Laduni.ID, Jakarta – Saya tergerak untuk menuliskan kembali peninggalan-peninggalan karya mbah KH. Mudhoffar Fathurrohman yang senantiasa nguri-nguri tradisi, dengan gaya bahasa saya, tentang sejarah bubur suro, yang sudah menjadi tradisi di wilayah Jawa Tengah. Khususnya di Kriyan Jepara.
Tulisan ini berdasar sanad yang saya dengar langsung dari Mbah KH. Mudhoffar Fathurrohman Kalinyamat, Mbah KH. Sya’roni Ahmadi Kudus saat mengajar Tafsir Jalalain. Tapi tulisan ini, tetap bisa dikatakan bersifat ilmiah karena akan disertakan rujukan kitab. Semoga Tulisan ini dapat menjadi bekal kita untuk nguri-nguri budaya, agar tidak kepaten Obor.
Dikisahkan bahwa ketika Nabi Nuh AS menghendaki kehancuran bagi orang kafir, Allah memerintahkannya untuk menanam pohon jati yang nantinya dibuat kapal. Nabi Nuh AS menanam pohon jati selama 200 tahun, kemudian ditebang dan dibuatlah sebuah kapal besar di mana Malaikat Jibril menjadi arsiteknya.
Kapal itu didesain dengan tiga lantai. Lantai bawah untuk hewan-hewan buas. Lantai tengah diperuntukkan bagi hewan yang jinak dan lantai paling atas untuk manusia para pengikut Nabi Nuh AS.
Saat datang banjir bandang Nabi Nuh AS memeriksa keempat anaknya. Didapatinya Sam, Ham dan Yafits, mereka telah berada di dalam kapal beserta istri-istrinya. Sementara itu, Nabi Nuh AS tidak mendapati Kan’an putranya yang lain.
Kisah ini terekam dan disampaikan di dalam Al-Qur’an Surat Hud ayat 42-43. Allah SWT berfirman:
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir’.”
قَالَ سَآَوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
“Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.”
Umat manusia seluruh dunia tenggelam dalam banjir bandang kecuali yang berada di dalam kapal. Nabi Nuh AS memasukkan tiap jenis hewan berpasang-pasangan. Hewan yang dipegang Nabi Nuh AS dengan tanggan kanan berjenis kelamin laki-laki dan yang dipegang tangan kiri berjenis kelamin perempuan.
Nabi Nuh AS beserta penumpang kapal berada di atas kapal selama setengah tahun. Kapal berlayar mulai bulan Rajab dan turun pada tanggal 10 Asyura (Muharram).
Lanjutan kisah ini ada di dalam Surat Hud ayat 44. Di dalam surat ini disebutkan:
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan difirmankan: ‘Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah.’ Dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang zalim’.”
Di dalam Kitab Nihayatuz Zain, hlm. 196 diceritakan, bahwa setelah kapal berlabuh, Nabi Nuh AS memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan bekal bahan makanan yang masih tersisa agar dibuat bubur untuk makan bersama, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT karena telah diselamatkan dari banjir bandang.
Kemudian, berdasarkan kisah inilah tradisi umat Islam, khususnya di Indonesia, pada setiap Hari ‘Asyura diperingatilah dengan membuat bubur biji-bijian. Terdapat 7 jenis bahan makan yang dimasak menjadi bubur oleh Nabi Nuh AS, yang terangkum dalam syair bahr rajaz karya Al-Hafidh Ibnu Hajar:
فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ سَبْعٌ تُهْتَرَسْ * بُرٌّ شَعِيْرٌ ثُمَّ مَاشٌ وَعَدَسْ
“Pada Hari ‘Asyura tujuh (biji-bijian) dijadikan bubur; gandum (merah), jawawut (gandum putih), jenis biji-bijian masy, dan adas”
وَحِمَّصٌ وَلُوْبِيَا وَاْلفُوْلُ * هَذَا هُوَ الصَّحِيْحَ وَالْمَنْقُوْلُ
“Kacang putih, kacang polong dan kacang brol. Ini adalah yang shahih dan yang manqul (dikutip dari keterangan).”
Semua biji-bijian itu menjadi bahan komposisi yang kemudian diolah menjadi bubur yang khas. Dan dihidangkan untuk dinikmati bersama.
Demikian pula yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya di Nusantara ini dalam nguri-nguri tradisi, membuat bubur suro. Tetapi, bubur suro yang merupakan refleksi dari kisah Nabi Nuh AS beserta para pengikutnya yang diselematkan dari banjir itu, bisa saja berbeda komposisinya dengan yang disebutkan di atas.
Meski demikian, bubur suro itu masih bisa dimanifestasikan dengan membuat bubur yang khas di setiap daerah. Karena substansinya sama, yakni memasak, menghidangkan dan menikmati bersama bubur di Hari ‘Asyuro.
Tradisi bubur suro merupakan napak tilas diselamatkannya Nabi Nuh AS beserta pengikutnya dari banjir bandang. Hal ini termasuk tradisi yang baik untuk dilakukan.
Dengan kisah yang menjadi latar belakang bubur suro ini, kemudia kita bisa nguri-nguri tradisi yang baik hingga sekarang. Selain itu juga sebagai pengingat akan kuasa Allah SWT. Betapa dahsyatnya rahmat Allah SWT bagi orang-orang yang bertakwa, dan betapa mulianya orang yang mau mengikuti Rasul-Nya.
Tabik. []
Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 09 September 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________
Penulis: Gus Mad (Penggerak Dakwah Nguri Nguri Budaya Darwis Nusantara Kalinyamat)
Editor: Hakim