Panduan Bilal Dan Khotib Shalat Jum’at

Dalam melakukan ibadah
tentunya tidak akan terlepas dari syarat, rukun, sunnah dan perkara yang
membatalkannya. Tidak terkecuali dalam hal ini adalah Shalat Jum’at, maka
sebelum melakukan kegiatan shalat jum’at  yang perlu diperhatikan adalah syarat, rukun
khutbah dan khotib dengan ulasan sebagai berikut :

 


Syarat Menjadi Khotib :

1.     Suci dari dua hadats dan najis yang
tidak dima’fu (diampuni)

2.     Menutup auratnya dalam dua khutbah

3.     Khutbah dengan berdiri bila mampu dan
duduk diantara dua khutbah sekedar ukuran thuma’ninah, bila ia khutbah denga
duduk karena danya udzur maka pisahkan khubah dengan diam seukuran melebihi
dari diamnya orang mengambil nafas begitu juga pisahkan dengan diam bila ia
mampu berdiri saat khutbah tapi tidak mampu duduk diantara kedua khutbahnya

4.     Mengeraskan khutbahnya sekira dapat
didengarkan oleh jamaah jumah 40 orang yang dapat menjadikan terhitungnya
keabsahan jumat

5.     Laki-laki

6.     Sah menjadi imam shalat bagi suatu kaum

7.     Meyakini rukun dalam khutbah menjadi
rukun dan sunahnya menjadi sunnah bila ia memiliki pengetahuan bila tidak
asalakan tidak meyakini wajibnya khutbah menjadi sunnah. [ Al-Fiqh alaa
Madzaahib al-Arba’ah I/610 ].

 

Syarat Khutbah Jumat :

1.     Khatib harus laki-laki.

2.     Khutbah harus diperdengarkan dan
didengar oleh jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat.

3.     Khutbah dibaca di kawasan bangunan rumah
penduduk desa.

4.     Khatib harus suci dari dua hadats.

5.     Khatib harus suci dari najis.

6.     Khatib harus menutup aurat.

7.     Khutbah harus dilakukan
dengan berdiri.

8.     Disertai duduk di antara dua khutbah.

9.     Terus-menerus di antara rukun-rukun
khutbah.

10.                       
Terus
menerus antara khutbah dan shalat Jumat

11.                       
Khutbah
harus berbahasa Arab

12.                       
Khutbah
dilakukan di waktu zhuhur.

 

Rukun Khutbah Jumat:

1.     Membaca hamdalah di khutbah pertama dan
dua.

2.     Membacaa shalawat pada khutbah pertama
dan kedua.

3.     Wasiat takwa, di khutbah pertama dan
dua,

4.     Baca ayat alqur’an disalah satu dari
khutbah awal / yang kedua.

5.     Doa untuk orang-orang mukmin di khutbah
yang kedua.

 

 

Panduan Muraqi / Bilal Jum’at

*  Bilal adzan pertama disuarakan dengan nada panjang :

اللهُ
اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ 2
x ,  أَشْهَدُ
اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ  2
x
, أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ  2x
, حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ 2x
, حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ 
2
x
,اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ , لآ
اِلهَ اِلاَّ اللهُ

*  Setelah adzan selesai, para jamaah melakukan shalat sunnah
qobliyah Jum’at. Dan ketika jamaah sudah selesai shalat qobliyah Jum’at.

*  Bilal maju mengambil tongkat kemudian menghadap ke jama’ah dan
dilanjutkan membaca :

يَا
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ ، رُوِيَ
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، اَنَّهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ اَنْصِتْ وَالْاِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ ، وَمَنْ لَغَا فَلَا
جُمْعَةَ لَهُ ، اَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ ×2,
اَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا
وَأَطِيْعُوْا
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

*  Khotib maju untuk menerima tongkat, kemudian berhenti dengan
posisi menghadap ke arah qiblat.

