Laduni.ID, Jakarta – Pada bab kemarin kita sudah membahas kritik Ar-razi kepada Ibnu Sina, sekarang kritik dan pandangan Imam Al-Ghazali tentang illat wal ma’lul kepada Falasifah.
Al-Ghazali sampai pada penilaian kafir bagi mereka yang meyakini tiga masalah; kadimnya alam, pengetahuan Tuhan tentang yang parsial (juz’i), dan kebangkitan jasmani. Ia menyatakan bid’ah bagi yang mempercayai tujuh belas masalah lain, termasuk di dalamnya hukum kausalitas. Kritik ini ditujukan kepada dua filosof muslim sebelumnya, Al-farabi dan Ibn Sina, yang dalam penilaiannya, sudah terlalu jauh mencampurkan ajaran-ajaran agama dengan pandangan filsafat, yakni filsafat Yunani – Sebut saja Aristoteles. Di dalam salah satu karya monumentalnya, tahafut al-falasifah, Al-Ghazali menempatkan hukum kausalitas pada urutan ke-17 dari 20 butir pandangan filsafat yang dikomentarinya.
Ia mengatakan bahwa keterkaitan sesuatu yang diyakini sebagai “akibat” dari kebiasaan (al-‘adah) tidaklah bersifat “pasti” (dharuri).Tidak ada kepastian pada salah satunya, baik pada apa yang disebut “sebab” atau pun “akibat”. Tidak ada sesuatu penegasian untuk menegasikan yang lain yang dapat dikatakan “pasti”. Umpamanya, hubungan antara hilangnya rasa haus dengan minum, kenyang dan makan, proses terjadinya kebakaran dan bertemunya api dengan benda yang dapat menerima proses pembakaran; cahaya dan terbitnya matahari, mati dan terputusnya urat nadi pada leher; sembuh dan tindakan minum obat dan seterusnya, semua terjadi sebagai akibat dari takdir Tuhan dan sama sekali bukan terjadi dengan sendirinya.
Jelasnya, hubungan masing-masing dari dua fenomena di atas yang terjadi secara beriringan bukanlah disebabkan oleh atau pada dirinya sendiri. Karena itu, tidak pula dapat dikatakan bahwa fakta yang terjadi sebagai suatu keharusan (dharuri), sebab Tuhan mampu menciptakan rasa kenyang tanpa makan, menciptakan kematian tanpa terputusnya leher dari badan dan seterusnya. Pandangan tadi jelas tidak sejalan dengan pandangan para filosof muslim sebelumnya. Bahkan, yang dianggap mungkin saja terjadi dalam pandangan al-Ghazali, menurut mereka (para filosof) adalah mustahil terjadi. Singkatnya, tidak ada kemungkinan untuk terjadi.
Yang disangkal Al-Ghazali di sini adalah anggapan bahwa sifat-sifat khusus pada alam (thabi’ah) berfungsi dengan sendirinya tanpa ada kaitan dengan Tuhan. Hubungan keterkaitan inilah yang diputus para filosof muslim. Karena al-Ghazali memandang bahwa sifat khusus pada alam tidak dapat terlepas dari qudrah-Nya, maka bagaimana mungkin, api misalnya, sebagai benda mati, dapat membakar sebuah benda yang berada di dekatnya, dengan kehendak api itu sendiri. Ini tidaklah mungkin terjadi.
Sekarang marilah kita telaah lebih jauh, sebagai contoh api dengan kapas. Bagi para filosof, pelaku (al-fa’il) pembakaran itu hanyalah api. Api menjadi pelaku karena wataknya dan bukan karena ikhtiarnya. Inilah yang disangkal Al-Ghazali dengan dalil bahwa Tuhanlah yang menciptakan hitam pada kapas, mengubah struktur bagian-bagiannya berikut transformasinya ke dalam tumpukan nyala api atau debu, baik melalui perantara malaikat-malaikat atau tanpa perantara.
Api adalah benda mati (al-jamad), ia tidak dapat menciptakan perbuatan. Tampaknya, Al-Ghazali, dalam konteks ini bermaksud untuk mempertahankan hubungan alam yang imanen di satu sisi dengan Tuhan yang transenden pada sisi yang lain. Dengan demikian sifat Tuhan sebagai pencipta akan selalu tampak dan proses penciptaan terus brlanjut tanpa henti.
