Pelangi Cinta Sang Mentari

PELANGI
CINTA SANG MENTARI

Oleh
Kang Ide

 

Aku benci diriku benci apa yang
kumiliki selama ini, mengapa Tuhan menciptakan aku dengan segala keterpurukan
fisik yang tidak mendukung untuk bisa bergaul dengan teman-teman sekitarku ya
di rumah ya disekolah. Aku minder dan minder bila harus bergabung dengan
anak-anak yang memiliki fisik bagus, mereka begitu mudah berbicara, bersenda
gurau, bahkan bermain bersama tak jarang pula dengan bangganya memamerkan
keindahan fisik.

          Mengapa aku terlahir begini, tubuhku dilapisi
kulit berwarna sawo coklat tua, rambut bergelombang semi keriting, mata bulat
besar, bibir seperti dua perahu kembar tebal agak besar sedangkan tubuhku
alamak pasti semua orang menertawai karena semuanya serba bulat. Inikah
takdirku harus menjadi manusia dengan fisik memalukan dan membuat aku tidak
menyukai apapun darinya.

          Ajaran baru, sekolah baru pun di mulai
dan satu hal yang paling membuat aku benci adalah harus beradaptasi dan mencari
teman baru. Uhh…hal paling menakutkan buatku jika harus terkukung didalam
kelas satu SMA tanpa ada seorang pun yang akan menyapa dan mengajakku berbicara
yang berarti no friends no talk.

          Selama tiga hari ini aku harus
mengikuti ospek yang kata orang sih biar bisa adaptasi mengenal lingkungan
sekolah, saling mengenal dengan siswa baru plus bisa mengetahui bakat-bakat
terpendam dan akan ada perkenalan dari berbagai kegiatan ekstrakurikuler untuk
menarik minat siswa baru dari kakak-kakak kelas disekolah favorit ini.

          Bel berbunyi panjang seperti suara
telepon, para siswa segera menanggalkan kegiatan menuju sebuah lapangan besar
yang terletak didepan sekolah. Barisan sesuai kelasnya sudah tersusun
,terdengar suara ramai para calon baru penghuni SMA 1, saling berbicara satu
sama lain saling berkenalan saling bercanda sedangkan aku ya Tuhan aku hanya
diam membisu berdiri dibelakang tak tahu apa yang harus kulakukan karena aku
sendiri tidak mengenal mereka, kuraskan penyakit minder dan kuper mulai kambuh.

          Semua mulut terkunci semua badan tegap
tangan lurus ke bawah menggenggam ketika terdengar suara keras dari sang
komandan upacara, Siappppppppp grak. Entah karena masih siswa baru dan masih
punya rasa takut pada peraturan semua terdiam dan khidmat mengikuti upacara
meskipun pada waktu itu sang Bapak kepala sekolah berbicara panjang lebar
tentang segala tetek bengek berkaitan dengan aturan sekolah bahwa siswa itu
harus bersikap begini dan begitulah hampir tiga puluh menit, huh…hal yang
paling membosankan, dalam hati aku hanya bisa menggurutu sendiri “ kami sudah
besar Pak meskipun saya ini memang benar-benar besar tahulah mana yang baik dan
benar ”

Aduh…alamak aku nggak kuat lagi nih,
mulutku terkunci saking malunya menahan sakit. Kulihat sekeliling semua seakan
berputar-putar wajah Bapak kepala sekolah berjumlah tujuh rupa yang sama,
kepala pening diikuti mata berkunang-kunang mungkin tadi pagi nggak sarapan
pagi untuk memantapkan diet ketat agar lebih singset.

          Arkhhhh….tiba-tiba tubuhku jatuh ke
tanah dan terdengar suara keras gempa bumi kecil sejenak menghentikan pidato
sang Kepala Sekolah gedubruk..!!! semua mata tertuju padaku, ada yang tertawa
cekikan, ada yang berkomentar kesana kemari, melihat tubuh besar ini ambruk
diatas tanah.