*  Kemudian bilal membaca do’a :

اَللّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ . اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ . اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ

*  Dan setelah membaca sholawa nabi, dilanjutkan dengan membaca do’a,
pada waktu itu para jamaah mengangkat kedua tangan dalam posisi berdo’a  :

اَللّهُمَّ
قَوِّ اْلإِسْلاَمَ , لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ , وَالْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ , اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ وَانْصُرْهُمْ عَلَى
مُعَانِدِي الدِّيْنِ (وَيَسِّرْهُمْ عَلَى إِقَامَةِ الدِّيْنِ)، رَبِّ اخْتِمْ
لَنَا مِنْكَ بِالْخَيْرِ، وَ يَاخَيْرَ النَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ , وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
.

*  Kemudian Khotib memberi salam kepada jamaah dilanjutkan dengan
duduk.

*  Selanjutnya, Bilal mengumandangkan adzan kedua, adzan kedua ini
nadanya tidak sepanjang adzan pertama.

اللهُ
اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ 2
x ,  أَشْهَدُ
اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ  2
x
, أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ  2x
, حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ 2x
, حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ 
2
x
,اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ , لآ
اِلهَ اِلاَّ اللهُ

*  Setelah adzan, khotib berdiri untuk berkhutbah. Saat khotib berkhutbah,
para jamaah diharapkan tenang dan diam serta mendengarkan Khutbah. Dan pada waktu Khotib
duduk antara dua khutbah, petugas bilal membaca sholawat, shalawat yang umum
digunakan adalah seperti ini :

اَللّهُمَّ صَلِّ
وَسَلِّمْ ، وَزِدْ وَاَنْعِمْ وَتَفَضَّلْ وَبَارِكْ ، بِجَلَالِكَ وَكَمَالِكَ
عَلى زَيْنِ عِبَادِكَ ، وَاَشْرَفِ عِبَادِكَ ،  سَيِّدِاْلعَرَبِ
وَاْلعَجَمِ ، وَاِمَامِ طَيْبَةَ وَاْلحَرَمِ ، سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا
مَحَمَّدٍ وَّعَلى آلِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالى
عَنْ كُلِّ صَحَا بَةِ رَسُوْلِ اللهِ اَجْمَعِيْنَ

Atau dengan model bacaan
shalawat yang lainnya juga diperbolehkan.

*  Pada waktu khotib duduk diantara dua khutbah adalah waktu
yang mustajab, karena itu, para jamaah dianjurkan untuk berdoa.

*  Kemudian khotib berdiri lagi untuk khutbah kedua.

*  Setelah khotib selesai berkhutbah, petugas bilal langsung berdiri
lagi untuk iqomah tanpa ada jeda :

اَللهُ
اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
, أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ
إِلاَّاللهُ
, اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, حَيَّ
عَلَى الصَّلاَةِ
, حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ, قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
, اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَر, لاَ
إِلَهَ إِلاَّالله

 

*  Kemudian, para jamaah berdiri dan melakukan shalat fardhu jum’at
bersama imam yang sebelumnya menjadi khatib.

 



Contoh Khutbah Jum’at

Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي
هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ
أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ
أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ
وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ
إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ
بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ
اْلكَرِيمْ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ
تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

. صَدَقَ
اللهُ العَظِيمْ

*    Jamaah shalat
Jumat hafidhakumullâh,  

Alhamdulillah,
pada bulan ini kita masih berada bulan Rabi’ul Awal 1442 H. Dalam bahasa Jawa
biasa kita sebut dengan bulan Maulud atau bulan Maulid. Sebutan ini selaras
dengan makna harfiahnya, momen kelahiran, persisnya kelahiran Baginda Nabi
Muhammad
. Kelahiran Nabi
Muhammad
merupakan
kenikmatan yang amat besar dari Allah
bagi seluruh alam. Penting bagi kita sebagai umat Islam untuk bersyukur
atas kelahiran Nabi dan mengekspresikan kegembiraan dan kebahagiaan ketika
memperingati Maulid Nabi.  

