Nama Nabi Idris dari Berbagai Sejarah

Laduni.ID, Jakarta – Idris adalah nabi ketiga setelah Adam dan Syits; rasul kedua setelah Adam. Nama Idris disebut di dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu pada Surat Maryam ayat 56 dan Al-Anbiya ayat 85:

وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِدْرِيْسَۖ اِنَّهٗ كَانَ صِدِّيْقًا نَّبِيًّا ۙ ٥٦

Ceritakanlah (Nabi Muhammad kisah) Idris di dalam Kitab (Al-Qur’an). Sesungguhnya dia adalah orang yang sangat benar dan membenarkan lagi seorang nabi.”

وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِدْرِيْسَ وَذَا الْكِفْلِۗ كُلٌّ مِّنَ الصّٰبِرِيْنَ ۙ ٨٥ وَاَدْخَلْنٰهُمْ فِيْ رَحْمَتِنَاۗ اِنَّهُمْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ ٨٦

“(Ingatlah pula) Ismail, Idris, dan Zulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang sabar. Kami memasukkan mereka ke dalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang saleh.”

Dalam Qasasul Anbiya disebutkan bahwa para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai lokasi Nabi Idris dilahirkan dan dibesarkan. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir dan dibesarkan di Mesir, tepatnya di kota Memphis (Manaf). Sebagian ahli yang lain berpendapat bahwa beliau dilahirkan di Babilonia, kawasan Suriah Irak sekarang ini; setelah dewasa dan diangkat sebagai nabi/rasul barulah beliau hijrah ke Mesir. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang berisi dialog panjang antara Rasulullah dengan Abu Zarr al-Gifari di Masjid Nabawi:

قلت : يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ الْأَنْبِيَاءُ ؟ قَالَ: ( مِائَةُ أَلْفٍ وَعِشْرُونَ أَلْفًا)، قُلْتُ :يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ: ثَلَاثُ مِائَةٍ وَثَلَاثَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا…”

Aku (Abu Zar) bertanya, “Wahai Rasulullah, berapakah jumlah nabi?” Beliau menjawab, “120 ribu.” Aku bertanya kembali, “Dari sekian banyak nabi, berapakah yang juga merupakan rasul?” Beliau menjawab, “313, suatu jumlah yang banyak.”

Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, “Siapakah yang paling dahulu di antara mereka?” Beliau menjawab, “Adam.” Aku masih terus bertanya, “Apakah Adam adalah nabi yang juga seorang rasul?” Beliau menjawab, “Betul. Allah menciptakannya dengan Tangan-Nya, meniupkan ke dalam diri Adam roh-Nya, dan mengajaknya berbicara dengan langsung.”

Beberapa saat kemudian beliau melanjutkan, “Wahai Abu Zar, ada empat nabi yang berbangsa Suryani (Syria Babilonia). Mereka adalah Adam, Syits, Akhnukh; dia adalah Idris, orang yang pertama kali menulis dengan qalam; dan Nuh. Lalu ada empat nabi yang berbangsa Arab. Mereka adalah Hud, Syuaib, Salih, dan Nabimu, Muhammad SAW.” (Riwayat Ibnu Hibban dalam Șahih-nya dari Abu Zar dengan sanad daif).

Orang Ibrani menyebut Idris sebagai Khanukh, sedang dalam bahasa Arab Idris disebut Ukhnukh (Suratno, 2005) atau Akhnukh (Al-Maghluts, 2008). Kitab Perjanjian Lama menyebutnya sebagai Enoch atau Henoch. Al-Qur’an menyebutnya dengan nama sebutan Idris, yang dalam bahasa Arab berakar dari kata darasa atau darisa, yang  berarti “belajar”, karena ketekunan beliau dalam membaca dan mempelajari Kitab Allah (Suratno, 2005 & Dawud, 2005). Dawud (2005) juga menyatakan bahwa kata Idris adalah bentuk Bahasa Arab dari Bahasa Aramia: drisha. Idris atau drisha artinya adalah orang yang berpengetahuan tinggi, seorang sarjana dan terpelajar. Kata Idris dalam bahasa Arab juga bisa berarti asal-usul (progenitor) atau bapak kearifan yang pertama (primal father of wisdom) (Daniken, 1997). Adapun kata Enoch dalam Bahasa Ibrani mempunyai arti pemula (the initiate) atau the insightful one (Daniken, 1997).

Orang-orang Mesir dan Yunani mengenal Nabi Idris dengan nama Harmas Al-Haramisah (Al-Maghluts, 2008), Hirmis Al-Haramisah (Abu Khalil, 2005), atau Hermes Al-Awwal (Hermes the Acient) (Partington, 1970). Dengan demikian, nama asli beliau sangat mungkin adalah Akhnukh (bahasa Arab), Khanukh (bahasa Ibrani), Enoch atau Henoch (dalam Kitab Perjanjian Lama). Kitab Al-Qur’an menyebut dengan sebutan atau gelarnya, Idris, sedang orang Mesir kuno dan Yunani mengidentikkan Idris/ Akhnukh dengan nama Harmas, Hirmis (Mesir kuno), atau Hermes (Yunani). Nasab Nabi Idris atau Nabi Akhnukh menurut Al-Maghluts (2008) adalah Idris bin Yarid bin Mahlail bin Qainan bin Anusy bin Syis bin Adam. Sedang menurut Suratno (2005), nasab beliau adalah Idris bin Yarid bin Mahlail bin Qitan bin Atusy bin Syis bin Adam.