Kulihat dari mataku menyipit setengah
sadar, seorang anak perempuan berkerudung besar berwajah cantik berkulit putih
mengusap keringat bercucuran dengan tisu yang dikeluarkan dari saku seragamnya
sesekali memijit tangan legam ini seterusnya mati lampu deh semuanya tampak
gelap dan terasa off.

Aku berdiri diujung kegelapan dengan
perasaan ketakutan tak ada seorangpun disana dengan ragu-ragu melangkah
menyusuri jalan sendiri semakin membuat bulu kuduk merinding. Inikah yang
dinamakan kegelapan sebenarnya, aku mulai ketakutan atas apa yang telah aku
hujatkan pada sang pemilik jiwa raga, perasaan bersalah menghantui atas setiap
kata-kata yang telah aku lontarkan pada fisik ini. Dalam suasana sunyi sepi
menyendiri di tempat segelap-gelap dunia aku berteriak dan bersujud, “ ampuni
aku…,maafkan aku…,aku mengaku bersalah “ tangis pun pecah dalam
ketidakpastian.

Sebuah surban putih keluar bersama
cahaya dari langit, mataku menatap tajam dalam keadaan ketidakberdayaan
tiba-tiba surban putih itu menyelimuti dan menarik tubuh gembul ini aku hanya
bisa mengaduh, “arkhkh…ampun ya Allah!!!”

Aku terbaring kaku dalam kondisi
memilukan, tanganku harus di infus, hidung harus diberi selang oksigen.
Kugerakan kaki, ku buka mata perlahan-lahan melihat sekeliling semua tampak
putih, apakah aku sudah berpindah dari tempat kegelapan menuju tempat kebercahayaan.
Bibir tebal besar ini tersenyum ternyata aku masih hidup.

Di samping ada seorang wanita tua yang
tak lain adalah ibuku tertidur pulas disebelah kasur tempat pesakitan dalam
keadaan setengah duduk dengan kursi biru. Ibu tidak menyadari bahwa aku sudah
sadar dengan suara terbata-bata ku memanggilnya, “ i..bu…!!!” dengan wajah
kebingungan beliau bangkit dan menatap wajahku, “ kau sudah sadar tho nduk
anakku sing ayu dewe”.

Kejadian yang membuat aku pingsan waktu
upacara pembukaan ospek sampai harus menginap di rumah sakit membuat aku bukan
malah semakin sadar atas segala kekeliruan tapi malah mengkambuhkan penyakit
sepanjang masa bagiku yaitu malu dan minder. Bagaimana nanti komentar
orang-orang yang melihat kejadian kemarin? nanti apa yang akan digunjingkan
mereka terhadapku bahwa gadis gendut hitam berwajah jelek ini telah membuat
ulah memalukan. Ih..aku makin membenci dengan keterbatasan fisik ini.

“Mona, ada telepon dari temanmu” suara
ibu membuyarkan lamunanku. Apa aku nggak salah dengar ada seorang teman
menelepon. Ku banting guling yang dari tadi aku dekap di atas ranjang menuju
ruang keluarga. “ Assalamu’alaiukum, ini Mona ya! Gimana Mon sudah mendingan? “
suara seorang perempuan dari telepon terdengar. “Eh…ya begi..tu lah. Maaf
i..ni siapa ya?”

“Namaku
Mentari, yang kemarin mengelap keringatmu waktu kau pingsan” suara perempuan
yang lembut itu membuyarkan atas apa yang aku risaukan. “ Jangan lupa besok
masuk ya, aku tunggu lho ya, oke!“ dengan suara setengah nggak percaya ku jawab
, “oo..ke. ma..kasih ya..!”

Pagi yang cerah pagi yang membuat aku
bersemangat sekolah melupakan segala yang telah aku takutkan. Tepat jam 06.30
aku memasuki gerbang sekolah dengan senyum-senyum sendiri. Segerombolan siswa
laki-laki menyapaku sambil bercoleteh mengejek “ Pagi ndut., orang gendut
jatuhnya menakutkan seperti gempa 7 sekala righter gedubrak… ya ha ha…” aku
hanya tersenyum manis pada mereka.

