Orhan Pamuk “Mengundang” Masuk

Turki datang dan terbaca sebagai novel. Pada 2008, terbit terjemahan novel berjudul Seniman Kaligrafi Terakhir gubahan Yasmine Ghata. Novel menguak marah dan haru. Para pembaca di Indonesia mengenal Turki, merasa mengerti nasib para tokoh dalam babak-babak sejarah Turki. Pada masa 1920-an, orang-orang di Turki menanggungkan nasib tak tentu akibat perubahan-perubahan besar dengan dalil-dali sulit terbantah.

Sejarah membawa pengertian Timur dan Barat makin diperjelas oleh kebijakan-kebijakan politik berdampak besar untuk menentukan nasib Turki. Di situ, ada nasib kaum kaligrafer terceritakan dalam pemaknaan iman, politik, pengajaran, sejarah, modernitas, dan lain-lain.

Novel itu mengundang pembaca pergi ke Turki dan pelbagai negeri untuk mengerti masalah-masalah ruwet. Turki ingin maju dan besar, mengelak dari jeratan-jeratan silam kadang suram. Kebijakan-kebijakan besar diadakan mengesankan penguatan Turki di tatapan mata negara-negara Eropa. Turki pun bergerak dengan kemunculan para tokoh. Perubahan-perubahan dibuat tapi ada nama-nama tersingkirkan, menghilang, dan terdiamkan lama. Kita jauh dari (sejarah) Turki tapi penerjemahan novel-novel bercerita Turki dan buku-buku biografi cukup memadai untuk terikat dengan Turki.

Kita mengingat gara-gara ada keinginan memberi nama jalan di Indonesia menggunakan nama tokoh sejarah di Turki: Mustafa Kemal Ataturk. Masa demi masa, Turki memiliki hubungan terang dan gelap dengan Indonesia. Sekian abad silam, Turki itu referensi. Pada abad XX, nama-nama dan gerakan-gerakan di Turki “berpengaruh” di Indonesia. Para tokoh pergerakan politik mengenali Mustafa Kemal Ataturk. Nama dari Turki biasa disebut dalam omongan dan tulisan. Pada masa 1950-an, biografi sang tokoh pun terbit dalam bahasa Indonesia, memberi tanda erat keinginan saling mengerti di arus perubahan dunia.

Baca juga:  Menjawab Tafsir Politis di Medsos

Pada masa berbeda, kita dekat dengan Turki setelah membaca novel-novel gubahan Orhan Pamuk dalam terjemahan bahasa Indonesia. Sekian buku berisi memoar dan esai-esai buatan Orhan Pamuk makin “mendekatkan” tapi menimbulkan sangkaan-sangkaan atas sejarah dan masa depan Turki. Di buku berjudul Dilarang Masuk (2021), kita mendapat pengisahan dan penjelasan Turki dalam kritik dan kecewa. Buku terbaca sambil kita geleng-geleng kepala mengikuti keributan pihak-pihak menerima dan menolak usulan penamaan jalan menggunakan tokoh sejarah asal Turki. Di Indonesia, orang-orang menggampangkan ribut menilai peran dan pengaruh Mustafa Kemal Ataturk.

Turki pun terasa dekat-jauh bagi kita dalam situasi tak keruan. “Pada 1980, ada kudeta di Turki, ribuan orang dijebloskan ke penjara dan, seperti biasa, para penulislah paling sengit diburu,” tulis Orhan Pamuk. Kesaksian atas perubahan-perubahan politik di Turki belum rampung-rampung setelah sejarah terang-gelap. Orhan Pamuk mengetahui para penulis Turki ditangkap dan masuk penjara. Para penulis dari pelbagai negara bergerak dan bersuara untuk pembelaan. Orhan Pamuk menjadi pengantar dan menemani para penulis mengajukan isu-isu hak asasi dan demokrasi. Keterlibatan Orhan Pamuk bukan gara-gara mengerti politik tapi kemahiran berbahasa Inggris. Orhan Pamuk mengakui: “Saya selalu kesulitan mengungkapkan penilaian politik dengan kejernihan berempati – saya merasa berpuraa-pura, seolah-olah saya sedang mengucapkan hal-hal yang tidak benar-benar murni.” Ia memilih menempuhi jalan sastra ketimbang politik.

Esai demi esai terbaca, kita terpana dengan kesaksian Orhan Pamuk untuk mengantar kita berjalan di Turki, “mengundang” masuk. Pada suatu hari, Orhan Pamuk berjalan di Beyoglu: menemukan toko buku bekas.

