Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengomentari prahara yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Kejadian yang baru ini telah menyita perhatian dunia di tengah berbagai negara yang sedang berperang menghadapi virus covid 19. Tulisan ini setidaknya menjadi refleksi jika di kemudian hari masih terdapat segelintir orang atau kelompok meromantisme perang dan kejayaan di masa lalu. Karena ajaran atau ideologi semacam itu terus berlangsung saat ini, dan tidak menutup kemungkinan akan terus berlanjut di masa yang akan datang.
Di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat jihad/ perang. Pada sejarah perjalanannya, terutama di era awal, penyebaran Islam tidak luput dari peperangan. Syekh Ali As-Shabuni, pengarang tafsir tematik Rawaiul Bayan menukil salah satu surah dalam Al-Quran, Al-Baqarah ayat 190 sampai 195 pada bab pensyariatan perang. Dari sini kita akan mempelajari serta merefleksikan kembali tentang hakikat perang yang dahulu pernah terjadi.
Dimulai dengan latar belakang diturunkannya Ayat (Asbabun Nuzul), pada pembahasan tema ini, kita bisa melihat dan menilik sosio-psikologis yang terjadi pada waktu itu. Oleh syekh Ali As-Shabuni dirangkum menjadi empat:
Pertama, setelah ditolak untuk memasuki kota baitullah (untuk tujuan umrah), berkorban pada perjanjian hudaibah, serta kaum musyrik Quraisy bisa menerima rombongan rasulullah di tahun depan maka mereka kembali ke Madinah. Tetapi terjadi kekhawatiran di kalangan Sahabat bahwa orang orang Quraisy tidak akan menepati janjinya, mereka akan menolak kembali atau bahkan memeranginya. Sahabat tidak suka apabila terjadi pertumpahan di bulan bulan yang dimuliakan ole Allah Swt. Kemudian turunlah ayat وقاتلوا في سبيل الله يقاتلوكم Demikian yang diterangkan oleh Ibnu Abbas.
Kedua, diriwayatkan bahwa orang orang Musyrik bertanya kepada Nabi, “Apakah engkau melarang kami berperang di bulan haram?” kemudian Nabi menjawab : “Iya, mereka tidak ingin berperang di bulan tersebut.” Akan tetapi orang-orang Musyrik tetap bersikukuh berperang di bulan yang tidak dikehendaki. Lalu turunlah ayat الشهر الحرام بالشهر الحرام، demikian yang diterangkan oleh imam al-Hasan.
Ketiga, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa pada pelaksanaan umrah tahun Hubaidiyah tepatnya bulan dzulqa’dah tahun ke 6 hijriyah, orang Musyrik menolak rombongan Nabi untuk masuk Mekkah. Lantas rombongan tersebut kembali ke Madinah. Dan Allah berjanji kepada umat Islam bahwa mereka akan bisa memasuki Mekkah. Pada tahun ke 7 Hijiryah mereka atas izin Allah bisa memasukinya serta melaksanakan ibadah. Lalu turunlah ayat الشهر الحرام بالشهر الحرام
Keempat, Kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari, dari Aslam Abi Imran berkata: ketika kami berada di konstantinopel untuk berperang, Uqbah bin Amir memimpin pasukan Mesir, Fudhalah bin Ubaid memimpin pasukan Syam, datanglah pasukan romawi yang sangat besar yang kemudian berhadapan dengan pasukan kami. Lalu seorang pasukan muslim menerobos masuk ke pasukan musuh. Orang orang mulai gaduh dan berkata “Subhanallah, dia telah menjerumuskan dirinya sendiri kepada kebinasaan.”