Kulanjutkan langkah kaki dengan Pede
melewati sebuah taman sekolah ditumbuhi pohon-pohon rindang dikelilingi pot-pot
bunga kamboja merah tampak ada 3 gadis cantik duduk dibangku taman sambil
membawa buku, salah satu dari mereka menyelutuk tajam hatiku, “ oh..oh, ini tho si gendut buruk rupa yang
menggegerkan upacara kemarin oalahdalah sudah gendut berkulit hitam pula hi
hi…” Aku hanya menatap mereka dan tersenyum pahit.

          Tibalah saat yang menentukan memasuki
kelas baru dengan teman yang baru. Hampir semua menatapku dengan ketidakpastian
maksud terlihat dari lirikan mereka. Bel masuk berbunyi, semua langsung duduk
ditempatnya masing-masing, tinggalah bangku kosong disebelah pojok belakang.
Dengan perasaan tak menentu ku langkahkan kaki ini, ku duduki bangkunya dan
tampaklah dimejaku sebuah tulisan dikertas HVS “Selamat datang Miss 3 G (gendut
gemuk gembrot)”

          Aku benci sekolah ini, aku benci
semuanya, mengapa mereka begitu jahat padaku, apa salah dan dosaku harus
dihujat dan dihina seperti ini, salahkah aku hidup di dunia. Bagiku disekolah
ini tak ada tempat yang aman kecuali sebuah mushola kecil tempat aku bersembunyi
dari olokan, sindiran dan minder berteman.

Didalam mushola yang bernama al-Huda
inilah aku duduk meratapi nasib, melihat dari jendela besar mushola para siswa
lalu lalang menikmati istirahat. Tiba-tiba sebuah tepukan kecil menghampiri
pundakku, “ hai Mona, kamu nggak sholat?” Ku balikkan tubuh dan terlihat
seorang gadis berwajah cantik berkulit putih dengan senyum teduhnya mengenakan
jilbab biru laut menyapaku. “ Ehm..anu nggak lah. Aku lagi ingin duduk disini
saja.” “ ya udah, tunggu aku sholat dhuha dulu ya. Nanti kita makan dikantin
sama-sama. Aku traktir deh! ” setengah nggak percaya bahwa ada seseorang yang
mengajak dan mentraktirku makan. Wuih…badanku terasa ringan membumbung
diangkasa kesedihanku terhapus sudah saat itu.

Dialah Mentari, siswa baru yang telah
menolong dan membawaku ke rumah sakit. Dia begitu anggun, cantik, senyumnya
begitu teduh, matanya begitu memancarkan cahaya, pintar, suka bergaul dan yang
paling aku suka darinya adalah dia selalu menganggap aku ada sebagai manusia
yang hidup didunia ini.

 Dialah sahabat paling baik yang aku temui
dalam hidup ini. Aku dan Mentari mempunyai hobi yang sama yaitu gemar sekali
membaca majalah-majalah dari media cetak maupun internet, bahkan diskusi
bersama berbau bahasa inggris mulai dari game, fashion, isu-isu selebritis.
Dari Mentari lah aku dapatkan sebuah semangat baru semangat untuk menjadi
manusia yang paling unik dan show your
capable.

           Sebuah pengumuman tertempel di mading
sekolah bahwa akan diadakan lomba
the power of teenager to present “ sebuah
lomba pembuatan karya remaja dipresentasikan karyanya dihadapan para juri dan
khalayak ramai yang diadakan oleh salah satu kedutaan luar negeri memperebutkan
penghargaan
schoolarship atau
beasiswa di negeri kanguru. Dengan senyum gembira, Mentari menatapku. “
gimana?” senyumku pun mengembang dan kujawab dengan lantang, “
show time dech!”

Waktu
demi waktu kami lalui dengan membaca dan membaca. Tempat yang paling sering
kami kunjungi ketika istirahat adalah perpustakaan sedangkan tempat yang paling
kami sukai sesudah sekolah adalah ditempat ranjangku yang empuk, karena
disanalah tempat kami menjelajahi segala informasi melalui laptop plus modem.
Kami makan minum, lembur mengerjakan mega karya besar didalam ruang 3×3 ini
dengan tertawa, kebosanan, diskusi kecil yang terkadang membuat kami diam
sesaat, bahkan sering terjadi adu mulut.

