Fikih sebagai sebuah rumusan yang mengatur aktivitas hidup manusia, tentu harus dirumuskan oleh orang-orang yang mempunyai kapabilitas dalam hal tersebut. Dahulu, para pakar fikih yang telah mencapai derajat Mujtahid Mutlaq, dengan kedalaman pengatahuan yang luas dan mencangkup segala fan keilmuan mampu menggali hukum secara langsung serta merumuskan sendiri metodologi penggalianya. Hasil-hasil penalaran mujtahid ini, tertuang dalam kitab-kitab fikih yang banyak kita baca.
Tradisi tersebut secara turun temurun diwarisi pula oleh para ulama’ hingga sampai pada masa kalangan pesantren. Bedanya, kini proses istimbath al-hukmi (penggalian hukum) tersebut dilakukan secara kolektif dalam forum bahtsul masail.
Secara bahasa bahtsul masail berarti membahas masalah-masalah. Bahstul masail merupakan kegiatan diskusi ilmiah secara kolektif oleh para pakar, untuk membahas sebuah masalah dari sudut pandang agama, terutama fiqih.
Bahtsul masail merupakan tradisi intelektual pesantren yang telah berkembang sejak lama, bahkan sebelum Nahdlatul Ulama berdiri. Kini, bahtsul masail resmi menjadi ajang khusus di lingkungan Nahdlatul Ulama untuk menetapkan sebuah keputusan. Ia merupakan wujud respon kalangan pesantren untuk menjawab persoalan zaman yang selalu dinamis.
Layaknya sebuah forum akademis, dalam pembahasan bahtsul masail sarat dengan adu argumen, adu referensi, dan adu pemahaman. Para peserta merupakan para kyai atau santri senior yang telah mumpuni dalam seluruh bab fikih serta fan keilmuan lainya. Hal ini tidak mengherankan karena dalam proses pembelajaran fikih dan ushul fikih di pesantren, para santri akan dijejali kurikulum mulai dari kitab yang paling ringan sampai kelas berat, dalam waktu yang relatif lama.
Misal saja dalam kajian fikih. Di tingkat awal, Fathul Qarib menjadi kitab wajib yang harus mereka kuasai. Di tingkat selanjutnya, santri harus bergelut dengan Fathul Mu’in, kitab fikih dengan pembahasan yang sama namun lebih mendalam. Kemudian di tingkat atas, mereka akan mulai membahas Minhajut Thalibin beserta syarah-syarahnya. Kitab yang terakhir ini merupakan rujukan utama fikih Syafi’i dengan pembahasan yang sangat dalam dan kaya akan perbedaan pendapat fuqaha’. Baru kemudian mereka disuguhi beragam referensi khazanah madzhab-madzhab lain. Karakter pendidikan yang diulang-ulang namun semakin dalam dan luas pembahasannya ini, terbukti melahirkan akademisi fikih yang sangat mumpuni untuk menjawab masalah aktual yang belum ditemukan hukumnya.
Dalam bahtsul masail dikenal beberapa istilah seperti; Mubahitsin, Perumus, Mushahih, Moderator dan Shahibul As’ilah. Kelima pihak ini memiliki tugas masing masing.
Shahibul As’ilah adalah pihak yang menanyakan hukum suatu masalah. Mubahitsin merupakan peserta bahtsul masail. Perumus berperan sebagai pengarah saat pembahasan, sekaligus menyimpulkan dan merumuskan jawaban hasil pembahasan para mubahitsin.
Sedangkan Mushahih bertugas menetapkan dan meresmikan keputusan. Jika dalam sidang-sidang lain, keputusan dianggap sah jika telah diketuk palu, maka dalam bahtsul masail, bacaan fatihah mushahih sebagai penetap atas sahnya sebuah keputusan.
Proses bahtsul masail dimulai dengan pembacaan Al-Fatihah oleh kyai yang paling sepuh dalam forum tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan masalah serta pertanyaan oleh shahibul as’ilah. Proses ini sangat penting, agar semua peserta bahtsu benar-benar memahami masalah serta pertanyaan yang diajukan. Maka tidak heran, dalam banyak bahtsul masail, panitia penyelenggara selalu mendatangkan narasumber yang berkompeten sesuai bidang masalah yang dibahas.
Setelah semua peserta memahami pertanyaan, proses pembahasan pun dimulai. Semua mubahitsin akan mengutarakan jawaban yang telah mereka siapkan sebelumnya, disertai dengan argumen dan referensi ilmiah yang beragam, mulai teks teks hadits beserta syarahnya, ayat-ayat Al-Qur’an beserta tafsirnya sarta teks-tesk kitab kuning. Dari jawaban-jawaban tersebut, moderator akan memilih satu jawaban, selanjutnya para peserta lain akan menanggapi jawaban tersebut baik dari sisi argumen ataupun referensi. Tak ketinggalan pula, mubahits lain akan membantu pihak penjawab pertama dengan memberi argumen penguat serta referensi lain untuk menguatkan serta menjawab sanggahan pihak peserta yang mengkritisi jawaban tersebut.
Jika dirasa pembahasan telah jauh dari masalah yang dibahas, perumus akan memberi arahan serta konsep pembahasan yang harus dilalui, baru kemudian pembahasan dilanjutkan. Ketika pembahasan telah memuncak, dan jawaban telah mengerucut, maka kini bola panas ada di tangan perumus, dari jawaban yang paling unggul dengan ditambah tanggapan serta argument kritis dari peserta lain, keputusan sedikit demi sedikit dirumuskan.
Namun proses belum selesai, Masih ada sesi lagi untuk menanggapi rumusan keputusan yang dibuat oleh perumus, poin-poin yang dirasa lemah dari keputusan tersebut baik dari sisi referensi, argumen atau bahkan pemilihan diksi jawaban akan dihajar habis-habisan oleh peserta.
Setelah melalui proses yang panjang, dan jawaban telah benar-benar mengerucut, barulah draf keputusan tersebut disowankan (diserahkan) kepada mushahih untuk diteliti kembali. Draf Jawaban yang nanti akan ditetapkan menjadi asyari’ah serta selaras dengan fakta lapangan.
Kini tinggal proses terakhir Bahtsul Masail. Yakni pembacaan Al-Fatihah untuk mengesahkan keputusan jawaban tersebut.
https://alif.id/read/wfy/nalar-fikih-santri-salaf-1-b243080p/