Ibnu Hajar
sebagaimana dikutip oleh Imam Jalaludin As Suyuti dalam kitab al-Hawi lil
Fatawi, juz 1 halaman 230 menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad
merupakan ritual untuk mensyukuri nikmat Allah . Karena itu, dalam kesempatan yang mulia ini khatib ingin
menyampaikan bagaimana hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad
? bagaimana cara merayakan Maulid Nabi Muhammad ? dan bagaimana esensi perayaan Maulid Nabi Muhammad ?   

*    Jamaah shalat
Jumat hafidhakumullâh,  

Menurut
Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitab Mafahim Yajib an Tushahhah
halaman 316, peringatan maulid Nabi Muhammad
merupakan bentuk tradisi yang baik di masyarakat, bukan
termasuk bagian dari masalah ibadah yang dipersoalkan keabsahannya. Sekali
lagi, acara peringatan Maulid Nabi adalah tradisi dan adat kebiasaan yang baik.
Dikategorikan tradisi yang baik, karena substansi peringatan Maulid Nabi
Muhammad
memiliki banyak
manfaat dan kebaikan bagi masyarakat, seperti meneladani prilaku Nabi,
pembacaan ayat-ayat Al Qur’an, dzikir, tahlil, kalimat thayyibah dan pembacaan
sejarah serta perjuangan Nabi Muhammad
. Hal tersebut juga berlaku untuk tradisi keagamaan selainnya,
seperti peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Nuzulul Qur’an, Peringatan Tahun
Baru Muharram, dan lain sebagainya. 

Syekh Abdul
Karim Zidan dalam kitabnya al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi halaman 253 menjelaskan
bahwa tradisi yang syar’i adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan nash
agama, tradisi yang membawa maslahat syar’i, dan tradisi yang tidak menimbulkan
mudarat bagi masyarakat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peringatan Maulid
Nabi Muhammad

adalah tradisi yang baik, karena substansinya dilegitimasi oleh syariat
agama.    

*    Jamaah shalat
Jumat hafidhakumullâh,  

Selanjutnya,
bagaimana cara kita memperingati maulid Nabi Muhammad
? Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitab Mafahim Yajib
an Tushahhah halaman 317 menjelaskan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad
  merupakan kegiatan yang
efektif untuk berdakwah di jalan Allah
. Menjadi sarana yang tepat untuk mengingatkan umat tentang
kehidupan dan keteladanan Nabi Muhammad
. Seperti meniru akhlak, perilaku, adab, sejarah perjuangan,
bisnis, politik, strategi kepemimpinan dan cara ibadah Nabi Muhammad
. Peringatan Maulid Nabi juga menjadi momen yang tepat untuk
memberikan nasihat yang baik bagi umat dan menunjukkan mereka menuju jalan kebaikan
dan kebahagiaan. Mencegah umat dari musibah, kejelekan, hoaks, dan fitnah.

Sementara
itu, Imam Jalaludin As Suyuti dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, juz 1 halaman 230
menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi sebaiknya diisi dengan kegiatan yang
menandakan syukur kita kepada Allah
atas kelahiran Nabi Muhammad . Seperti pembacaan Al-Qur’an, sedekah terhadap fakir miskin,
membahagiakan keluarga dengan syukuran, pembacaan sejarah perjuangan, perilaku,
keteladanan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad
. Seperti dengan membaca kitab Maulid Al Barzanji, Maulid Ad
Diba’I, kitab Burdah dan lain sebagainya. Tujuannya adalah agar kita dapat
meniru akhlak dan perilaku Nabi, sehingga hati dan pikiran kita tergerak untuk
melakukan kebaikan dan berorientasi pada akhirat.

*    Jamaah shalat
Jumat hafidhakumullâh,

Bagaimana
Esensi perayaan Maulid Nabi Muhammad
? Ada hal penting bagi kita dalam merayakan maulid Nabi Muhammad
, yaitu ungkapan
rasa syukur kita atas rahmat Allah
yang agung bagi seluruh alam semesta. Yaitu kelahiran Nabi
Muhammad
.

