Natal di Kampung Halaman yang Mayoritas Muslim

Semarak Natal sudah terlihat sejak kemarin. Jalanan macet, penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan baik yang beroda dua maupun beroda empat. Terbukti ketika beberapa hari kemarin saat penulis pulang kampung dari Jogja ke Pati, jalanan cukup sesak. Alhamdulillah, selama ini seiring perkembangan hari demi hari belum terjadi konflik, setidaknya menurut berita yang beredar dalam media cetak, online dan elektonik.

Kebetulan penulis sampai detik ini sudah tiba di kampung halaman, dan ternyata kondisi masih aman-aman dan terkendali. Padahal daerah kampung (lebih tepatnya daerah sekitar) penulis sangat plural sekali untuk ukuran pedesaan. Bayangkan saja dalam radius tidak sampai lima kilometer dari rumah penulis terdapat berbagai macam rumah ibadah. Mulai dari gereja, vihara, kelenteng dan tentunya masjid-masjid yang tak terhingga jumlahnya.

Penulis sebenarnya agak tersinggung kalau dibilang orang desa sangat kolot dan anti perbedaan. Sejauh dari penulis hidup di pedesaan sejak kecil hingga saat ini menginjak kuliah di semester akhir, belum menemukan sama sekali konflik yang berbau sentimen agama. Belum pernah sama sekali.

Orang-orang desa memang tergolong sebagai masyarakat yang cukup kental kekeluargaanya untuk ukuran zaman sekarang. Kalau kita flashback ke belakang, para leluhur-leluhur orang-orang desa sudah mengajarkan budaya gotong-royong, musyawarah, silaturahim, tolong-menolong serta tradisi-tradisi lain yang mengajarkan  untuk bekerja sama dan kekeluargaan.

Baca juga:  Panduan Mencintai Nabi Muhammad Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari

Kalau ditarik secara skala lebih luas sebagai bangsa yang satu. Meski terdiri dari berbagai pulau, berbagai suku, berbagai adat-istiadat, berbagai ras, berbagai etnis dan agama tetap kondusif dan terkendali seacara umum. Karena indonesia sudah punya kultur kekeluargaan yang cukup kental yang lahir secara turun-temurun. Mungkin karena mayoritas penduduk Indonesia dihuni orang desa.

Orang desa termasuk orang yang tepo saliro, kekeluargaan dan toleransinya cukup tinggi. Bayangkan saja, ketika ada orang meninggal dan orang sakit pasti para tetangga akan hadir untuk sekedar menjenguk bahkan meringankan beban orang tersebut atau keluarganya, tanpa diminta. Banyak sekali sebenarnya contoh-contoh terkait sikap toleransi, gotong-royong, saling menghormati dan sikap kekeluargaan yang lain.

Memang diakui atau tidak, orang desa tidak paham apa yang disebut dengan toleransi. Asing dengan istilah toleransi. Juga jarang mendengar kosa kata pluralisme. Bahkan mungkin tidak mengerti apa arti Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi mereka sudah mempraktikkan itu sejak berpuluh-puluh bahkan berabad-abad tahun lamanya.

Mereka lebih akrab dengan  dengan kosa kata seperti kerja bakti, gotong-royong, sambatan, tolong-menolong, saling menghargai, tepo saliro, musyawarah dan kerja bakti. Ini menunjukkan betapa budaya dan tradisi persatuan serta saling menghargai sudah tertancap dengan kuat di pedesaan.

Baca juga:  Israel, Air, dan Kita

Permasalahannya ketika zaman mulai berganti. Dulu orang-orang bepergian berjalan kaki, sekarang menggunakan kendaraan bermotor. Dulu tidak ada smartphone dan internet. sekarang sangat mudah diakses. Intinya dulu belum secanggih dan berkembang pesat, sekarang telah berkembang pesat. Tentunya ini membawa budaya yang berbeda. Sedangkan sains dan ilmu pengetahuan juga berkembang pesat.

Secara langsung tentu ini membawa perubahan terhadap gaya hidup masyarakat Indonesia. Terutama bagi generasi muda bangsa. Mereka sudah jarang bersentuhan dengan tradisi gotong-royong, sambatan, tolong-menolong, musyawarah, toleransi dan tepo saliro. Para generasi muda lebih akrab degan gadget, medsos, game online, fashion, serta budaya pop.  Jangankan menghormati yang lebih tua, menghargai diri mereka sendiri saja masih belum bisa. Ini terbukti sangat tinggi sekali intensitas  tawuran antar pelajar dan kriminal yang dilakukan pelajar.

Alhamdulillah, Natal tahun ini berjalan tanpa ada suatu pergolakan atau gesekan yang berarti. Setidaknya di daerah penulis sendiri.  Padahal mayoritas agama yang dianut di daerah penulis ialah agama Islam. Secara tidak langsung umat Islam telah mengamalkan ajaran agamanya untuk tidak mengganggu orang yang berbeda dengan mereka, khsusunya terhadap umat Nasrani. Ini menunjukkan orang desa berhasil mengakulturasi antara tradisi yang baik dan agama sehingga tercipta masyarakat yang seperti sekarang ini. Padahal kita sudah memasuki era milenial dan industri 5.0.

Baca juga:  Kekuasaan Itu, Menurut Ibnu Khaldun, Seperti Sebatang Pohon Kayu

https://alif.id/read/ahmad-solkan/natal-di-kampung-halaman-yang-mayoritas-muslim-b246719p/