Ngangsu Kawruh dari Wong Dzolim: Obituari Abdullah Wong

Syahdan, seorang santri jebolan Pesantren Kempek di Cirebon, sedang ngelaku bathin dengan tirakat jalan menyusuri pantai utara Jawa. Tanpa membawa bekal perjalanan sepeser pun kecuali beberapa potong pakaian, kain sarung, dan tentu saja baju yang melekat di badannya. Setelah berbulan lamanya ia berjalan, pengembara kita pun terhenti di sebuah masjid untuk menunaikan sembahyang zuhur. Dari dalam masjid, serombongan pengantar haji baru saja membubarkan diri. Sontak saja matanya tertuju ke tong sampah yang berisi tumpukan kotak makanan.

Lapar di perutnya sudah mulai lelah meronta. Namun santri kelana ini merasa sedang ketiban durian runtuh. Menurut dugaannya, di antara sekian banyak kotak makanan itu, mesti ada sisa yang masih bisa ia santap. Lalu ia mengais dengan sabar hingga akhirnya apa yang dicari ketemu. Sebuah kotak yang di dalamnya terdapat bekas makan yang tak dihabiskan. Di emperan masjid itu ia duduk sendiri sembari memegangi rizki minallah yang baru saja ia temukan. Baru saja hendak menyuap, seketika muncul geng lalat yang merubung sekujur tubuhnya.

Dalam hati ia membatin, “Aku iki benar-benar wong dzolim …”

Ajaib, kawanan lalat itu mendadak lenyap entah ke mana.

Jantungku seperti mencelos mendengar kisah itu, yang dituturkan seorang kawan asal Jatirokeh, Brebes, Jawa Tengah, yang bernama Abdullah Imam Bahwar—di bawah pohon kersen di belakang kampus tempat kami berkelakar. Berdasar kejadian itulah ia lebih senang menamai dirinya dengan panggilan Wong Dzolim. Nama unik yang sudah sejak kali pertama mengenalnya di Ciputat pada 2003, ingin sekali kutanyakan riwayatnya.

Teater adalah wahana pertama kami saling merangkul. Meskipun kala itu berstatus sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, namun ruang lingkup pergaulannya lebih banyak ia habiskan bersama para pegiat teater di Universitas Islam Negeri Ciputat. Kami yang tumbuh di kandang para seniman kawakan di Bulungan, Jakarta Selatan, sesekali juga bertandang ke UIN, karena merasa menemukan habitat lain yang agak unik. Ya, mereka adalah mahasiswa yang berasal dari pesantren, tapi juga berteater.

Ternyata inilah yang nampaknya membuat Wong betah ngenger di Ciputat. Ia tak ingin berjauhan dengan dunia kesantrian yang telah digelutinya sedari kecil. Saat sudah sama-sama menjadi mahasiswa Islamic College for Advanced Studies, Jakarta, kami baru mafhum ternyata ia adalah putra seorang kiyai di kampungnya, yaitu Ki Bachwar Wirya. Kami senang membayangkan betapa runyamnya kondisi Wong kala ia masih menempuh studi di STF Driyarkara. Seorang santri gendeng nyemplung di kampus Katholik. Meskipun akhirnya ia pun hengkang dari sana dan memilih bersama kami, para gelandangan intelektual.

Fase ngampus ini membuat hubungan kami kian dekat. Wong adalah pencerita yang ulung, terutama dengan stok guyonannya yang seolah tiada pernah habis. Tak jarang, beberapa dosen malah ikut nimbrung bersama kami di belakang kampus, hanya demi mendengar kelakarnya yang menembus batas nalar dan sekat kejumudan. Tak hanya itu, jika di kelas kami mulai berbalahan lantaran diskusi yang melebar tak karuan, Wong akan tampil sebagai penengah. Tentu dengan cerita lucunya yang pasti mengocok perut para pendengar.

Masa-masa belajar bersama Wong di kampus, kerapkali diwarnai pencerahan. Paling tidak itulah yang kami rasakan. Ada begitu banyak hal yang sebelumnya mampet dalam pemahaman kami terkait Islam, ia bongkar pelan-pelan nyaris tanpa menggurui. Karena memang ia cenderung ngemong dan tergolong manusia ajaib tanpa beban pikiran. Bukti keajaiban tersebut misalnya, ia seringkali memberi kami sebungkus rokok kretek yang lucunya harus diambil di sembarang tempat. Entah itu di bawah batu, di bagasi motor vespanya, di ranting pohon, dan sebagainya.

Apakah itu bentuk karomah atau sudah ia letakkan sebelumnya, kami hampir tak peduli dengan itu. Intinya, Wong telah menjelma menjadi kawan, sahabat, guru, dan lawan tanding sepadan bagi kami yang sedang mendaki ke puncak ilmu pengetahuan. Secara pribadi, kami nyaris tak pernah berselisih paham dalam setiap obrolan. Sedari sepakbola hingga wahdatul wujud yang digagas Syeikh al-Akbar ibn ‘Arabi. Kelihatannya, tasawuf lah yang merekatkan kami begitu erat. Sehari tak memeluk Wong, itu bagaikan pungguk merindukan bulan.

Pernah suatu kali aku membonceng Vespa klasik miliknya menuju Ciputat. Sepanjang jalan aku terus mendekapnya dari belakang. Sementara itu, rambutnya yang gondrong berkibaran bak bendera diterpa angin. Di lampu merah perempatan Lebak Bulus, ia malah menepi tepat di depan seorang polisi. Padahal kami tidak memakai helm. Tak cukup sampai di situ, Wong malah cengengesan. Di luar dugaan. Polisi yang malang itu pun turut pula ccngar-cengir melihat aksi kami. Lantas mereka malah berbincang santai hingga lampu hijau mempersilakan kami untuk maju jalan.