          Dalam pembuatan karya remaja, aku dan
Mentari sepakat mengambil tema “free sex
fever” demam pergaulan bebas. Aku
yang mengumpulkan data-data dari berbagai sumber dari internet, perpustakaan,
sedangkan Mentari yang menulis dan mendata di computer. Ternyata Mentari jago
juga dalam pembuatan presentasi di power point dengan lihainya dia membuat
animasi disertai effectnya.

          Seminggu sudah kami mengumpulkan data
berupa tulisan dan video unduhan dari you tube untuk memperkaya hasil karya.
Bahkan untuk mendukung karya ini kami harus rela mencari-cari referensi dengan
membeli koran-koran bekas di sebuah tempat yang menjual koran kiloan berisi
berita terkait. Kami pelototi satu persatu koran yang ada kami lahap
mentah-mentah berita yang kami inginkan.

Hari melelahkan hari yang membahagiakan
begitulah yang terjadi pada aku dan Mentari. Semuanya sudah lengkap semuanya
sudah siap dan segalanya akan berbicara siapakah yang paling terbaik dalam presentasi
remaja besok.

“ Mon, hal apakah yang membuat kau
bahagia” suara Mentari mendadak keluar saat kami tidur-tiduran diatas kasur
springbed bermerek American. Bagiku hal yang terindah adalah saat semua orang
menganggap aku sebagai manusia seperti yang lainnya. Tidak ada olokan, tidak
ada perbandingan, tidak ada lagi apertheid. Kalau kamu apa yang kau sukai
didunia ini, tanyaku perlahan. “ hal yang membuat aku menyukai dunia ini adalah
waktu. Karena waktulah yang menentukan segalanya.” “Kenapa harus waktu, Men.”
Tanyaku penasaran. “karena dengan waktulah aku bisa bersama kau disini bersama
sahabat terbaik” jawabnya dengan linangan air mata.

          Aku segera bangkit memandangnya penuh
arti, “aku bersyukur memiliki sahabat sepertimu Men.” Mentari pun  bangkit lalu memelukku erat sekali seakan tak
mau melepaskan, kubalas pula dengan dekapan erat pula. Nampak diluar terdengar
suara rintik hujan menambah suasana syahdu persahabatan si cantik dan si gendut
buruk rupa.

          Lomba
presentasi remaja diadakan di sekolahku yang kebetulan memiliki gedung aula
besar bisa menampung sekitar hampir seribu orang. Sekitar jam 07.00 pagi aku
dan Mentari tiba disekolah. Tak menyangka ternyata saingan kami untuk
memperebutkan beasiswa selama 6 bulan ke negeri Kanguru diikuti pula oleh
berbagai sekolah lain. Dengan mantap dan keyakinan serta membaca bismillah kami
melangkahkan kaki naik tangga menuju lantai atas ruang aula perlombaan.

          Semua peserta berjumlah 20 regu. Dalam
pengundian kami mendapatkan nomer urut 10. Flashdisk, buletin kami persiapkan
untuk mendukung penampilan. Sedangkan untuk presentasi panitia lomba sudah
menyiapkan laptop, LCD, peralatan sound sistem yang mendukung acara.

Ternyata acara ini juga diliput oleh
stasiun TV nasional dan lokal, tampak para crew
mempersiapkan peralatan untuk meliput kejadian luar biasa nan bergengsi antar
sekolah yang mampu mengharumkan nama sekolah pula.

Kami membagi tugas, Mentari sebagai
operator dan aku sebagai pemeteri. Karena Mentari menganggap aku sebenarnya
banyak ngomong punya daya khayal tinggi dari buku-buku komik dan majalah yang
biasa aku baca sekaligus Mentari ingin menunjukan kepada semua orang bahwa
orang gendut seperti aku adalah manusia yang langka punya kemampuan luar biasa.

          Semua peserta menampilkan hasil karya
nya dengan bagus tak ada yang tak bagus. Bagitu canggihnya mereka
mempresentasikan memakai computer seakan-akan barang mainan yang menyenangkan.
Para juri dan penonton dibuat terkagum-kagum oleh penampilan remaja yang
megikuti lomba ini dengan tepuk tangan meriah.

