Read Time:3 Minute, 47 Second
Oleh Taufik Zaenal Mustofa, M.Si, M.Pd
Penulis adalah Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Indramayu
Fenomena praktik keberagamaan secara ganjil dan kontroversial bukanlah hal baru di negeri ini. Dulu publik digemparkan oleh kehadiran Yusman Roy Malang dengan praktik salat bilingualnya, juga Mushaddeq Sidoarjo yang mengaku sebagai Nabi terakhir. Ini belum menderet fenomena Lia Aminuddin (Lia Eden) yang mendirikan agama baru Salamullah setelah mendapat wahyu dari, konon, Jibril As dan endemi Islam Liberal yang kini mulai redup. Saat ini publik kembali geger dengan apa yang diunjuk-ragakan Panji Gumilang, pimpinan Ma’had al Zaytun, Gantar, Indramayu.
Sejak kehadirannya di kota Mangga, Ma’had al Zaytun a.k.a Panji Gumilang memang tak pernah berhenti menghentak nurani publik dengan segudang kontroversi yang mengitarinya. Dari mulai sumber dana yang misterius, metode pengajaran agama yang tak lazim, manajemen pesantren yang sentralistik, pergaulan sosial yang eksklusif, dan lain sebagainya. Yang terbaru tentu saja tentang mencampur aduk jamaah laki-laki dan perempuan dalam baris depan ketika menunaikan salat Idul Fitri kemarin.
Sebelumnya Panji juga menggempur kesadaran religi publik dengan anjuran menyanyikan salam tradisional Yahudi sebelum memulai acara dan pentingnya memberi ruang gerak pada perempuan dalam area-area sakral agama yang selama ini didominasi laki-laki selayak khutbah Jumat. Laki-laki kelahiran Gresik ini juga menganggap bahwa satir (pembatas) antara laki-laki dan perempuan dalam salat merupakan simbol perbudakan dan harus lekas dievaluasi.
Yang paling memilukan nurani umat Islam tentu saja pembelaan Panji yang ahistoris terhadap Israel. Bagi Panji, Israel atau Bani Israil adalah entitas etnis yang suci dan perlu dihormati. Sebab Israel juga lahir dari tradisi semitisme Abrahamik. Panji mengabaikan fakta tentang kolonialisme bengis Israel terhadap bangsa Palestina yang dilakukan sejak tahun 1948 hingga kini. Ironisnya, Panji menjadi “duta Israel” justru dengan justifikasi dari ayat-ayat suci Qurani.
Mazhab Bung Karno?
Kontroversi tak berhenti di sini. Beberapa waktu lalu ketika Panji dimintai klarifikasi oleh Kementerian Agama Indramayu, ia dengan tegas mengutarakan bahwa mazhab keberagamaan yang ia anut adalah mazhab Bung Karno atau Ahmad Soekarno, proklamator kemerdekaan republik ini. Dalam kacapandang Panji, Bung Karno merupakan prototipe pribadi muslim yang maju, progresif, dan kosmopolitan sehingga layak dijadikan acuan.
Ia dengan percaya diri mengejawantahkan tamsil bahwa Bung Karno dulu pernah bergabung dengan Muhammadiyah, lantaran ormas ini dipandang sebagai kantong bagi kaum muslim progresif dan modern. Tapi seiring berjalannya waktu, Bung Karno sempat memendam kekecewaan terhadap Muhammadiyah ketika melihat praktik salat antara laki-laki dan perempuan masih menggunakan satir/pembatas. Bagi Bung Karno, seperti yang dikutip Panji, pembatas salat antara laki-laki dan perempuan adalah simbol kejumudan dan keterbelakangan.
Pertanyaannya: apakah Bung Karno seorang mufassir yang punya kapasitas menafsirkan Al Quran? Apakah beliau seorang mujtahid mutlak yang berwenang melahirkan produk-produk hukum di bidang syariat/fiqih? Tentu kita semua akan sepakat untuk menjawab: tidak! Bung Karno adalah seorang ideolog, proklamator, pejuang kemerdekaan, pemimpin besar revolusi, negarawan yang belum ada tandingannya. Dalam ranah-ranah itulah kapasitas beliau bisa dijadikan acuan. Bukan dalam hal lainnya.
Jadi menjadikan Bung Karno sebagai referensi praktik ibadah, di samping kurang tepat, juga langkah yang kurang bijak. Sebab semua memiliki porsi, posisi, dan kapasitas masing-masing yang tak perlu dicampur-leburkan.
Kesejukan Beragama
Sebenarnya yang dibutuhkan publik beragama terhadap agamawan saat ini bukan pada sibuknya memproduksi kehebohan dan sejuta kontroversi. Masyarakat butuh potret agama yang hening dan sejuk, bukan agama yang selalu mengundang gemuruh perdebatan tak berkesudahan.
Masalah praktik ibadah mahdhah (naqli) biarlah menjadi domain para ahli fiqih yang memiliki kapasitas di bidang itu. Lagipula, mencampur aduk laki-laki dan perempuan dalam jamaah salat atau menjadikan perempuan sebagai khatib Jumat, bukanlah sebuah cerminan emansipasi. Ini juga tak ada kaitannya dengan laku revolusioner yang akan mengubah wajah kusut agama dalam menghadapi derasnya laju ubah peradaban. Ini hanya langkah baper kaum liberal yang baru mengerti secuil tentang makna dan hakikat (keber)agama(an).
Masyarakat tak memerlukan praktik toleransi gelap tanpa batas yang berujung pada sinkretisme. Pluralisme yang sejati adalah menghormati kambing sebagai kambing dan kerbau sebagai kerbau. Bukan dengan ambisius ingin menjadikan kambing seperti kerbau dengan motivasi cari panggung belaka. Biarlah umat Kristiani melakukan kebaktian dengan khidmat di gereja dan umat muslim beribadah dengan khusyuk di masjid. Mengajak umat Kristiani salat di masjid, di samping tak etis, juga merupakan bentuk humor yang tak lucu.
Ketimbang mempersoalkan satir dalam salat atau petugas khatib Jumat, alangkah baiknya tokoh agama lebih mempersoalkan distribusi keadilan yang hingga detik ini belum dirasakan oleh semua segmen umat di seluruh lapisan. Agar slogan rahmatan lil alamin (kasih sayang bagi semesta alam) tak hanya dimiliki masjid ma’had Al Zaytun semata, tapi juga bagi masyarakat Indramayu secara menyeluruh yang hidup di bawah garis papa dan nestapa.[]