NU dalam Gelanggang Politik

Sebentar lagi, bangsa ini akan ada gawe. Gawenya ialah pesta demokrasi. Keberadaan hingar-bingar kontestasi politik dinantikan oleh banyak kalangan. Di pucuk sana, para petinggi partai, waktu tidurnya berkurang. Pasalnya mereka sibuk untuk menggelar lobbying kesana kemari untuk membuat pepat koalisi.

Syahdan, di tingkat akar rumput, muncul obrolan dadakan yang kental dengan politik. Mereka sibuk mengaitkan satu rangkaian ke rangkaian lainnya meraba-raba calon siapa yang berpeluang merebut tongkat estafet di tahun 2024. Perbincangan demi perbincangan menyoal politik pun menyeruak mewarnai hari-hari mereka.

Kali ini celetuk ide tidak muncul dari akar rumput. Adalah Amin Mudzakir menulis gagasannya berjudul Mengapa Suara NU Diperebutkan dan Apa Implikasi bagi NU Sendiri? (Alif.id, 20/10/2023). Gagasan yang amat menarik di telaah, membawa kepada pelbagai untaian reflektif bagi kelompok NU dalam hingar-bingar politik.

NU adalah Islam dan Islam belum tentu NU. Suara khalayak Islam nampaknya akan terus diperebutkan. Namun, Bangsa ini dipeluk tak hanya satu kelompok Islam sahaja, namun banyak kelompok-kelompok basis islam lainnya. Pembacaan kelompok Islam terhadap siklus politik di Indonesia nampaknya menjadi bahan baku yang masih nikmat untuk dijajakan.

Mafhum, dilansir dari Kementrian Agama Republik Indonesia, jumlah masyarakat Indonesia yang memeluk Islam sebesar 87,2% alias 229,62 juta jiwa. Angka itu sangatlah fantastis. Tak dinaya, angka sebesar itu, bakal jadi perbincangan penuh strategi bagi para tim sukses ataupun para cendekiawan membaca arah langkah para calon pemilih kalangan Islam untuk menentukan pilihannya.

Buku gubahan Deliar Noer berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (LP3ES, 1994) menarik untuk kita simak kembali. Buku itu adalah desertasi Deliar Noer kala menimba ilmu di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Kelompok Islam punya coretan gilang-gemilang dalam silang-sengkarut perpolitikan di Indonesia. Beberapa organisasi telah di bentuk seperti Masyumi, Perti, PSII, PDII, Muhammadiyah dan NU, dicatat dengan rapi bagaimana polemik demi polemik melingkupi gerakan mereka.

NU beberapa kali disebut dalam desertasi Deliar Noer. NU pada April 1952 mendeklarasikan diri sebagai Partai Politik. Dalam Pemilu tahun 1955 NU mampu merebut suara sebanyak tujuh juta suara alias 18,4%. Angka tersebut sangatlah fantastis, walaupun urutan pertama, partai yang dianggap nasionalis PNI (Partai Nasional Indonesia) bertenggar di urutan pertama sebanyak 8,5 juta suara.

Keberanian dan kenekatan NU waktu itu memilih menjadi partai politik yang otonom bukanlah tanpa sebab. NU sempat menjadi bagian Masyumi, namun keberadaan Masyumi beberapa kali berbenturan dengan kelompok NU. Ketika Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama pada awal 1952, kelompok Masyumi membuat cidera kelompok NU. Tak hanya itu, menyoal kursi dan kepentingan politik lainnya, membuat NU jadi kerdil.

Partai Islam Mendulang Suara

NU dan Masyumi jadi sebuah pembelajaran menarik bagi partai Islam. Masyumi yang dibentuk pada November 1945. Umur federasi ini tidak lama. Pada 1948, PSII memutuskan mundur, disusul NU pada April 1952 dengan mendirikan partai sendiri. Di tahun 1960, Presiden Soekarno mengetuk palu Masyumi resmi dilarang, karena ada indikasi lantaran beberapa pimpinan Masyumi seperti Sjarifuddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Muhammad Natsir terjerat skandal ikut serta dalam PRRI.

NU yang mulanya dianggap tak mumpuni untuk bertarung dalam ceruk-ceruk politik, nyatanya di pemilu 1955 dapat menyeruak membuktikan taringnya dan malah menggeser dominasi Masyumi pada waktu itu. Pidato Hasyim Asyari 1947 diijabah. Pidato pertama beliau sebagai Rais Am menyatakan sedemikian; ‘Kekuatan NU itu ibarat meriam benar-benar meriam’ dan beliau langsung menuturkan pembahasan politik strategis yang membuat hadirin terperanjat, tercatat dalam Kaleidoskop Politik, Saifudin Zuhri Jilid I.

