Laduni.ID, Jakarta – Dalam sebuah kesempatan, Habib Ali Al-Jufri pernah bercerita mengenai pertemuannya dengan seorang bekas penguasa yang dulu sangat zalim di Yaman. Ketika masih berkuasa orang itu telah melakukan banyak kemungkaran dengan membantai atau membunuh banyak ulama besar Hadramaut. Salah satu di antaranya yang menjadi korban adalah As-Syahid Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahanda dari Habib Umar bin Hafidz.
Habib Ali Al-Jufri mengatakan, “Takdir telah membawaku untuk bertemu dengannya. Dan ketika aku menatapnya (setelah aku diberitahu siapa dia) timbul perasaan tidak suka dan merasa tidak nyaman yang luar biasa. Bahkan aku tidak mau berbicara dengannya, meskipun sekadar berdakwah sekalipun. Aku tahu sikapku ini keliru dan salah, karena memanggil orang ke jalan Allah harus diutamakan, tak peduli siapa mereka atau apa yang pernah mereka lakukan.”
Habib Ali Al-Jufri melanjutkan ceritanya, secara tiba-tiba orang tadi menghampirinya dan berkata, “Aku ingin bertaubat. Apa yang harus kulakukan?”
Dalam situasi tersebut Habib Ali Al-Jufri mengaku telah berusaha keras untuk menguasai dirinya, agar bisa menjawab permintaan orang zalim tadi dengan baik. Beliau juga telah berusaha tersenyum supaya tidak membuat orang zalim itu pergi menjauh dari kebenaran yang diinginkan.
Perasaan tidak nyaman masih mengganggu Habib Ali, bahkan setelah keluar dari majelis. Pada saat itu beliau kemudian memutuskan untuk menelepon gurunya, Sayyidil Habib Umar bin Hafidz dan menceritakan perihal orang yang ditemui itu. Lalu Habib Umar hanya bertanya, “Apa maunya?”
Dalam perasaan yang masih merasa terganggu, Habib Ali Al-Jufri menceritakan semuanya tentang keinginan orang itu untuk bertaubat dan minta maaf. Tapi Habib Ali mengaku jujur kepada Habib Umar bahwa beliau tak mampu menuntun seorang zalim dan pembunuh itu. Beliau merasa hatinya sangat tak menyukai dengan apa yang telah dilakukan oleh orang tersebut di masa lalu.
Tapi apa yang dikatakan oleh gurunya, Habib Umar bin Hafidz, mampu meluluhkan hati Habib Ali Al-Jufri dan membuatnya takjub.
Habib Umar bin Hafidz lalu menasihatinya, “Ali, penuhilah hak Allah atasmu, yaitu menuntun ia kepada Allah. Tunjukkan kasih sayang dan perhatian atasnya dari dasar hatimu yang paling dalam. Dan untuk perasaanmu yang tidak suka berkumpul bersamanya atau ketidaknyamananmu itu, maka alihkan kepada kebencian terhadap perbuatannya, bukan kepada individu atau orangnya. Karena Rasulullah SAW tetap menerima keislaman Wahsyi (orang suruhan Hindun istri Abu Sufyan) yang telah membunuh paman tercinta Nabi, yaitu Sayyidina Hamzah (dengan cara menombaknya dari jauh kemudian memutilasinya dan mengeluarkan jantungnya). Tetapi Nabi SAW pun tetap memaafkan dan mengampuni Wahsyi, meski beliau mengalami kesulitan menatap wajah Wahsyi dan berkata, ‘jangan biarkan aku melihatnya lagi’. Bukan berarti hal itu karena benci pada Wahsyi, tetapi karena akan membuat kesedihan beliau teringat lagi keadaan paman beliau di kala syahid.”
Mendengar nasihat itu Habib Ali Al-Jufri merasa tenang dan mengatakan bahwa kata demi kata yang disampaikan oleh Habib Umar bin Hafidz tak ternilai dan sangat berharga baginya. Padahal saat itu Habib Umar sedang berbicara tentang manusia yang pernah melakukan kejahatan terbesar dalam hidup beliau sendiri (sebab telah membunuh ayah kandungnya) dan memisahkannya dengan keluarga, tetapi beliau masih menerima dan membantunya untuk menempuh jalan taubat kepada Allah SWT.
Habib Umar bin Hafidz adalah purnama yang memancarkan kasih sayang dan kedamaian sebagaimana teladan Rasulullah SAW. Beliau adalah cerminan ulama yang benar-benar memandang umatnya dengan kasih sayang sepenuhnya. Tidak ada celah kebencian sama sekali di dalam perangai indahnya itu.
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga beliau, dan melimpahkan ridho dan rahmat-Nya kepada Habib Umar dan Habib Ali Al-Jufri dan semua umat Nabi Muhammad SAW. Amin. []
Editor: Hakim