Pada dasarnya ia tidak mengingkari prinsip kausalitas secara total. Ia tetap mengakui adanya keterkaitan sebab dan akibat pada benda-benda yang ada di alam. Ketetapan ini disebut sunatullah. Namun, semuanya terjadi bukanlah secara itu. Ia menyatakan bahwa para filosof tidak mempercayai hal ini karena mereka tidak menyaksikannya. Begitu pula, lanjut Al-Ghazali, dengan dihidupkannya orang yang telah mati, berubahnya tongkat menjadi ular, dapat terjadi dengan cara ini karena materi sesungguhnya dapat menerima berbagai macam perubahan.
Tanah dan segala unsur dapat berubah menjadi tumbuhan. Kemudian, setelah tumbuh-tumbuhan dimakan manusia atau binatang berubah menjadi sel-sel darah, darah berubah menjadi sperma. Sperma kemudian dimasukkan ke dalam rahim, maka jadilah binatang-binatang. Hal ini terjadi dalam hukum yang biasa dan dalam rentang waktu yang panjang.
Mengapa para filosof menolak kekuasaan Allah SWT untuk memutar materi melalui fase ini, dalam waktu yang lebih pendek dari yang biasa terjadi. Bila dalam waktu yang lebih pendek dibolehkan, maka tidak ada hambatan untuk lebih pendek lagi, dan bahkan sampai pada periode tertentu sangat singkat yang di dalam pengamatan inderawi seakan-akan perubahan terjadi secara seketika dan spontan.
Hal demikian menimbulkan sesuatu yang disebut mukjizat bagi seorang nabi. Sesuatu pada dirinya sendiri adalah ‘mungkin’. Tetapi segala kemungkinan itu tidak begitu saja terjadi. ‘Kemungkan’ itu dapat terjadi saat diperlukan seorang nabi untuk memperkuat keberadaannya dan menambah kebaikan. Kekhususan pada diri nabi tidak menutup kemungkianannya secara akal. Karenanya, mengapa harus didustakan ketika suatu berita dinukilkan secara mutawatir dan dibenarkan syara’.
Dalam sebuah artikelnya berjudul Tahafut Al-Falsifah Li Al-Ghazali, Fuad al Ahwani mengatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak membantah sanggahan para folosof. Al-Ghazali mengakui bahwa benda-benda alami mempunyai keadaan atau sifat-sifat yang menjadi pembeda satu dengan yang lain. Akan tetapi itu semua dari segi ‘kemungkinan’ bukan ‘kemestian’, karena Allah yang menjadikannya dalam wujud demikian, dan Allah berkuasa mengubah sifat-sifat benda-benda itu, jika Ia menghendaki.
Keberlanjutan (istimrar) atau kebiasaan (al-‘adah) yang terjadi pada benda-benda akan mengakar dalam akal pikiran kita. Ini berarti kelaziman eksternal antar fenomena alami terpantul dalam pikiran melalui kebiasaan, sehingga timbul kepercayaan bahwa fenomena awal adalah ‘sebab’ bagi kejadian berikutnya.
Di dalam maqashid al-falasifah, Al-Ghazali menggunakan istilah illah dan ma’lul sebagai istilah untuk kausalitas atau sebab-akibat. Setiap sesuatu yang mempunyai wujud pada dirinya sendiri yang bukan berasal dari wujud sesuatu yang lain adalah ma’lum. Sedangkan bila ma’lum tidak terwujud, kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu itu disebut ‘illat bagi ma’lum.
Al-Ghazali membagi ‘illah kepada dua bagian, Illah yang berasal dari ma’lul, dan inilah semua berasal dari luar yang semuanya tidak menjadi faktor dominan karena dianggap tidak aktif. Sedangkan yang dimaksud dengam ‘illah yang aktif (al-‘llah al-faa’ilah) adalah ‘illah atau sebab yang berlaku secara alami seperti api membakar dan matahari yang memantulkan cahaya bereaksi secara alami. Demikian pandangan berikut argumen dan penjelasan Al-Ghazali mengenai hukum kausalitas.
Oleh: Gus Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc
Editor: Daniel Simatupang