Ada salah satu peserta dari SMA negeri
2 menampilkan tema luar biasa Robotic in
Action
disertai animasi-animasi yang dibuat sendiri tanpa tanggung-tanggung
mereka mempersembahkan sebuah karya spectakulernya berwujud nyata yaitu Robot
yang didesain, diberi assesoris ala anak SMA. Robot itu diberi sensorik
perintah untuk mengambil tas, membuka kotak pensil dan menulis coretan bebas di
atas media yang diterjemahkan dalam LCD sehingga membuat para penonton bisa
melihat di layar besar. Tepuk tangan meriah ruah mereka dapatkan setelah
menampilkan hasil kehebatannya.

          Aku dan Mentari hanya bisa ambil nafas
panjang mengakui kemampuan hebat peserta dari SMA 2. “ kita harus lebih hebat
dari mereka, Mon! Mereka bisa kenapa kita nggak! “ ujar Mentari membisikan
semangat ke telinga kananku. “Aku nggak tahu Men, tapi akan ku usahakan dengan
segala kemampuan.” Jawabku dengan semangat pula. Kami pun saling tersenyum
menyemangati diri sendiri.

Tibalah
giliran kami, segala tetek bengek peralatan sudah kami persiapkan jauh-jauh
hari. Kami ingin menampilkan sebuah presentasi yang tidak biasa karena kami
adalah remaja unik berbeda dengan yang lain.

Terdengar suara MC menggema di ruang
Aula. Sekarang saatnya kita tampilkan sebuah presentasi dari salah satu peserta
dari sang tuan rumah sendiri yaitu dari SMA 1. Mereka adalah Ramona Cahya
Insani dan Mentari Annisa Putri. Tepuk tangan riuh ramai menggelegar di setiap
tempat duduk.

          Aku dan Mentari saling berpegangan
tangan, mangambil nafas panjang sambil membaca doa. Dengan suara lirih kami
ucapkan semboyan kami, “ I can do it, you
can
do it and we… can do it ”.
Kami sengaja tidak langsung maju ke atas panggung tapi kami tampilkan dahulu
sebuah cuplikan film durasi pendek tentang akibat pergaulan bebas.

 

 Selesai pemutaran filmnya, dari balik panggung
melalui pintu masuk aku maju memasuki panggung besar dengan pakaian yang
membuat semua orang menahan senyum dan bertanya-tanya dalam adegan drama
pantomim yakni sebuah baju daster milik ibu waktu aku masih didalam kandungan.
Besar, gombreng, dengan warna terang
menyala bermotif batik pesisir didalamnya kuberi balon berisi cairan maka makin
menggendutlah badan ini dan membuat para penonton dan juri pun menahan tawa.

Aku menatap mata para penonton dengan
wajah sedih, ku pandangi mereka dari berbagai sudut depan, belakang, pojok
kanan, pojok kiri lalu pecahlah suara tangis histeris dan mengalunlah suara
musik intrumental adagio C minor menambah suasana sendu, “ I hate my self. I hate my life. There is no one care me. I am pregnant…!!!
He left me. Ya Alloh. Forgive me…!!!

Dengan langkah pasti ku naiki meja lalu
ku keluarkan sebuah pisau mainan dari saku samping baju daster dengan mata
berkaca-kaca ku angkat pisau itu tinggi-tinggi dengan gerakan pelan dan mantap
ku tusuk tubuh yang gendut ini berkali-kali sambil berkata dengan keras, “ I don’t want to life, I hate my
self…!!!”
dan duerr..duer…balon di dalam perut pecah, keluarlah cairan
berwarna merah seperti darah dari sela-sela tubuh turun melalui selakangan.
Suara kubuat serak dengan penghayatan penuh, Good bye Mom, Dad. Forgive me “ aku jatuh seperti orang mati bunuh
diri.