Al-Qur’an tidak menceritakan secara rinci riwayat Nabi Idris. Sebagaimana telah disebutkan di atas, hanya ada dua surah yang menyebut Nabi Idris, yaitu Surat Maryam ayat 56-57 dan Surat Al-Anbiya ayat 85-86.

Al-Bukhari dan Muslim, dalam sebuah hadis panjang yang menceritakan  Isra’ dan Mi‘raj Nabi Muhammad meriwayatkan bahwa dalam mi‘rajnya beliau berjumpa dengan Nabi Idris di langit keempat. (Suratno, 2005).

Kisah Nabi Idris tidak banyak disebut dalam Al-Qur’an. Informasi Al-Qur’an mengenai Idris terbatas pada perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar menceritakan Idris sebagai seorang nabi dan pencinta kebenaran, dan bahwa Allah mengangkatnya ke “tempat” atau “kedudukan” yang tinggi. Dari informasi Al-Qur’an yang singkat itu, ditambah beberapa hadis dan riwayat dalam buku-buku tafsir yang perlu diteliti lagi kesahihannya, diketahui bahwa Nabi Idris mewarisi ilmu Nabi Adam dan Syits, yang masing-masing telah diberi șuhuf, dan karena itu Idris adalah orang yang memiliki banyak kepandaian. Ia pecinta ilmu dan kebenaran. Ia pelopor dalam beberapa keterampilan dan bidang keilmuan, seperti menulis, menjahit, ilmu perbintangan, dan ilmu-ilmu lainnya. Dalam tradisi Yunani Idris dikenal dengan nama Hermes, pemilik kecakapan dalam menerangkan sabda Tuhan.

Kata Idris adalah laqab (julukan) yang berasal dari kata berbahasa Arab “darasa” atau “darisa”, yang berarti belajar. Adapun nama aslinya adalah Hanukh, Enoch, atau Akhnuh. Meski disajikan sangat pendek, namun kisah Nabi Idris memberi kita beberapa pelajaran. Pertama, manusia dianjurkan untuk selalu belajar, baik dari pengetahuan yang sudah ada (dari șuhuf); dari eksplorasi sendiri, seperti keterampilan menjahit dan menulis; maupun dari pengetahuan yang berdasar pada pengamatan, yakni astronomi.

Dengan demikian, ada tiga macam pengetahuan (‘ilm) yang perlu dipelajari oleh manusia, yaitu ilmu naqli (wahyu), keterampilan (teknologi), dan ilmu ‘aqli (rasionalitas). Terkait dengan ilmu naqli, Nabi Idris juga dikenal sebagai mufasir pertama dalam sejarah manusia (Yunani: Hermes). Objek yang ditafsirkannya adalah șuhuf Nabi Adam dan Syits. Kedua, manusia diajak meyakini kejadian yang termasuk hal-hal gaib yang diberitakan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an menceritakan bahwa Idris diangkat ke tempat yang tinggi, “wa rafa‘nahu makanan ‘aliyya.”

Dari beberapa penafsiran terhadap ayat ini, satu di antaranya menyatakan bahwa Allah mengangkat Nabi Idris ke langit atau surga, dan dengan demikian beliau dalam kondisi hidup, tidak wafat. Ada pula tafsiran lain yang menyatakan bahwa dalam sebuah riwayat dikisahkan bagaimana Nabi Idris didatangi Malaikat Maut. Nabi Idris mengajaknya bicara hingga malaikat tersebut menunda mencabut nyawanya. Malaikat itu lalu membawa Idris ke langit dengan kedua sayapnya. Sesampainya mereka di langit keempat, malaikat itu bertanya, “Aku sebenarnya diutus untuk mencabut nyawamu di langit keempat.”

Mendapat perintah demikian, ada yang bertanya, “Bagaimana caranya, sedang dia (Idris) ada di bumi (ketika aku mendapat perintah demikian).’” Ketika Idris menoleh, Malaikat Maut menatapnya kemudian mencabut nyawanya di tempat itu. Namun, terlepas dari perbedaan penafsiran ini, meyakini hal-hal gaib merupakan bagian dari iman. Jika tidak karena prinsip demikian, riwayat Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ dan Mi‘raj pastilah dengan mudah dicap sebagai cerita bohong. Dengan demikian, jika suatu berita Al-Qur’an dirasa sulit dipahami secara rasional maka imanlah yang harus dinomorsatukan. Wallahu A’lam. []


Penulis: Kholaf Al Muntadar

Editor: Fahrul

https://www.laduni.id/post/read/525678/nama-nabi-idris-dari-berbagai-sejarah.html