Salah satu kelompok musik kasidah yang masih eksis sampai saat ini adalah Nasida Ria. Kelompok musik yang lahir pada tahun 1975 tersebut memiliki sejarah panjang akan relasi musik dengan misi berdakwah. Di sekian penampilan, sebuah lagu yang kerap didendangkan berjudul “Tahun 2000”. Kita menyimak beberapa liriknya: tenaga manusia banyak diganti mesin/ pengangguran merajalela/ sawah ditanami gedung dan gudang/ hutan ditebang jadi pemukiman/ langit suram udara panas akibat pencemaran//.
Lirik mengisahkan ancaman dan ketakutan akan laju perkembangan industri yang ditopang kemajuan ilmu dan pengetahuan. Menariknya, di lirik bagian lain dalam lagu tersebut menegaskan peranan kaum muda. Lirik itu berupa: wahai pemuda remaja sambutlah/ tahun 2000 penuh semangat/ dengan bekal keterampilan ilmu dan iman/ berkat ilmu dan iman/ berkat ilmu dan iman//.
Keterangan tersebut nampaknya ingin mengetengahkan pentingnya keimanan di tengah modernitas. Tiada lain kendati laju keilmuan cepat, yang kita lihat banyak kerusakan yang terjadi dalam lingkungan hidup juga ditengarai dengan praktik keilmuan yang tidak memperhatikan keseimbangan. Pada aspek itu, menjadi jelas akan mengapa keimanan menjadi hal lain yang dibutuhkan dalam mengarungi perjalanan hidup.
Hal tersebut mengingatkan kita semua pada persoalan ekologi yang kita hadapi bersama. penulis berkebangsaan Inggris, Karen Armstrong sampai menyuguhkan gugatannya terhadap kehidupan modern akan ketidakmungkinan umat manusia menjaga keseimbangan terhadap alam. Gagasan tersebut diuraikan dalam buku terbarunya yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam (Mizan, 2023).
Ia menuliskan tesis bahwa sejarah pengetahuan modern telah meletakkan fondasi bagaimana menjadi sarana manusia untuk melakukan penguasaan terhadap alam. Hal yang kemudian menjadikan daya tawar atas situasi tersebut adalah mengajak refleksi dan menggagas kembali bagaimana keyakinan yang ditanamkan agama-agama maupun keyakinan besar untuk menjalin relasi terhadap alam. Tak terkecuali dari sana adalah Islam.
Armstrong berangkat dengan perhatiannya terhadap sejarah Al-Qur’an. Diturunkan ketika Arab mengalami kekurangan gizi dan krisis, namun di dalamnya banyak ayat yang memuat kandungan mengenai nama pohon maupun tumbuhan yang mengisahkan sakralitas relasi terhadap alam. Di sana Arsmtrong takjub. Ia kemudian menulis: “Al-Qur’an mengingatkan kita akan sebuah kebenaran penting; tatanan alam tidak dapat dipertahankan tanpa keseimbangan.”
Penjelasan tersebut mengingatkan sebuah buku berjudul Al-Qur’an dan Masalah Lingkungan Hidup (Litera AntarNusa, 2001) garapan Andi Hakim Nasoetion dan Asep Saefuddin. Salah satu ahli fikih lingkungan, KH. Ali Yafie memberikan pengantar dalam buku tersebut. Ia menjelaskan: “Penanganannya secara teknik-intelektual sudah cukup banyak diupayakan, namun secara moral spiritual belum cukup diperhatikan dan dikembangkan.”
Hal itu tentu saja membawa kita pada sebuah refleksi akan pentingnya fondasi spiritual untuk menjadi kerangka bahwa segala tindakan yang kita lakukan dalam kehidupan mesti memperhatikan akan masa depan lingkungan hidup. Pada aspek ini, tentu juga berkelindan bagaimana posisi agama dapat mencari jalan tengah untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada di lingkungan hidup.
Agama tentu menjadi pengikat bagi manusia dalam relasinya terhadap Sang Pencipta, sesama manusia, dan alam semesta. Keberadaannya juga senantiasa mendorong bagi para pemeluknya untuk melakukan kebaikan maupun kebijakan di kehidupan yang luas ini. Oleh sebab itu, menjadi penting akan keberadaan posisi Islam juga perlu membuat diskursus dalam membaca permasalahan lingkungan hidup.
Seorang cendekiawan, Fachruddin M. Mangunjaya menyajikan gagasan menarik lewat buku berjudul Generasi Terakhir: Aktivisme Dunia Muslim Mencegah Perubahan Iklim dan Kepunahan Lingkungan Hidup (LP3ES, 2021). Ia menyigi akan kesejarahan pembahasan komunal di komunitas muslim sedunia akan masalah krisis iklim dan tindakan yang perlu dilakukan di tiap-tiap negara.
Pembahasan awal keberadaan Islam menghadapi masalah ekologi telah dimulai sejak 1960-an. Hal tersebut kemudian berlanjut pada konferensi demi konferensi yang melibatkan ilmuwan muslim, lembaga swadaya masyarakat, hingga organisasi masyarakat. Salah satu yang terbaru adalah forum berupa Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim Global yang berlangsung di Istanbul, Turki pada Agustus 2015. Di dalam forum tersebut melibatkan perwakilan dari berbagai negara, tak terkecuali adalah Indonesia.
Di dalam buku, Fachruddin menegaskan posisi deklarasi tersebut sebagai uraian kontemporer perspektif Islam dalam menanggulangi perubahan iklim. Secara rinci ia menjelaskan: “Manusia diminta melakukan manajemen ekologi secara cermat berdasarkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan tidak berlebihan”. Hal itu nampak berhubungan dengan persoalan etika.
Hal yang sama juga pernah diungkapkan oleh Bekti Setiawan dan Zainal Abidin Bagir melalui esai berjudul “Krisis Lingkungan: Antara Etika dan Politik Lingkungan” yang termaktub dalam bunga rampai Ilmu, Etika, dan Agama: Menyikap Tabir Alam dan Manusia (CRCS, 2006). Mereka menekankan bahwa untuk memecahkan krisis lingkungan harus dimulai dengan merumuskan sistem etika yang peka terhadap krisis dan juga well-informed oleh persoalan riil lingkungan serta konteks sosial-politik ekonominya.
Lantas apa dampak Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim Global? Dalam konteks Indonesia, itu jelas ada turunan ke tiap negara sebagai transformasi untuk pembentukan kebijakan. Bagi kalangan santri tentu sangat perlu menjadi perhatian. Beberapa konsep yang kemudian dimunculkan sebagai kerangka aksi bersama di antaranya: ekopesantren, ekomasjid, haji ramah lingkungan, hemat air, penggunaan maskapai hijau, menghindari botol plastik, menggunakan botol daur ulang, hingga penghematan air.
Hal-hal tersebut sebagai sebuah turunan tentu telah menjadi cakupan akan posisi Islam dalam merespons keberadaan krisis iklim. Dengan mengacu pada konteks keberadaan umat muslim Indonesia, dengan kesadaran dan kemauan melakukan tindakan mupun aksi, bisa menjadi jawaban dari kalangan umat Islam mengenai masalah ekologi. Sebab, betapapun keberadaan agama Islam telah mewariskan ajaran agar senantiasa memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup dan menghindari dari kerusakan.[]
Baca Juga
https://alif.id/read/joko-priyono/musik-nasida-ria-dan-persoalan-ekologi-b249780p/