Mendengar itu, sahabat abu Ayyub al-Anshari berdiri dan berkata: “Wahai orang-orang, sungguh kalian tidak benar menafsirkan ayat ini. Sejatinya ayat ini diturunkan kepada kami kaum Ansar. Setelah Allah memuliakan agamanya, memperbanyak para pembelanya, di antara kami berbisik-bisik di belakang Nabi ‘Sungguh harta kami telah habis dan Allah telah menguatkan Islam. Seandainya kita mengurusi harta kita, maka kita telah memperbaiki yang telah habis.’ Kemudian turunlah ayat ini sebagai tanggapan terhadap niat mereka وانفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بايديكم الى التهلكة . Maksud dari التهلكة ialah sibuk mengurusi harta dan meninggalkan perang.” Oleh karenanya Abu Ayyub terus menerus ikut berperang di jalan Allah sampai akhir hayatnya beliau dikebumikan di bumi rum (konstantinopel).
Dalam sejarahnya, peristiwa perang yang terjadi dilandasi oleh berbagai dinamika dan gejala sosial yang berlangsung di era tersebut. Al-Quran telah mengabadikan dalam beberapa ayatnya. Tetapi menariknya, dalam sub bab tafsir kelembutan (لطائف التفسير) yang dijelaskan oleh syekh Ali As-Shabuni bahwa lafal القتال dan الجهاد selalu dibarengi dengan lafal في سبيل الله , yang artinya bahwa tujuan jihad sejatinya tujuan mulia menegakkan kalimatullah (agama Allah) bukan untuk tujuan lain.
Selanjutnya, kapan awal mula diperintahkan jihad dalam Islam? Apakah ketika Islam datang langsung menyuruh pemeluknya untuk berperang?
Jawabannya tidak. Ulama sepakat bahwa peperangan sebelum hijrah dilarang kepada kaum muslimin. Dalam al-Quran banyak nash-nash yang menjelaskannya seperti surah Ali Imran: 159, Fusshilat: 34, An-Nahl: 82, Al-Jatsiyah: 14, al-Furqan: 63, serta dipertegas pada an-Nisa’:77. Allah mengizinkan jihad (perang) sesampainya di Madinah yang sebelumnya tidak diperkenankan oleh-Nya.
Apa motif dibalik pelarang perang di awal awal permulaan dakwah Islam?
Menurut syekh Ali As-Shabuni, pelarangan mereka berperang sebelum hijrah didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, ketika masa Awal, jumlah penganut Islam masih relatif sedikit. Kekuatan mereka terbatas, yang seandainya terjadi pertumpahan darah maka sangat merugikan pihak Islam. Allah menghendaki untuk memperbanyak pengikut serta menjadikannya penolong. Maka barulah setelah mereka hijrah, pengikutnya banyak dan kekuatannya sudah tangguh Allah memberikan lampu hijau untuk berperang.
Kedua, tujuannya bagi kaum muslim untuk melatih jiwa mereka agar sabar terhadap segala perintah tuhannya, patuh terhadap pemimpinnya (Rasulullah Saw.). Karena iklim pada masa Jahiliyah, para penduduknya memiliki semangat yang menyala, tidak sabar atas kelaliman. Terbiasa tergesa-gesa, semangat berapi, serta kelincahan dalam berperang ketika dipanggil pertama dalam urusan perang. Maka situasi ini menjadi latihan kesabaran bagi kaum muslimin untuk terus berpegang teguh terhadap perintah Allah dan Rasulnya.
Ketiga, kondisi sosial masyarakat Arab adalah lingkungan yang saling membantu dan memiliki jiwa pemberani. Kesabaran kaum muslimin waktu itu atas gangguan yang didapatkan dari kaum Quraish adalah pengaruh dari jiwa keberanian mereka dan kesadaran hati mereka terhadap Islam. Hal ini diperoleh atas perilaku kaum Quraisy ketika mereka bersepakat untuk memboikot bani Hasyim agar berhenti melindungi Rasulullah. Dampaknya mereka yang tidak memiliki keimanan yang teguh memilih untuk berpaling. Dari rasa iba, sebagian mereka kaum Quraisy melanggar kesepakatan pemboikotan kepada bani Hasyim yang sangat merugikan kaum muslimin.