 Tepuk tangan meriah bahkan kulihat sekilas di
barisan depan beberapa ibu tersenyum kagum padaku dengan linangan air mata. Tak
terkecuali Bapak kepala sekolah yang duduk didepan dengan bangga berteriak, “
Allahu akbar, hebat…”. dibagian tengah anak-anak yang biasa mengejek pun tak
kalah serunya juga bertepuk tangan.

 

Aku bangkit berdiri dengan perasaan
haru meskipun baju yang ku pakai basah dar adegan teatrikal tadi namun aku
segera mempresentasikan karya kami di hadapan juri dan para penonton. Setelah
membeberkan panjang lebar dengan tulisan, animasi dan video melalui power
point. Aku menyimpulkan hasil kerja kami dengan pidato mini sedangkan Mentari
bangkit dari duduknya membagikan untuk mengkampanyekan brosur kepada semua yang
hadir dengan head line “ No free sex, yes
better life”

Aku memulai pidato yang telah
kupersiapkan sebagai pamungkas dalam karya kami. “ teman, hidup ini cuma sekali
mengapa kita harus mengotorinya dengan sesuatu yang membuat kita merugi. Coba
pikirkan dengan hati nurani dan logika akal, pikirkan…!!! “suaraku memekik
keras menggema seanteo aula. “ Apa akibatnya jika kita melakukan hubungan
bebas. Apa??? Suaraku makin sendu memecah kesunyian penonton tak terasa air
mata berlinang mengalir dengan ikhlasnya menghayati ucapanku sendiri.

“ Seorang gadis akan mengandung
sedangkan sang lelaki merasa kebingungan karena belum siap untuk menikah. Dan
mereka pun akhirnya merencanakan sebuah pembunuhan keji pada seorang janin dari
benih-benih cinta haram mereka. Disaat itulah remaja tak tahu malu itu disebut
sebagai pembunuh. Membunuh hasil dari darah dagingnya sendiri.” Makin sendulah
suasana aula makin terdengar suara ingus yang di lap dengan tisu di bagian
tempat duduk bagian muka.

 

Semua tertunduk bisu mendengar
pidatoku. “ alangkah indahnya hidup ini fren dengan cinta suci yang tidak
terkotori oleh nafsu syetani. Cinta yang masih terjaga sampai kita berkeluarga
nanti. Untuk seseorang yang sah dan halal untuk kita nikmati yakni sang suami
atau sang istri “

Semua yang hadir termasuk ketiga juri  berdiri menatapku berdecak kagum, tepuk
tanganpun bergemuruh keras menyelimuti ruangan aula. Mentari pun maju berdiri
bersamaku di atas panggung. Mentari tersenyum padaku, “ Hebat kau pren. Telah
kau buktikan pada dunia bahwa kau bisa.” Kilatan blitz kamera menjepret kami
bergantian dari berbagai arah. Namun tiba-tiba Mentari jatuh terkulai lemas
disampingku bruuk…!!!

Sudah tiga hari Mentari, sang pemberi
semangat tak sadarkan diri di rumah sakit. Aku hanya bisa menatapnya penuh iba.
Dia yang begitu cantik, dia yang begitu luar biasa pintar, riang dan baik harus
menanggung sebuah penyakit mematikan kanker otak. 

Mengapa dia tidak pernah cerita padaku?
Mengapa dia menyembunyikan semua ini dariku? Apakah dia tak ingin aku bersedih
melihatnya? Apakah arti persahabatan ini jika dikala suka dan duka kita tidak
lewati bersama? Tanyaku dalam hati.

 Aku masih terdiam memandangi sahabatku sang
mentari hidupku. Ku pegang tangannya, kusalurkan seluruh energi hidup ini
untuknya tak terasa sebuah air mata kesedihan mengalir lembut di pipi. “ Men,
kau sahabatku yang paling terbaik, bersama kamu lah hidupku jadi seperti
pelangi berwarna warni penuh nuansa. Bangunlah Men…!!! berilah aku warnamu
agar aku bisa berarti dalam hidup ini.”