Baca juga:  Kamus: Warisan dan Penantian

Di jalan kecil, ia sedang menuruti peta ingatan dan peta perbukuan. Turki dan Eropa itu buku-buku selain gegeran politik berdatangan dengan onar. Orhan Pamuk mengundang kita di tempat mengesankan: “Yang saya temukan tidak seperti penjual-penjual buku bekas Istanbul lama yang berurusan dengan naskah-naskah berdebu serta barang-barang cetakan lain. Tidak ada menara-menara buku berdebu, tidak ada pegunungan yang menunggu diberi harga. Semua bersih dan ditata dengan apik… Sedih saya memandangi rak-rak itu, tempat buku-buku bersiap seperti serdadu dalam pasukan yang modern dan berdisiplin.”

Kita mengandaikan menjadi sosok kebingungan memiliki masa lalu dan kemungkinan-kemungkinan masa depan ditentukan buku, bukan politik. Orhan Pamuk hidup di keluarga bergelimang buku. Ia mengerti buku-buku lama. Pesona silam terbaca dan terlihat dalam membentuk biografi sejak bocah. Pada situasi berbeda, ia sadar Turki berubah dan perdagangan buku turut dalam gejolak-gejolak untuk mengawetkan kelawasan atau mengunggulkan hal-hal mutakhir. Orhan Pamuk melihat dan merasakan Turki dengan buku-buku. Pengalaman hidup di Turki ditambahi dengan penilaian Eropa. “Yang saya miliki adalah mimpi-mimpi Eropa dan ilusi-ilusi seseorang yang sepanjang hayatnya tinggal di Istanbul,” pengakuan Orhan Pamuk.

Di Istanbul, Orhan Pamuk membaca dan menulis sejarah. Novel-novel digubah dengan mendapat beragam penghargaan internasional membawakan sejarah Turki. Orhan Pamuk bicara dan mendengar sadar risiko-risiko politik. Ia pun bermasalah dengan rezim akibat tuduhan-tuduhan dikaitkan ketekunan bersastra dan bersuara untuk dunia. Babak-babak sejarah tak semua dimengerti tapi Orhan Pamuk berbagi penjelasan: “Ketika dihadapkan pada perlawanan, para pemodern yang makmur dan mendirikan Republik Turki tidak berusaha memahami mengapa kaum miskin tidak mendukung mereka; justru mereka memaksakan kehendak dengan ancaman hukum, pelarangan, dan represi militer. Hasilnya adalah revolusi baru separuh jalan.” Kita di kejauhan, membaca saja meski sulit mengerti.

Baca juga:  Jalan Lurus Sang Filsuf: Membaca Otobiografi Mulyadhi Kartanegara

Kini, kita tak wajib meminta pertimbangan Orhan Pamuk atas usulan penamaan jalan di Jakarta. Keributan milik orang-orang suka ruwet saja, tak perlu mengganggu kenikmatan kita membaca sastra Turki dan sastra dunia mengingatkan sejarah Turki. Kita belum jemu membaca buku-buku Orhan Pamuk. Kita pun memerlukan sekian buku untuk mengenali Turki ketimbang mengumbar omongan gara-gara penamaan jalan.

Di buku berjudul Sejarah Modern Turki susunan Erik J Zurcher, kita membaca Turki masa 1920-an: “Hakikat sebenarnya negar Turki yang baru muncul itu masih belum menentu. Kesultanan Utsmani telah dihapuskan hampir setahunan sebelumnya… Mustafa Kemal mengemukakan bahwa dia bermaksud mengubah situasi yang membingungkan ini dan memproklamasikan republik.”

Kita teringat saja tapi tak ingin berjalan terlalu jauh ke sejarah Turki. Kita justru mendapatkan fragmen-fragmen Turki dengan membaca esai, memoar, dan novel-novel gubahan Orhan Pamuk. Kita masih mengakui buku-buku Orhan Pamuk “mengajak masuk” meski terjemahan buku terbaru berjudul Dilarang Masuk. Kita tetap membaca dan “masuk” tanpa janji mengerti. Begitu.

Judul : Dilarang Masuk
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : An Ismanto
Penerbit : Circa
Cetak : 2021
Tebal : 128 halaman
ISBN : 978 623 7624 48 6

https://alif.id/read/bandung-mawardi/orhan-pamuk-mengundang-masuk-b240681p/