Laduni.ID, Jakarta – Sewaktu NU mengadakan Muktamar ke-20 di Medan, Desember 1956, daerah itu sedang bergolak akibat tindakan yang dilakukan oleh Dewan Gajah pimpinan Kol. Simbolon. Di Sumatera Barat, Dewan Banteng pimpinan Kol. Ahmad Husein yang juga melakukan tindakan sama, sehingga Muktamar berlangsung di bawah dentuman meriam dan tekanan bayonet. Untungnya semua hambatan bisa diatasi. Muktamar selesai dengan lancar, meski beberapa peserta termasuk Idham Cholid dan Djamaludin Malik sempat tertahan.
Selesai Muktamar, NU dikejutkan lagi dengan rencana Masyumi untuk menarik para menterinya di kabinet. NU berusaha keras membujuknya agar Masyumi tetap bertahan di kabinet, sebab kalau posisi itu ditinggalkan, maka akan diduduki PKI. Nasehat NU tidak digubris. Masyumi tetap keukeuh menarik diri dari kabinet sehingga mengakibatkan Ali-Rum-Idham bubar.
Mengingat keadaan negara waktu itu sedang genting, maka Presiden Soekarno pada 14 Maret 1957 mengumumkan negara dalam keadaan bahaya (SOB). Padahal saat itu sangat dibutuhkan keamanan mengingat para wakil rakyat di konstituante sedang giatnya menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dengan demikian, kehidupan sosial politik menjadi terganggu. Seluruh peraturan normal tidak berjalan lagi dalam mengatur kehidupan negara.
Tepat tengah malam pada 15 Februari 1958, Kiyai Wahab terkejut bukan main mendengar Masyumi bergabung dengan pemberontak Dewan Banteng dan Dawan Gajah yang memproklamirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tanpa menunggu waktu lama, Rais Aam PBNU itu segera mengutus santrinya untuk memanggil Ketua Umum PBNU KH. Idham Cholid dan yang lainnya untuk melakukan koordinasi.
Ketika mendapat panggilan dari Rais Aam, tanpa berpikir panjang KH. Idham Cholid segera bangun dan bergegas berangkat. Tentu saja istrinya kaget di tengah malam seperti itu Sang Kiyai hendak pergi.
Kiyai Idham hanya bilang pada istrinya, “saya sedang mendapat tugas dari Pangti (Panglima Tertinggi),” demikian Idham biasa menyebut Rais Aam. Sang istri segera mafhum terhadap watak Pangti-NU yang cerdik dan tak kenal lelah itu sehingga membiarkan suaminya pergi.
Ketika sampai di rumahnya, ternyata di sana telah berkumpul beberapa orang. Kiyai Wahab segera menyambut Idham Cholid dan berkata, “Celaka Masyumi melakukan pemberontakan dan membentuk pemerintahan sendiri dengan cara kekerasan dengan memproklamirkan PRRI di Sumatera Barat.”
“Wah ini sudah jelas bughot, tidak bisa dibenarkan, lalu apa yang musti kita lakukan Kiyai?” tanya KH. Idham Cholid.
“Kita harus segera membuat statement (pernyataan/sikap) agar tidak didahului oleh kelompok syuyuiyin (PKI), karena PKI akan memanfaatkan peristiwa ini untuk menggebuk Masyumi dan umat Islam semuanya. Karena itu, kita mengeluarkan pernyataan sikap ini dengan tujuan. Pertama, agar PKI tahu bahwa tidak semua Islam setuju dengan pemberontakan PRRI. Kedua, agar dunia internasional jangan sampai menganggap bahwa pemerintah pusat sudah sepenuhnya dikuasai PKI, sebagaimana dipropagandakan Masyumi dan PSI untuk menggalang dukungan internasional.” Tandas Kiyai Wahab dengan yakin.
“Kapan statement kita keluarkan?” tanya Kiyai Idham.
“Malam ini kita rapat untuk menyusun draftnya, besok pagi sudah harus diumumkan.”Jawab Kiyai Wahab tegas, layaknya seorang Pangti.
Walaupun NU selalu bergandengan tangan dengan Masyumi, tetapi soal pemberontakannya tetap tidak setuju. Bagi NU, Masyumi merupakan mitra penting dalam menghadapi PKI. Karena itu ketika Masyumi dibubarkan tahun 1960, akibat pemberontakan PRRI itu, NU merasa sangat kehilangan mitra perjuangan, sehingga NU berjuang sendiri melawan PKI dalam Kabinet dan Nasakom.
Tetapi sejarawan berbicara lain. NU dituduh ikut mendorong pembubaran Masyumi, kemudian dituduh oportunis karena ikut masuk dalam pemerintahan Bung Karno. Padahal di sana NU tidak hanya bertopang dagu menikmati kekuasaan, melainkan berjuang sendirian menyelamatkan Islam, menyelamatkan negara dan termasuk menyelamatkan Bung Karno dari cengkeraman PKI.
Sumber: Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari tulisan yang terdapat di dalam Buku Fragmen Sejarah NU Menyambung Akar Budaya Nusantara, Pustaka Compass, hlm. 389.
Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 21 Oktober 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________
Penulis: Abdul Mun’im DZ
Editor: Hakim
https://www.laduni.id/post/read/45549/nu-mendayung-antara-masyumi-dan-pki.html