Catur Tuhan

Selain teater dan kampus, catur merupakan wahana lain yang turut membuat kami kian lengket. Bila sedang bermain catur, Wong termasuk pemain yang senang melangkahkan bidaknya dengan jurus dewa mabuk. Langkahnya sulit ditebak. Bukaan dan serangannya bertubi-tubi, dan berakhir maut bagi lawan. Tapi hal itu tak berlaku bagiku. Sebagai anak Sumatera yang getol menimba ilmu catur di lapo tuak, gerak-gerik Wong mudah kubaca. Alhasil kami sering bergantian menang dan kalah.

Bermain catur bersama Wong merupakan keindahan pikiran. Sambil melangkah, menyusun strategi, menyerang, dan menghempaskan, kami terus berdiskusi tentang banyak hal yang terjadi. Baik yang sudah lampau, kiwari, atau yang kelak datang. Dari kebiasaan inilah Wong menamai permainan kami dengan gelar Catur Ilahi. Lantaran sering berjibaku menang-kalah, suatu hari kami mengadakan kompetisi yang hukumannya adalah: pemain yang kalah di puncak pertandingan, dilarang main catur seumur hidup.

Ide gila yang menyesakkan dada itu jelas muncul dari Wong. Pertandingan yang digelar di Umah Suwung (rumahnya) itu pun dimulai. Satu persatu pemain bertumbangan, hingga akhirnya kami berdua duduk berhadapan sebagai calon kampiun. Sayangnya, dulu kami tak terpikir mengabadikan momen bersejarah itu. Permainan Wong yang lincah bak Rangga Lawe, kutumpas tanpa ampun. Ratunya terjungkal oleh sabetan pedang perdana menteriku yang gagah perkakas. Bisa jadi inilah cara Wong untuk menghiburku dan segenap penonton yang adalah rekan seangkatan di kampus.

Namun yang jelas, sampai hari terakhir bertemu dengannya saat menjenguk pada Rajab 1445 H, ia tak lagi mengajakku beradu di atas papan catur. Padahal sejatinya kami teramat sangat merindukan hal itu.

Tapi karena Wong yang kuhadapi sudah berubah menjadi kiai, yang lazim disapa dengan sebutan Ki Wong oleh para santri Padepokan Umah Suwung, kami terpaksa harus sadar diri. Meski sesekali muncul rasa gemas di dalam dada. Kawan kami yang jenaka itu digugu-ditiru para orangtua yang usianya rata-rata di atas limapuluhan tahun, dan kami menjadi agak canggung memanggil namanya. Paling banter ya duduk manis di sampingnya kala mengampu kajian kitab Futuhat al-Makkiyah karya Syeikh l-Akbar ibn ‘Arabi, al-Hikam dari Ibn ‘Athaillah, dan Nashaihul Ibad buah pikir Syeikh Nawawi al-Bantani.

Dua dasawarsa lebih bersahabat dengan Wong, kami anggap sebagai sebuah anugerah tak terperi dalam kehidupan yang diberikan Allah—selama ini. Terkhusus manakala mengawalnya selaku penyunting dua novel sufistik; Mata Sang Penakluk (tentang Gus Dur), dan Mada: sebuah Nama yang terbalik.

Ia terus tumbuh menjulang bersama Lesbumi, NU. Maka jadilah ia kiyai cum budayawan. Penghargaan terhormat yang memang pantas ia dapatkan, dan itu sudah kami perkirakan sejak masih bersatus mahasiswa. Wong yang telah mendapatkan kehormatan dari banyak kalangan, pernah dengan sangat rendah hati menjadi saksi kami menikah pada 2012, dan bahkan turut pula menyampaikan khutbah nikah yang segar tapi sarat nilai.

Menatap tubuh sahabat terbaik terbaring di ambulans malam tadi (22/6/2024) yang hendak bertolak ke kampung halamannya, kami teringat pada sebuah obrolan santai di sela harapan melanjutkan studi ke universitas ternama di Eropa. Ia ingin meraih gelar master di Oxford, Inggris, sementara aku ke Sorbonne, Prancis.

“Kayaknya nama Wong Dzolim sudah harus ditinggal di masa lalu deh,” kataku sambil menatap matanya yang teduh.

“Kenapa begitu, Ren?” jawabnya penasaran.

“Kan nggak lucu kalau nanti namamu ditulis sejarah sebagai Kiyai Wong Dzolim.”

“Terus piye dong baiknya?”

“Pakai saja nama Abdullah Wong. Kesannya seperti kerabat Wong Fei-hung yang sudah mukim di Nusantara untuk menyebarkan Islam.”

“Futuristik juga idemu…”

Maka terbitlah senyum manis di bibirnya yang masih kami ingat betul sampai sekarang. Nyatanya ia memang memakai nama itu, dan kami baru tersadar kini ia telah lampus terlebih dahulu. Bulir airmata kami yang memancar karena kebijaksanaannya, menahbiskan bahwa ia laik didaulat menjadi manusia paripurna yang pulang dengan bahagia.

Wong, pripun rasane mengabadi… [®]

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/ren-muhammad/ngangsu-kawruh-dari-wong-dzolim-obituari-abdullah-wong-b249501p/