Kelahiran
Nabi Muhammad merupakan rahmat yang agung untuk alam semesta ini. Imam Hakim
meriwayatkan hadis dalam kitab Mustadrak Shahihain, Juz 1 halaman 91. Nabi
bersabda:

   يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا
أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
  

“Wahai
manusia, tiada lain aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah untuk kalian).”  

*    Jamaah shalat
Jumat hafidhakumullâh,  

Oleh karena
itu dalam kesempatan yang berbahagia ini, yaitu di bulan kelahiran Nabi
Muhammad
, mari kita
menjadikan Rasulullah Nabi Muhammad
sebagai teladan dan contoh dalam beragama. siapa pun kita, baik
sebagai pejabat maupun rakyat, baik sebagai orang kaya maupun kaum papa, baik
sebagai pemimpin maupun yang dipimpin, baik sebagai politisi maupun pemilik
aspirasi, mari kita meneladani perilaku Nabi Muhammad
yang penuh dengan adab dan kesopanan, akhlak beliau yang mulia,
sifat beliau yang pemaaf, perkataan beliau yang lemah lembut dan jauh dari
sikap kasar, dan selalu membimbing umat menuju kebaikan dan kemaslahatan.

Semoga kita
semua benar-benar dapat menjalankan ajaran beliau sehingga kita benar-benar
diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafaatnya baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Allahumma aamiin.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين
الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ: أعُوذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا    باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ
رَحِيْمٌ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ
وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ
اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا. اَمَّا بَعْدُ
فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى,
وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ
ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ
النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ وَعَلَى
آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ
 وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
اَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ
وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا
مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ,
اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ
وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِينَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ
خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَدَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ
وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ مِنْ بَلَدِنَا
اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً ومِنْ َسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً  يَارَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا
اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ
وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالمِيْنَ .

عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا
بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ
يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ . اَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ

 

Jika
menghendaki Download materi ini bisa di klik link download di bawah ini
:

 DOWNLAOD MATRI KLIK DI SINI

 



الشافعية
قالوا
أن
يكون
الخطيب
متطهرا
من
الحدثين
ومن
نجاسة
غير
معفو
عنها
أن
يكون
مستور
العورة
في
الخطبتين
:
أن
يخطب
واقفا
إن
قدر
فإن
عجز
صحت
الخطبة
من
جلوس
أن
يجلس
بين
الخطبتين
بقدر
الطمأنينة
فلو
خطب
قاعدا
لعذر
سكت
بينهما
وجوبا
بما
يزيد
عن
سكتة
التنفس
وكذا
يسكت
بينهما
إن
خطب
قائما
وعجز
عن
الجلوس
أن
يجهر
بحيث
يمكنه
أن
يسمع
الأربعين
الذين
تنعقد
بهم
الجمعة
أركان
الخطبتين
أن
يكون
الأربعون
سامعين
ولو
بالقوة
أن
تقعا
في
مكان
تصح
فيه
الجمعة
أن
يكون
الخطيب
ذكرا
أن
تصح
إمامته
بالقوم
أن
يعتقد
الركن
ركنا
والسنة
سنة
إن
كان
من
أهل
العلم
وإلا
وجب
أن
لا
يعتقد
الفرض
سنة
وإن
جاز
عكس
ذلك

(فصل)
شروط
الخطبتين
عشرة
:
الطهارة
عن
الحدثين
الأصغر
والأكبر
والطهارة
عن
النجاسة
في
الثوب
والبدن
والمكان
وستر
العورة
والقيام
على
القادر
والجلوس
بينهما
فوق
طمأنينة
الصلاة
والموالاة
بينهما
وبين
الصلاة
وأن
تكون
بالعربية
وأن
يسمعها
أربعون
وأن
تكون
كلها
في
وقت
الظهر

Yang
dimaksud dengan syarat berbahas Arab di sini adalah hanya rukun-rukun khutbah
saja, meliputi bacaan hamdalah, shalawat, pesan bertakwa, bacaan ayat suci
al-Quran dan bacaan doa untuk kaum muslimin muslimat. Sedangkan untuk
selainnya, diperbolehkan menggunakan bahasa non Arab, seperti yang terlaku di
Negara kita, penjelasan isi khutbah biasanya menggunakan bahasa Indonesia. Hal
tersebut diperbolehkan dan tidak termasuk memutus kewajiban muwalah (terus
menerus) di antara rukun-rukun khutbah.

