Ngalap Berkah dari Azyumardi Azra

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati,” begitulah bunyi surah Ali Imran ayat 185. “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…

Ditegaskan lagi dalam An-Nisa ayat 78. Takdir kematian menghampiri Prof. Dr. Azyumardi Azra pada ahad kemarin di Selangor, Malaysia. Sialnya, sejumlah media dalam negeri terburu-buru mewartakan bahwa beliau wafat karena terjangkit covid-19.

Versi lain diungkap Hermono, Duta besar RI untuk Malaysia. Beliau mengatakan sebab kematian karena serangan jantung. Saya hanya mempercayai versi yang dirilis sang duta besar daripada pewartaan media-media dalam negeri. Ingat, pandemi sudah sirna sejak perhelatan Moto GP Mandalika. Hemat saya, tak perlu lagi ada publik figur yang wafat lalu dikait-kaitkan dengan covid-19. Hal semacam ini cuma menakut-nakuti masyarakat awam.

Semasa hidup, beliau mengisi hari-harinya dengan menulis, memberi kuliah tamu, menjadi guru besar tamu di sejumlah kampus luar negeri hingga menjabat ketua Dewan Pers periode 2022 – 2025. Namun, pria yang mendapat titel Commander of the Order of British Empire dari mendiang Ratu Elizabeth II ini tak luput dari kabar miring. Kabar miring yang pertama yaitu Gouzali Saydam dalam “55 Tokoh Asal Minangkabau di Pentas Nasional” (2009) menyebutnya sebagai cendekiawan pengusung ide Liberalisme di IAIN.

Baca juga:  100 Tahun Soeharto (2): Padi dan Cabai

Kabar miring berikutnya dari buku “Menjerat Gus Dur” karangan Virdika Rizky Utama. Buku yang viral di penghujung tahun 2019 ini menyebut keterlibatan Prof. Azra dalam konspirasi pelengseran KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus dur. Berbekal data-data otentik yang diperoleh Virdika, diketahui bahwa Prof. Azra, Dr. Syahrir dan Jejaring KAHMI melakukan penggiringan opini publik tentang kegagalan kepemimpinan Gus dur.

Beralih kepada interaksi saya dengan Prof. Azra. Interaksi terjalin melalui buku, layar kaca dan konferensi. Melalui tiga hal inilah saya ngalap berkah kepada beliau. Sejumlah buku karangannya terutama “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII” amat berguna ketika merampungkan tugas-tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Selain itu, buku berjudul “Pendidikan Islam: Tradisi dan Moderasi di Tengah Tantangan Milenium III” menolong saya saat menyusun diktat mata kuliah “Ilmu Pendidikan Islam” semasa berkhidmat di STAI al-Yasini di Kabupaten Pasuruan.

Melalui layar kaca, saya ingat betul saat beliau bersama Prof. Rhenald Kasali dan Prof. Yohanes Surya menjadi narasumber dalam acara “Kick Andy” (2010). Kala itu, beliau menceritakan kisah hidupnya yang pernah kerja di bengkel mobil hingga menjadi tukang jahit. Meski bukan dilahirkan dari keluarga berada, beliau sanggup menembus Columbia University di Amerika Serikat. Orang Indonesia yang berhasil mencicipi jenjang Pascasarjana di situ bisa dihitung dengan jari. Selain Prof. Azra, ada sosok Tasya Kamila dan Robinson sinurat. Nama terakhir yang saya sebut ternyata anak petani dari Sumatera utara.

Baca juga:  Ulama Banjar (193): H. Muhammad Husni Nurin

Hingga tulisan ini terbit, tercatat cuma dua kali saya bisa bertatap muka dengan Prof. Azra. Pertama, saat konferensi di UIN Malang dan yang kedua di Unisma Malang. Di UIN Malang, ada salah satu dosen yang merasakan atmosfer pengajaran beliau semasa di Pascasarjana UIN Jakarta. Sang dosen bilang makalah yang ia kumpulkan dilempar ke tempat sampah layaknya bungkus gorengan. Sebabnya, isinya kacau alias tidak memenuhi standar akademik yang digariskan Prof. Azra.

Dalam konferensi atau seminar terkait Islam dan Multikulturalisme di Unisma (2014), kebetulan saya membawa tiga buku karangan beliau dan memberanikan diri meminta tanda tangan. Pikir saya kapan lagi bisa berinteraksi sedekat ini dengan beliau. Pemandangan yang menarik adalah ketika melihat dua mahasiswa Unisma menanti-nanti Prof. Azra meletakkan gelasnya di meja. Saya lihat airnya sisa separuh. Prof. Azra menggoda mereka, “Hayooo… mau minum sisa air ini kan?”.

Tak disangka beliau bertanya, “Bukan Kiai, tapi mengapa mereka mengincar air bekas saya…”. “Mereka berdua mau ngalap berkah.” Begitulah jawaban saya. “Keberkahan ilmu bukan meminum air sisa guru, melainkan mempelajari dan mengamalkan ilmunya ke khalayak umum” ucap beliau. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Sayonara Prof. Azyumardi Azra. Semoga ilmu dan buku-buku yang anda terbitkan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah swt. Wallahu’allam bishowab

https://alif.id/read/fadh-ahmad-arifan-m-ag/ngalap-berkah-dari-azyumardi-azra-b245394p/