Sore yang mendung diikuti rintik-rintik
hujan, sebuah bungkusan berupa kado yang telah dipersiapkan oleh Mentari di
hari ulang tahun ku tepat hari ini diberikan oleh Mamanya setelah aku pulang
sekolah. Katanya Mentari sudah agak baikan selama di rumah dan nanti akan
meneleponku sore ini. Di sebuah kursi
panjang ruang keluarga ku mulai membuka kado Mentari sambil menunggu
teleponnya. Sebelum ku membuka lebih jauh isi kado telepon berdering, ku angkat
dan terdengarlah suara khasnya tapi pelan, “Happy birthday pren”.  Makasih Men untuk kadonya, ini sedang aku
buka jawabku dengan suka cita. “ semoga dengan kado itu kau akan bertambah
cantik dan sholehah tanpa aku” suaranya kembali mengalun lirih. Met ulang
tahun, Mon. Love you, n da da….

Ku tutup telepon rapat, segera ku
lanjutkan membuka kado spesial dari Mentari. Sebuah jilbab besar putih bersih
berserabut bunga isi dari kado itu. Apakah Mentari ingin aku memakainya seperti
yang dia kenakan selama ini, agar aku menjadi pede dengan apa yang ku punyai,
agar Allah lebih sayang lagi padaku, batinku penuh haru. Makasih banyak untuk
hadiahnya, Men. Besok akan ku tunjukan padamu bahwa aku sudah berubah dengan
memakai jilbab ini mulai hari. Makasih banyak ya Allah atas hidayah ini.

Hari minggu tepatnya jam delapan pagi
aku akan mengunjungi Mentari di rumahnya dengan mengendarai sepeda motor matic
membawa buah jeruk santang jeruk kecil yang rasanya manis dari negeri tirai
bambu sekaligus ingin menunjukan hadiah ulang tahunnya yang telah aku pakai
saat ini.

Aku tersenyum sendiri saat naik motor,
berkhayal akan kata-kata yang akan di ucapkan oleh sahabatku yang cantik itu
ketika melihat aku memakai jilbab putih hadiah darinya. Tapi entah mengapa
perasaanku tidak enak ketika melewati sebuah belokan menuju rumah Mentari,
sekelompok ibu-ibu berduyun-duyun mendekati rumah Mentari.

Aku segera memarkir motor didepan
,segera masuk menuju ruang tamu. Dan…aku tak sanggup lagi memandang dunia ini
ya Allah, mulut hanya mengangga lidah membisu seribu kata ku tutupi dengan
tangan kanan antara percaya dan tidak atas apa yang terjadi. Sebuah tubuh yang
begitu aku kenal dengan wajah cantiknya terbungkus kain kafan diatas sebuah
tempat tidur yang tak lain adalah sahabatku, Mentari. Jeruk santang yang ku
bawa lepas sudah dari genggaman meluncur bebas jatuh tak beraturan dari
berbagai arah. Kaki ini perlahan melangkah mendekati tubuh kaku itu, menatap
tajam tak percaya. Dan tumpahlah sudah air mata laksana air terjun deras tak
berkesudahan.

Ku cium ke peluk Mentari hidup ku saat
akan di letakkan di pembaringan terakhir. Selamat jalan teman, makasih banyak
atas segala petualangan hidup yang mengasyikan selama ini membuat aku lebih
mengerti dan sadar akan indah dan berartinya hidup.

Dua tiket dan sebuah piala kemenangan
dari perlombaan kemarin ku pandangi diatas meja belajar. Senyum kemenangan
tersungging di liputi rasa haru menderu. Dua tiket tergenggem sudah ditangan,
yang membuat aku akan terbang menuju impian bersama Mentari menjelajahi negeri
kanguru. Lalu ku baca sebuah puisi yang ditulis Mentari didalam kado ulang
tahun tertempel di bagian atas meja belajar

Waktu

 

Kau
buat aku mengerti

Akan
indahnya dunia

Seindah
bersama sahabat

Menembus
khayalan

Menjaring
impian terbesar

Berpetualang menyibak hidup

Manis dukanya dunia

Mengerti arti paling dalam

setiap mahalnya waktu yang kulalui

bersama kau wahai sahabat terkasih

terikat karena illahi

 

Best
friend forever

<
Mentari + Mona>

https://www.potretsantri.com/2021/05/pelangi-cinta-sang-mentari.html