(فصل)أركان
الخطبتين
خمسة:
حمد
الله
فيهما
والصلاة
على
النبي
صلى
الله
علية
وسلم
فيهما
والوصية
بالتقوى
فيهما
وقراءة
آية
من
القرآن
في
أحداهما
والدعاء
للمؤمنين
والمؤمنات
في
الأخيرة
.
اهـ سفينة

Dalil
yang menyatakan dianjurkannya shalat sunnah qabliyah Jum’at adalah Hadist
Rasulullah SAW

 مَا
صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانٍ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِاللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ “مَا مِنْ
صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ

“Semua
shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat”.
(HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shahih dari hadist Abdullah bin Zubair).
Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa
terkecuali shalat Jum’at. Hadist Rasulullah SAW

 وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الغَطَفَانِيُّ وَرَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى الله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيْءَ؟ قاَلَ لاَ. قَالَ
فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا. سنن ابن ماجه

“Diriwayatkan
dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan
Rasulullah saw sedang berkhutbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah
shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda:
Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat
panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104). Berdasar dalil-dalin tersebut, Imam
al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab:

 فَرْعٌ
فِيْ سُنَّةِ الجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا. تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ
وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا. وَالأَكْمَلُ أَرْبَعٌ
قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا
(المجموع على شرح
المهذب)

“(Cabang).
Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya. Disunnahkan
shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at
sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat
sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)

Di
sunnahkan bagi khotib memegang pada semisal tongkat atau pedang atau gendewa
dengan tangan kirinya karena mengikuti cara berkhutbah nabi saw, Adapun
hikmahnya adalah sesungguhnya agama ini telah tegak dengan bantuan senjata,
sedangkan tangan kanannya hendaknya ditempatkan berada  pada sisi mimbar jika pada mimbar tersebut
tidak terdapat najis seperti gading atau kotoran burung.  Jika khotib tidak mendapatkan sesuatu dari
persyaratan diatas, maka dia hendaknya menempatkan posisi tangan kanannya
diatas tangan kirinya di bawah dadanya.

(وأن يعتمد)
الخطيب
(على
نحو
عصا)
أو
سيف
أو
قوس
(بيساره)
للاتباع،
وحكمته
أن
هذا
الدين
قام
بالسلاح،
(و)
تكون
(يمناه)
مشغولة
(بالمنبر)
إن
لم
يكن
فيه
نجاسة
كعاج
أو
ذرق
طير،
فإن
لم
يجد
شيئاً
من
ذلك
جعل
اليمنى
على
اليسرى
تحت
صدره
. اهـ  المنهاج القويم
شرح
المقدمة
الحضرمية,  رقم الجزء 1
 رقم الصفحة  241 

قَالَ
الشَّافِعِيُّ
رَحِمَكُمُ
اللهُ
وَبَلَغْنَا
اَنَّ
رَسُوْلَ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
كَانَ
اِذَا
خَطَبَ
اِعْتَمَدَ
عَلَى
عَصًا
وَقَدْ
قِيْلَ
خَطَبَ
مُتَعَمِّدًا
عَلَى
عَنَـزَةٍ
وَعَلَى
قَوْسٍ
وَكُلُّ
ذَلِكَ
اِعْتِمَادٌ
اَخْبَرْنَا
الرَّبِيْعُ
قَالَ
اَخْبَرْنَا
الشَّافِعِيُّ
قَالَ
اَخْبَرْنَا
اِبْرَاهِيْمُ
عَنْ
لَيْثٍ
عَنْ
عَطَاءٍ
اَنَّ
رَسُوْلَ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
كِانِ
اَذَا
خَطَبَ
يَعْتَمِدُ
عَلَى
عَنَـزَتِهِ
اِعْتِمَادًا
(
الأم
ج
1 ص
 272

