jiwa, di balik kesedihan dan airmata, nun di langit ada pesta. Bertalu-talu genderang bidadari dan tarian-tarian semesta mengucapkan selamat datang di Taman-taman Ma’rifahNya penuh sukacita. Hati mereka penuh dengan gelembung-gelembung Cinta, Ruh-ruh mereka di Taman Malakut menyebungi Tasbih-tasbih, Rahasia-rahasia Ruh mereka memasuki kemurian dan kesejatian Tanzih di Alam Jabarut.
Lalu dari hati mereka memancarkan mata air Cahaya, berlimpah-limpah, menyibak-nyibak gulungan kabut dunia, sampai mata hati mereka yang hendak menghadapNya tampak terang dalam pantulan wajah-wajah mereka yang berseri. Apalah arti kesementaraan dengan keluh kesah, tangis dan lenguh lelah, jika keabadian menghadang disana? Adakah yang lebih indah dibanding mentas dari lautan limbah busuk yang yang menumpuk dalam lapisan kegelapan dunia? Mengapa kamu masih berdiri tertegun di tengah-tengah Taman Syurga, sedangkan hidupmu ada di masa depan?
Dulu, ketika Adam turun ke muka bumi dari syurga, memandangnya segala yang dipandang sebagai bencana, hukuman dan kegelapan. Ia berada dalam lorong dan lubang hitam paling menghanguskan. Jeritannya memekakkan seluruh telinga dan membutakan seluruh pandangan. “Oh Tuhan, kami berdua dalam kegelapan yang ternaiaya oleh gumpalan kegelapan dalam jiwa-jiwa. Andaisaja Engkau tak melimpahkan air kehidupan yang penuh ampunan, yang digairahkan oleh Cinta dan Kasih Sayang…Niscaya oh niscaya, kami hanyalah tumpukan sampah sejarah yang sangsai penuh penyesalan…”
Inilah awal segalanya, ketika dirimu menemukan dirimu. Ini bukan akhir segalanya dalam keputusasaan dirimu. SayangKu pada kalian semua, sungguh bukan karena rindumu yang merona-ronta, bukan karena Aku membangun syurga-syurga, bukan karena sayatan-syatan deritamu yang menjerit menusuk Singgasana, bukan pula kefakiran-kefakiran yang kamu dekap dalam dada jiwa, juga bukan kehinaan demi kehinaan yang papa, juga bukan ketakberdayaanmu lunglai dalam sujudmu menghayati fana, bukan pula karena lemahmu, cela dan cacatmu yang sesungguhnya adalah dirimu. Bukan….
Aku adalah Aku. AkuKu dengan seluruh Kasih SayangKu tak bergantung dengan sebab akibat, latar belakang dan tujuan, kehidupan dan kematian, warna dan bentuk, gerak dan diam, riuh rendah dan tenang, doa dan panjatan, karena Aku lebih Dahulu dibanding segalanya. Aku yang Mengawali segalaNya, karena Aku Awal Segalanya. Selebihnya sungguh Aku mencintaimu…
Maka bangkitlah seluruh gairah dan jiwa, bangkitlah makhluk-makhluk semesta, semua bersyukur kepadaNya, karena ditakdirkan bertasbih padaNya, jika bukan karenaNya, jika bukan karena yang Ada di balik dirinya, mereka tak pernah ada, tak pernah tasbih dan menghiba. Dengan segenap rasa syukur dalam ketakberdayaan bersyukur, Sang Pencipta mengajari Nama-nama, dan tentu saja Nama-namaNya di balik semua nama-nama makhlukNya.
Pertama-tama Adam dan Hawa fana dalam Nama-nama, lalu fana’ pada Sifat-sifat, hingga fana’ pada Dzat. Sebagai puncak pendidikan dirinya untuk mengenal siapa dirinya dan Siapa Tuhannya. Maka, sejak saat itu ada Pendidikan dari Tuhan, untuk memahami bulir-bulir embun dalam qalbu dan semesta. Mengerti apa hangatnya mentari yang selalu menyapa, apalagi Mentari Ma’rifah yang terus bercahaya, tanpa peduli kabut dosa-dosa. Amboi rasa syukur itu harus maujud dalam Cinta antara Adam dan Hawa. Semakinia mencintai Hawa semakin Cinta kepada Tuhannya, semakin Cinta kepada Tuhannya semakin cinta pada Hawa. Inilah rupaya peradaban manusia mulai di bangun di atas Cahaya Cinta.
Gelombang demi gelombang bergolak riuh rendah, cakrawala demi cakrawala dalam lapisan demi lapisan langitNya, bumi demi bumi bertabur dalam pijakan kehidupan, air demi air menyelubungi nadi-nadi dan syaraf semesta. Kukira dulu aku bisa mencintaiMu, walau sungguh tak layak seluruh cinta semesta ini padaMu, apalagi diriku. Kukira aku bisa mengenalmu dalam perjalanan suka dan duka, darah dan air mata, bahkan sibakan-sibakan kabut kegelapan, bahkan aku tak layak mengenalMu, mengenal diriku saja tak mampu. Kukira diriku bisa mengejarMu kemana pun Engkau berada, bahkan kakiku melangkah pu8n tak layak mengjinjak hamparan-hamparan, bagaimana aku bisa mengejarMu… Kukira aku bisa merubah nasibku, lalu aku berjuang, bergerak, mengepakkan sayap-sayap, nyatanya hanyalah sayap-sayap patah di hempas Badai Takdir yang tak disangka. Kukira aku bisa meraih ampunan demi ampunan atas dosa-dosa kegelapan yang tak terteperi, walau sesungguhnya tak layak bagiku maeraih ampunan itu, nyatanya untuk sekadar memohon ampunan pun diriku tak mampu.
Nyatanya aku baru tahu, CintaMu mendahului cintaku. Ma’rifatMu mendahului ma’rifatku. AnugerahMu mendahului usaha dan jerih air jiwaku. Ampunanmu mendahului taubat-taubatku. CahayaMu mendahului pencarian-pencarian terang dalam gelapku.
Oh Tuhan…
Kini aku bersama aku-aku yang lain sedang rindu. Pada Aku yang sesungguhnya, yang menyelubungi aku demi aku. Lalu apa artinya bayang-bayang jika harus memburu Sang empunya Bayangan? Sia-sia…Maka dalam sisa-sisa dan bayang-bayang ini hanya bermunajat, agar CahayaMu menyibak abadi dalam lapisan kegelapan jiwaku di tengah-tengah gelapnya duniawi ini. Aku hanya sendiri dalam gua-gua sunyi, menunggu isyarat Lirikan Indah dari Sudut MataMu, walau siksaan rindu bertalu-talu…
Dan Kau telah Memetik bunga-bunga
Demi musim semi yang tiba…
Bogor, Raudhatul Muhibbin
8 Februari 2021
KHM Luqman Hakim
(Dimuat di Majalah Tebuireng Edisi 72 Januari-februari 2001)