Nasib Anak-Anak dalam Konflik Palestina-Israel

Dalam situasi perang, yang lebih mengerikan dari kematian adalah hidup tanpa cinta kasih. Menghirup udara kebencian dan memakan api dendam. Peperangan bukan hanya menghancurkan benda-benda, tapi  juga hubungan kemanusiaan. Kita bersedih atas kematian banyak korban di Palestina, tapi kita patut lebih bersedih memikirkan nasib para korban yang masih hidup, terutama anak-anak.

Yang lebih mengiris hati melebihi melihat luka fisik yang dialami anak-anak, adalah membayangkan kekosongan jiwa dan traumatik yang mereka alami. Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (1986) menjelaskan bahwa pembentukan watak dalam jiwa individu banyak dipengaruhi oleh pengalamannya ketika masa anak-anak, yaitu pada masa  pengasuhan orang-orang dalam lingkungannya.

Yang terlihat oleh anak-anak Palestina selama ini, adalah mata orang dewasa yang saling khawatir, puing-puing bangunan, dan ribuan luka segar. Yang terdengar mereka adalah ledakan bom, tangisan, dan jeritan para korban. Yang tercium oleh mereka adalah bubuk mesiu, asap kebakaran, lalu amis darah. Masih adakah harapan tersisa dalam situasi tersebut? Tentu masih, berbagai pihak berupaya mengurangi dampak terburuk pada diri anak. Tetapi, sampai kapan ini semua terjadi?

Randa Ghazy dalam buku Sognando Palestina (2006), mengisahkan sisi lain dari kondisi Palestina. Meski diliputi perang dan ketakutan, di sana masih tersimpan persaudaraan, cinta dan persahabatan. Namun, Ghazy juga menuliskan bahwa kondisi anak-anak terlihat pelik. Mereka lebih menginginkan pistol ketimbang permen, lalu bermain perang-perangan ketimbang bernyanyi atau menggambar. Situasi lingkungan, membentuk mereka lebih akrab dengan kata balas dendam, musuh, perang dan kekerasan. Ini sebuah masalah.

Pada tahun 1972, Nick Ut mengabadikan sebuah foto peperangan dan anak. Gambar itu dikenal dengan nama The Girl in the Picture. Seorang anak berumur sembilan tahun, tanpa mengenakan pakaian, berlari menangis di tengah jalan setelah terkena luka bakar akibat serangan bom Napalm di Vietnam Selatan. Foto berbicara banyak hal soal dampak peperangan bagi anak.  Dunia tersentak dihadapan gambar.

The Magician’s Elephant (2009) gubahan Kate Dicamillo, mengisahkan dampak pasca perang bagi hidup anak-anak. Peter Augustus Duchenne, harus kehilangan ayah, lalu ibu karena perang. Ia tinggal bersama seorang mantan tentara yang tak mengerti kata kasih. Sepanjang hidup, sebelum bertemu dengan Adel, satu-satunya keluarga yang tersisa, Peter hidup bagai robot: kering cinta dan kasih. Dalam sebuah penggalan cerita, Dicamillo menggambarkan kondisi batin Peter: “Peter sudah lupa sama sekali apa artinya dipeluk. Ia memeluk Gloria Matienne dan mulai menangis lagi”. Cerita menguras air mata. Pasca perang, anak-anak harus mengalami banyak  kehilangan.

Peperangan itu kepongahan. Film All Quiet on the Western Front (2022) garapan Edward Berger mematahkan asumsi soal kebanggan dalam perang. Paul Baumer, diperankan oleh Felix Kammerer dikisahkan mendaftarkan diri untuk ikut perang. Ia dan ketiga rekannya sangat antusias akan petualangan yang menantikan mereka di medan perang. Yang kemudian terjadi, tidak ada secuil pun kebahagiaan. Perang tidak memiliki wajah lain,  selain kematian, ketakutan, rasa sakit, dan penyesalan.

Pada rentang abad ke-20, dunia bahu membahu melawan perang. Suara terdengar dari berbagai sumber. Tahun 1971, John Lennon, penyanyi-penulis lagu Inggris, merilis dendang Imagine yang menggema melalui denting pianonya: “Imagine all the people/ Living life in peace/ You may say Im a dreamer/ But Im not the only one/ I hope some day you’ll join us/ And the world will live as one”. Lirik dipercayai sebagai himne perdamaian dunia.

Tahun 1973, Bob Dylan, penyanyi-penulis lagu asal Amerika Serikat jugat membuat lagu serupa berjudul Knockin’ On Heaven’s Door. Delapan belas tahun kemudian, lagu  dinyanyikan ulang oleh Guns N’Roses: “Mama put my guns in the ground/ I can’t shoot them, anymore/ That long black cloud is comin’ down/ I feel like I’am knockin’ on Heaven’s door.” Lirik mengandung kritik terhadap pemerintahan AS dalam perang di Vietnam. Penolakan atas perang  terjadi lewat melodi.

Frances Hodgson Burnett, penulis novel anak asal Inggris, menyisipkan pesan penolakan perang lewat buku A little Princess (1905) dan The Secret Garden (1911). Buku dipercayai sebagai karya terbaik di dunia. Anak-anak, pembaca yang disasar dikenalkan dampak perang. Usaha itu memungkinkan penanaman rasa  perdamaian sejak dini. Penolakan atas perang terjadi lewat pena.

Pablo Picasso, pelukis revolusioner abad ke-20, melalui Guernica (1937) menyatakan kecaman atas perang. Karya itu  dianggap sebagai salah satu lukisan anti perang paling kuat dalam sejarah. Lukisan dibuat sebagai respon terhadap pengeboman mengerikan oleh Nazi di kota Guernica selama perang saudara Spanyol. Gambar mencerminkan kekacauan, rasa sakit, dan penderitaan yang menimpa warga sipil tak bersalah. Penolakan atas perang terjadi lewat kanvas. Lalu, kita bisa menelisik pada ruang lain: Wartawan, penyair, sineas dan sederet sumber lain yang ikut berjuang pada jalan kemanusiaan.

Selamanya, peperangan adalah musuh bersama. Kejahatan yang terjadi di Palestina, bukan hanya milik politisi atau  pemeluk suatu agama, tetapi umat manusia. Kita membayangkan, pada abad ke-21, berbagai elemen kembali bergotong-royong menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel. Mengusahakan terwujudnya dunia yang aman dan menyenangkan, terutama bagi anak-anak.

 

 

Artikel Nasib Anak-Anak dalam Konflik Palestina-Israel ini ditulis oleh Yulita Putri dan pertama kali diterbitkan di Alif.ID

Alif.IDAlif.ID – Berkeislaman dalam Kebudayaan

https://alif.id/read/ylp/nasib-anak-anak-dalam-konflik-palestina-israel-b249706p/