عَنْ
شُعَيْبِ
بْنِ
زُرَيْقٍ
الطَائِفِيِّ
قَالَ
شَهِدْناَ
فِيْهَا
الجُمْعَةَ
مَعَ
رَسُوْلِ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فَقَامَ
مُتَوَكِّئًا
عَلَى
عَصَا
أَوْقَوْسٍ

Dari Syu’aib bin Zuraidj at-Tha’ifi ia berkata ”Kami menghadiri shalat jum’at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW.
Maka  Beliau berdiri berpegangan pada
sebuah tongkat atau busur”. (Sunan Abi Dawud hal. 824).

وَفِى
الْحَدِيْثِ
دَلِيْلٌ
عَلَى
اَنَّهُ
يُنْدَبُ
لِلْخَطِيْبِ
اْلاِعْتِمَادُ
عَلَى
سَيْفٍ
اَوْنَحْوِهِ
وَقْتَ
خُطْبَتِهِ
( سبل
السلام,ج2
ص59
)

Imam As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa
hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atan
semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal
59)

Apabila
muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama’ ah dengan
wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya
memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya
memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak
begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain”. (Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz I, hal 180).

فَإِذَا فَرَغَ المُؤَذِّّنُ قَامَ مُقْبِلاً عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ لاَ يَلْتَفِتُ يَمِيْنًا وَلاَشِمَالاً وَيُشْغِلُ يَدَيْهِ بِقَائِمِ السَّيْفِ أَوْ العُنْزَةِ وَالمِنْبَرِ كَيْ لاَ يَعْبَثَ بِهِمَا أَوْ يَضَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الآخَرِ

Hukum
mengedarkan kotak amal makruh, karena dapat mengganggu konsentrasi mendengarkan
khutbah

قَوْلُهُ وَيُكْرَهُ الْمَشْيُ بَيْنَ الصُّفُوفِ لِلسُّؤَالِ وَدَوْرَانِ الْإِبْرِيقِ وَالْقِرَبِ لِسَقْيِ الْمَاءِ وَتَفْرِقَةِ الأَوْرَاقِ وَالتَّصَدُّقِ عَلَيْهِمْ لأَنَّهُ يُلْهِي النَّاسَ عَنْ الذِّكْرِ وَاسْتِمَاعِ الْخُطْبَةِ اهـ
حاشية
الجمل الجزء 2 صحـ : 36 مكتبة دار الفكر

Kalangan
syafi’iyyah berpendapat : Boleh berbicara sebelum dimulainya khutbah, setelah
khutbah dan sebelum shalat, sedang berbicara di tengah-tengah khutbah
berlangsung terjadi perbedaan pendapat di kalangan Syafi’iyyah, menurut
pendapat yang zhahir juga tidak haram seperti keterangan dalam kitab
‘alMuhadzdzab’. Hal ini bila pembicaraan di atas tidak berhubungan dengan
hal-hal penting, namun bila berhubungan dengan hal penting seperti mengingatkan
orang buta yang hendak jatuh dalam sumur, ulama sepakat tidak haram begitu juga
saat isi pembicaraan berhubungan dengan memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran maka juga tidak haram seperti yang telah ditentukan oleh Imam
Syafi’I dan disepakati para pengikutnya.