Keempat, kaum muslim di Mekkah hidup bersama kedua orang tua dan keluarganya. Sedangkan sebagian mereka masih berpegang teguh terhadap ajaran nenek moyang. Karena ketidaksetujuannya terhadap ajaran Rasulullah mereka menyiksa anggota keluarga yang masuk Islam. Seandainya kaum muslim waktu itu diberikan izin untuk melakukan perlindungan diri, niscaya pertumpahan akan terjadi di rumah rumah masyarakat Arab Jahiliyah. Dan ini tidak menguntungkan bagi permulaan dakwah Islam.
Islam tidak serta merta mengizinkan perang tanda ada batasan sejauhmana perang boleh dilaksanakan. Ada beberapa standar batasan, karena yang namanya nafsu mesti dikendalikan. Antara perang dan nafsu hampir memiliki keterkaitan. Allah berfirman ولاتعتدوا ان الله لا يحب المعتدين. …dan jangan melampaui batas, sungguh Allah tidak menyukai orang orang yang melampaui batas (Al-Baqarah: 190).
Pemahaman kata “melampaui batas” menurut ulama memiliki pemahaman yang berbeda.
Pertama, menurut Hasan Al-Bashri adalah melakukan perkara yang dilarang seperti sebagai upaya balas dendam dan berkhianat, membunuh wanita, anak anak, orang yang sudah tua renta yang tidak memiliki kemampuan ikut berperang. Termasuk juga, yang tidak boleh dibunuh para rahib, membakar pepohonan, membunuh binatang tanpa sebuah kemaslahatan.
Kedua, menurut riwayat Al-Muqatil, arti dari “jangan melampaui batas” adalah larangan memulai perang terlebih dahulu.
Ketiga, menurut Said bin Jabir dan Abi ‘Aliyah, kita tidak diperkenankan untuk memerangi orang yang tidak ikut dalam peperangan.
Makanya Abu Bakar RA. berpesan kepasa Yazid bin Abi Sufyan ketika akan diutus ke negeri Syam, agar memerhatikan tata cara serta ketentuan yang telah dibuat oleh Agama tentang batasan perang. Bahkan umar juga melarang memerangi orang yang mencari nafkah seperti petani dan buruh.
Terakhir, yang ingin ditunjukkan oleh ayat-ayat jihad di atas, menurut syekh Ali As-Shabuni.
Pertama, Peperangan semestinya hanya untuk tujuan menegakkan agama Allah serta menjadikannya mulia.
Kedua, Allah Swt. sangat tidak menyukai berbuat melampaui batas, berbuat kedzaliman, serta kesewenang-wenangan dari manapun sumbernya.
Ketiga, Fitnah (penyiksaan terhadap orang beriman agar mengingkari keyakinannya dan kembali kepada kekufuran) bagi orang Islam disamakan dengan berperang.
Keempat, dalam perang tidak boleh membunuh wanita, orang lemah, dan anak anak yang tidak memilki kemampuan untuk berperang.
Kelima, peperangan hanya boleh terjadi untuk menolak gangguan orang Musyrik, meniadakan fitnah serta mengamankan jalannya dakwah.
Keenam, Meninggalkan berinfak dan berjihad di jalan Allah disebabkan harta dan upaya perlindungan jiwa adalah sebab kebinasaan.
Walhasil, peperangan dalam Islam tidak bisa dilihat dari nash atau teks belaka, kita juga harus melihat konteks yang terjadi pada masa tersebut. Keputusan perang adalah jalan alternatif terakhir dalam keadaan yang sangat genting. Itupun harus memegang terhadap prinsip dasar serta batasan yang telah ditetapkan oleh Agama. Sehingga pedang tidak bisa seenaknya dihunuskan kepada siapapun, karena pemegangnya mempunyai nafsu yang harus dikendalikan. Wallahu A’lam.
https://alif.id/read/ahmad-rofiq/ngaji-rawaiul-bayan-legalitas-perang-dalam-islam-b242303p/