Tempo, 25 Agustus 1984 berjudul Cerita Ricuh Berkepanjangan, merekam silang sengkarut Partai Islam di Indonesia. Setiap kelompok mempunyai modus vivendi nya masing-masing, termasuk kelompok-kelompok Islam lainnya. Syahdan, menyatukan kelompok Islam dalam satu wadah riskan berbenturan. Mereka punya labirin politiknya masing-masing.

Masyumi yang dibubarkan karena bersinggungan dengan semangat revolusi, modus pengkondisiannya kembali ditiru pada medio 1968. Melalui berbagai pertemuan, dengan SK Presiden Nomor 70/1968 pada  20 Februari 1968, rezim Orde Baru mendirikan Parmusi. Parmusi dikomandoi oleh Djarnawi Hadikusumo dan Sekjen Lukman Harun.

Keberadaan Parmusi tidak lama, lantaran banyak yang mengklaim didalamnya banyak eks Masyumi dan tidak sejalan dengan apa yang dikehandaki orde baru. Munculah Surat Keputusan Presiden No.77/1970 untuk dapat menyetabilkan hingar-bingar partai Islam. Pada tahun 1973, negara mewajibkan partai-partai Islam seperti NU, MI, PSII dan Perti berfusi dalam satu partai bernama PPP.

Buku gubahan Andre Feillard berjudul NU vis a vis Negara (LKiS, 1995) mencatat sepak terjang NU dalam politik dari tahun 1965-1995. NU beberapa kali mengarungi badai dan hantaman hebat ikut serta aktif dalam politik di negeri ini. Walaupun badai beberapa kali menerpa, akan tetapi akarnya benar-benar menjalar kuat dan susah untuk tercerabut.

Kekuatan NU menghujamkan akarnya sehingga susah untuk tercerabut didasarkan oleh bagaimana landasan moderat dapat membuat adem ayem pengikutnya yang ingin kebudayaannya tetap lestari. Kendati demikian, kenyamanan dan ide brilian yang ditawarkannya mampu memberikan fasilitas amat penting bagi keberjalanan NU dari waktu ke waktu. Tak hanya itu, beberapa kader mudanya juga berperan penting semakin vokalnya NU dalam haribaan politik di Indonesia.

Tokoh-tokoh seperti Kiai Bisri Sansuri, Abdurrahman Wahid, Saifuddin Zuhri, Fahmi Saifuddin, berkeluh kesah atas sikap yang lebih menitikberatkan kepada kekuatan politik. Salah satu aktivis NU bernama Mahbub Djunaidi terperanjat ketika Abdurrahman Wahid mengusulkan NU untuk keluar dari PPP, padahal kontestasi politik di tahun 1982 akan di helat.

Mahbub menuliskan opini berjudul ‘Oleh Sebab itu’ pada (Tempo, 25 Agustus 1982) menjelaskan bagaimana singgungan antara beberapa tokoh Golongan Cipete dan Situbondo yang saling tarik ulur menentukan arah NU kudu berpolitik atau fokus ke medan dakwah.

Syahdan, narasi Golongan Situbondo lah yang akhrinya diterima, lantaran introspeksi diri dari NU yang beberapa kali tereok-seok lantaran NU terombang-ambing oleh ombak-ombak politik yang amat santer sehingga tugas dalam dakwah beberapa kali terkikis.

NU secara lembaga tidak lagi sebagai bagian politik praktis. Namun, setiap kepala yang terhimpun di dalamnya memiliki kebebasan dalam pilihan politik. Bila kita menilik kembali Kapital sosial nya Francis Fukuyama, maka kapital sosial yang terdiri dari kepercayaan, loyalitas dan militansi memang terbesit dengan baik dalam tubuh NU. Hal tersebut jadi bekal baik untuk mendulang suara.

Walakin, perlu diperhatikan juga mengenai partisipasi dan melek politik, jangan sampai, jumlah yang loyal itu malah jadi taklid buta dalam pilihan politik. Perlu, menimbang, merasakan, mengukur dan dipikirkan dengan matang. Sekian.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mga/nu-dalam-gelanggang-politik-b248514p/