وَقَال
الشَّافِعِيَّةُ
:
يَجُوزُ
الْكَلاَمُ
قَبْل
الشُّرُوعِ
فِي
الْخُطْبَةِ
وَبَعْدَ
الْفَرَاغِ
مِنْهَا
وَقَبْل
الصَّلاَةِ
،
وَفِيمَا
بَيْنَ
الْخُطْبَتَيْنِ
خِلاَفٌ
،
وَالظَّاهِرُ
أَنَّهُ
لاَ
يَحْرُمُ
وَجَزَمَ
بِهِ
فِي
الْمُهَذَّبِ
،
هَذَا
فِي
الْكَلاَمِ
الَّذِي
لاَ
يَتَعَلَّقُ
بِهِ
غَرَضٌ
مُهِمٌّ
،
فَأَمَّا
إِذَا
رَأَى
أَعْمَى
يَقَعُ
فِي
بِئْرٍ
أَوْ
عَقْرَبًا
تَدِبُّ
عَلَى
إِنْسَانٍ
فَأَنْذَرَهُ
فَلاَ
يَحْرُمُ
بِلاَ
خِلاَفٍ
،
وَكَذَا
لَوْ
أَمَرَ
بِمَعْرُوفٍ
أَوْ
نَهَى
عَنْ
مُنْكَرٍ
فَإِنَّهُ
لاَ
يَحْرُمُ
قَطْعًا
وَقَدْ
نَصَّ
عَلَى
ذَلِكَ
الشَّافِعِيُّ
وَاتَّفَقَ
عَلَيْهِ
الأَْصْحَابُ
(الفقه الاسلامي وادلته ج   2 ص 452 )

و
حاصل
ما
يقال
في
هذا
المقام
أنه
يسن
للسامع
ترك
الكلام
و
الذكر
مع
الإصغاء
لما
لا
يجب
سماعه
و
هو
غير
الأركان
لأربعين
بخلاف
الأركان
لأربعين
فيجب
سماعه
و
يحرم
على
أحدهم
كلام
فوت
سماع
ركن
لتسببه
في
إبطال
الجمعة
عند
ابن
حجر
و
أما
الرملي
فلا
يشترط
عنده
السماع
بالفعل. و يندب
الكلام
حال
الخطبة
إذا
دعت
إليه
حاجة
كتنبيه
من
خاف
وقوع
محذور
به
لو
لم
ينبهه
و
تعليم
غيره
خيرا
ناجزا
أو
نهيه
عن
منكر
بل
قد
يجب
ما
ذكر
و
يقتصر
على
أقل
ما
يكفي
بل
لو
كفت
الإشارة
ندب
الإقتصار
عليها
كما
في
بشرى
الكريم.
فتح
العلام ج
٣
ص
٦٠

Khothib
disunnahkan baca suroh al-ikhlas, Sedangkan bagi hadirin disunahkan untuk
berdo’a . Dalam kitab Al Fawaakih Al Diiwaaniy 3/190 begitu juga dalam kitab Al
Kurdiy,  dijelaskan bahwa di saat khothib
duduk di antara dua khuthbah muroqinya dianjurkan membaca shalawat.

وشرط
جلوس
بينهما
بطمأنينة
فيه
وسن
أن
يكون
بقدر
سورة
الإخلاص
وأن
يقرأها
فيه.إعانة
الطالبين
٢/٧٠

وقال
في
الفتاوى
قال
القاضي
والدعاء
في
هذه
الجلسة
مستجاب
وعليه
يستحب
للحاضرين
الإشتغال
به.
بغية
المسترشدين
ص
:
٨٢

Dalam
hal ini ulama’ Syafi’iyyah membatasi dengan sekira waktu yang bisa digunkan
untuk melakukan shalat  dua
rakaat.

سادسها : أن لا يفصل الخطيب بين الخطبة والصلاة بفاصل طويل وقد اختلفت في تحديد المذاهب فانظره تحت الخط ( الشافعية قالوا : يشترط الموالاة بين الخطبتين أي بين أركانهما : وبينهما وبين الصلاة وحد الموالاة أن لا يكون الفصل بقدر ركعتين بأخف ممكن فإذا زاد عن ذلكك بطلت الخطبة ما لم تكن الزيادة عظة
المالكية
قالوا : يشترط وصل الخطبتين بالصلاة كما يشترط وصلهما ببعضهما ويغتفر الفصل اليسير عرفا الحنفية قالوا : يشترط أن لا يفصل الخطيب بين الخطبتين والصلاة بفاصل أجنبي كالأكل ونحوه أما الفاصل غير الأجنبي كقضاء فائتة وافتتاح تطوع بينهما فإنه لا يبطل الخطبة وإن كان الأولى إعادتها وكذا لو أقسد الجمعة ثم أعادها فإن الخطبة لا تبطل : الحنابلة قالوا : يشترط لصحة الخطبتين الموالاة بين أجزائهما . وبينهما وبين الصلاة والمولاة هي أن لا يفصل بينهما بفاصل طويل عرفا اهـ
الفقه
على المذاهب الأربعة

