LADUNI.ID, Jakarta – Ada banyak nilai-nilai dalam shalat yang dipahami sebagai sebuah perintah suci yang harus dilaksanakan sebagai tanda atau bukti kepatuhan seorang hamba dengan Sang Pencipta yakni Allah SWT.
Shalat tidak hanya bernilai esoteris yakni ketuhanan di mana seorang manusia berusaha membangun hubungan dengan Allah SWT. Selain esoteris, shalat juga memiliki nilai eksoteris yakni kemanusian di mana seorang manusia berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan diri dan masyarakat
Nilai-nilai dalam shalat tersebut mengisyaratkan bahwa shalat mengajarkan bagaimana seorang hamba mesti memiliki kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT. Selain itu, juga shalat mengajarkan kepatuhan, persatuan dan kesatuan kepada sesama manusia.
Jika dilihat dari sisi syariat, shalat adalah medium paling efektik untuk “mengingat” dan “mendekatkan” antara “hamba” dengan “Khaliq”. Allah SWT, berfirman dalam QS. Thaha (20) ayat 14 sebagai berikut:
اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ (١٤)
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (QS. Thaha 20:14)
Peristiwa Isra Mi’raj menjadi bukti perjalanan Nabi SAW menembus dimensi waktu dan tempat, dalam rangka menerima langsung perintah shalat dari Allah SWT, tanpa melalui malaikat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan shalat bagi kehidupan kaum Muslimin.
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (١)
“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Isra’ 17:1).
Peringatan Isra Mi’raj merupakan momentum bagi kaum Muslimin untuk mengevaluasi kualitas dan mengambil pelajaran (ibrah) dari nilai-nilai shalat. Sehingga, shalat yang dilakukan mampu mengubah seseorang menjadi lebih bermakna dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Di antara nilai-nilai shalat itu adalah :
Pertama, shalat mendidik untuk menyucikan diri dari sifat-sifat buruk.
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ (٤٥)
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut 29:45).
Kedua, shalat mendidik kesatuan dan persatuan umat. Orang shalat menghadap ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah. Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. Perasaan persatuan ini akan menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi antarsesama.
Ketiga, shalat mendidik disiplin waktu. Setiap yang shalat selalu memeriksa masuknya waktu shalat, berusaha menunaikannya tepat waktu, sesuai ketentuan, dan menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan duniawi.
Keempat, shalat mendidik tertib organisasi. Menyangkut tertibnya jamaah shalat yang baris lurus di belakang imam dengan tanpa adanya celah kosong (antara yang satu dan jamaah di kanan kirinya) mengembalikan kaum Muslimin pada perlunya nidzam (tertib organisasi).
Kelima, shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya walau sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintahnya, selama perintah itu tidak untuk bermaksiat. “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad).
Keenam, shalat mendidik keberanian mengingatkan pimpinan. Jika imam lupa, makmum mengingatkannya (membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya jika melakukan kesalahan.
Ketujuh, shalat mendidik persamaan hak. Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status sosial jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memedulikan tinggi kedudukan maupun tua umurnya.
Kedelapan, shalat mendidik hidup sehat. Shalat memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat, yang setiap harinya minimal 17 rakaat secara seimbang. Hal ini merupakan olahraga fisik dengan cara sederhana dan mudah gerakannya.
Jika nilai-nilai shalat tersebut di atas diejawantahkan dalam kehidupan setiap Muslim maka tidak menutup kemungkinan perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat terwujud. Shalat menekankan seorang Muslim untuk selalu merendah di hadapan Sang Maha Besar, sebab kekuatan, kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki semata-mata kekuatan dari yang Maha Kuasa.
Hal tersebut memiliki makna bahwa jika kita mampu menerapkan nilai-nilai dalam shalat di kehidupan sehari-hari, maka tidak akan ada lagi manusia yang saling meremehkan, saling menjatuhkan, dan saling memfitnah. Tak akan ada lagi orang yang merasa paling kuat. Sehingga, peperangan pun tidak akan terjadi. Tidak ada lagi orang yang merasa paling pintar kemudian meremehkan orang lain.
Mari kita belajar tawaddu’ dalam shalat untuk melawan kesombongan dalam diri dan kelompok yang akan menjerumuskan kepada tempat yang paling mengerikan yakni neraka jahannam.
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Rabu, 15 Agustus 2018 . Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Editor : Sandipo
Sumber : Al-Qur’an dan Hadis
https://www.laduni.id/post/read/44238/nilai-nilai-shalat.html