Menurut
Syekh Muhammad Shâlih bin Ibrâhîm, “khothib tidak menjadi imam dalam shalat
jum’at tidak mempengaruhi keabsahan shalat, hanya saja hukumnya makruh”.

(اَلسُّؤَالُ) هَلْ
يُشْتَرَطُ
أَنْ
يَكُوْنَ
خَطِيْبُ
الْجُمُعَةِ
هُوَ
اَلَّذِيْ
يَؤُمُّ
اَلنَّاسَ
فِى
صَلاَتِهَا
أَمْ
يَجُوْزُ
أَنْ
يُؤُمُّهُمْ
غَيْرُهُ
(اَلْجَوَابُ)
لاَ
مَانِعَ
أَنْ
يَكُوْنَ
اَلْخَطِيْبُ
غَيْرَ
اْلإِمَامِ
حَيْثُ
لاَ
يُوْجَدُ
نَصٌّ
يَمْنَعُ
ذَلِكَ
وَلاَ
يَجُوْزُ
عِنْدَ
اْلمَالِكِيَّةِ
كَمَا
فِى
كِتَابِ
الْفِقْهِ
عَلَى
الْمَذَاهِبِ
اْلأَرْبَعَةِ
اهـ
فتاوى
الأزهر الجزء
9
صحـ
:
30

اَلْمَالِكِيَّةُ
قَالُوْا
تَنْقَسِمُ
شُرُوْطُ
الْجُمُعَةِ
إِلِى
قِسْمَيْنِ
شُرُوْطِ
وُجُوْبٍ
وَشرُوْطِ
صِحَّةٍ
إلى
أن
قال
وَأَمَّا
شُرُوْطُ
صِحَّةِ
الْجُمُعَةِ
فَهِيَ
خَمْسَةٌ
إلى
أن
قال
اَلثَّالِثُ
اْلإِمَامُ
وَيُشْتَرَطُ
فِيْهِ
أَمْرَانِ
أَحَدُهُمَا
أَنْ
يَكُوْنَ
مُقِيْمًا
أَوْ
مُسَافِرًا
نَوَى
إِقَامَةَ
أَرْبَعَةِ
أَيَّامٍ
وَقَدْ
تَقَدَّمَ
ثَانِيْهِمَا
أَنْ
يَكُوْنَ
هُوَ
اَلْخَطِيْبُ
فَلَوْ
صَلَّى
بِهِمْ
غَيْرُ
مَنْ
خَطَبَ
فَالصَّلاَةُ
بَاطِلَةٌ
إِلاَّ
إِذَا
مَنَعَ
اَلْخَطِيْبُ
مِنَ
الصَّلاَةِ
مَانِعٌ
يُبِيْحُ
لَهُ
اْلاسْتِخْلاَفَ
اهـ
الفقه
على المذاهب
الأربعة
الجزء
1
صحـ
595

وَيُكْرَهُ ذَلِكَ أَعْنِيْ أَنْ يَكُوْنَ اَلْخَطِيْبُ غَيْرَ اْلإِمَامِ أَفْتَى بِذَلِكَ اَلشَّيْخُ التَّحْرِيْرِ اللَّوْذَعِيُّ مُحَمَّدُ صَالِحِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ اهـ سلم التوفيق صحـ 34

https://www.potretsantri.com/2021/05/panduan-bilal-dan-khotib-shalat-jumat.html