Aceh adalah salah provinsi di Indonesia yang berada di ujung barat Pulau Sumatera. Secara geografis, Aceh berada di sisi Selat Malaka, jalur sutra perdagangan dunia pada zaman dahulu. Maka tidak heran, Islam berkembang dengan pesat sebagaimana penyebarnya kala itu banyak berasal dari tanah Arab dan singgah pertama sekali di bumi Samudera Pasai—sebuah wilayah yang subur di pesisir utara Aceh.
Hingga kini, Islam berkembang pesat di bumi Serambi Makkah—julukan untuk Provinsi Aceh. Jumlah penganut agama Islam di Aceh saat ini berjumlah 5.211.888 jiwa (98,54 persen) dari total jumlah penduduk 5.288.885 jiwa, berdasarkan data tahun 2020 di situs web ppid.acehprov.go.id.
Selain jumlah persentase terbesar, masyarakat Aceh tergolong muslim yang taat, seperti halnya syariat Islam bagi umumnya masyarakat adalah satu hal yang sangat sakral. Lahirnya syariat Islam di Tanah Rencong ini tidak lepas dari peran ulama berbasis dayah (pesantren) salafi atau dayah klasik. Sampai saat ini peran ulama dayah salafi sangat kentara dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Dalam pemerintahan daerah misalnya, di Aceh ada institusi seperti Dinas Syariat Islam (DSI), Wilayahtul Hisbah (WH) atau polisi syariat, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). MPU ini mirip dengan MUI, namun ada perbedaan dari sisi status institusinya, kalau di Aceh di bawah pemerintah daerah.
Lain hal dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat di Aceh sangat dekat dengan pengajian baik secara formal di dayah maupun tidak formal seperti di masjid, meunasah (surau), mushalla secara mingguan. Baik secara formal maupun nonformal, pengajian di Aceh dibagi menjadi tidak hal pokok.
Pertama adalah pengajian tentang tauhid atau aqidah. Bagian ini mempelajari ilmu-ilmu keesaan Allah. Kedua tentang fiqih atau ilmu syariat, yaitu ilmu tentang hukum, ibadah, muamalah, dan lainnya. Sementara ketiga adalah tasawuf atau akhlak. Ketiga bagian ini oleh ulama Aceh menyingkatnya dengan “Tastafi” (Tasawuf, Tauhid dan Fiqh). Tastafi ini kemudian menjelma menjadi sebuah organisasi pengajian terbesar di Aceh dan memiliki struktur sampai ke tingkat desa.
Ulama Aceh juga mengibaratkan ketiga pokok ilmu tersebut dengan sebuah kebun. Tauhid adalah ilmu paling utama dipelajari, maka diibaratkan dengan tanah. Selanjutnya fiqih sebagai ilmu terpenting kedua, maka diibaratkan dengan tanaman, dan terakhir tasawuf diibaratkan dengan pagar.
Pada bagian ketiga yaitu tasawuf, apabila tidak ada pagar maka tanah dan tanaman tersebut tidak akan sempurna untuk berperan sebagaimana fungsinya masing-masing. Sebab itu, ilmu tasawuf dalam kehidupan masyarakat Aceh sudah menjadi bagian dari wajib.
Khalwah
Lebih dalam lagi, masyarakat Aceh secara umum dan terlebih khusus para santri ada jalan lain untuk menggapai tingkat tasawuf tersebut selain mempelajari ilmu tasawuf itu sendiri. Dalam setiap bulan Ramadhan pada umumnya dayah membuka program khulwah.
Khalwah (Aceh: khalut) ini secara bahasa artinya mengasingkan diri. Sementara di KBBI ditulis khalwat, dalam arti positif yaitu mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk bertafakur, beribadah, dan sebagainya. Khalwah ini juga sering dilakukan Nabi Muhammad sebelum dan sesudah menjadi rasul di Gua Hira, Jabal Nur.
Praktik khalwah di Aceh dilakukan setiap bulan Ramadhan. Untuk pemula, tanggal masuk adalah pada malam 16 Sya’ban atau 14 hari sebelum puasa dan disambung sebulan penuh Ramadhan, maka jumlah khalwah sebanyak 44 hari. Bagi yang bukan lagi pemula, biasanya dilakukan dalam bulan Ramadahan saja.
Teknis zikir atau ibadah lainnya dalam khalwah ini dilakukan dengan tiga cara menurut tarekat terpopuler di Aceh, meliputi tarekat Naqsabandiyah, Syattariyah, dan Haddadiyah. Tarekat naqsabandiyah dipopulerkan oleh ulama Syaikh Muhammad Wali Al-Khalidi atau Abuya Muda Wali (1917-1961).
Kemudian tarekat Syattariyah dikembangkan pertama sekali di Aceh sampai menjalar ke seluruh Nusantara oleh Syaikh Abdurrauf al-Fansuri atau Syiah Kuala (1615-1693). Sedangkan tarekat Haddadiyah dikembangkan oleh Teungku Muhammad Hasan bin Muhammad Hanafiyah atau Abu Krueng Kale (1886-1973).
Menurut tarekat Syattariyah dalam praktik khalwah, zikir-zikir dilakukan meliputi tahlil yang diniatkan untuk diri sendiri sebanyak 100 ribu kali dalam 10 malam. Selanjutnya samadiyah diniatkan untuk diri sendiri, mursyid (guru), ibu, dan ayah. Masing-masing tujuan sebanyak 10 ribu kali.
Di samping itu, al-Quran wajib khatam minimal satu kali. Kemudian shalat-shalat sunat populer misalnya Tarawih, Rawatib, dan Witir dilakukan seperti biasa. Di luar itu juga dianjurkan melaksanakan shalat sunat Taubat setiap malam, shalat sunat Tasbih setiap malam Jumat, shalat sunat Tahajjud setiap dua malam sekali, dan shalat sunat Istikharah setiap malam Senin.
Khalwah juga mempunyai aturan lain secara teknis, misalnya tidak boleh tidur pada malam hari, harus menutup bagian muka saat bertemu orang lain, tidak berinteraksi secara lisan, berpuasa sepanjang waktu khalwah, dan tidak melakukan hal yang sia-sia.
Pada intinya, khalwah ini dilakukan atas empat prinsip meliputi qillatul kalam (sedikit berbicara), qillatut tha’am (sedikit makan), qillatul anam (sedikit interaksi), dan qillatul manam (sedikit tidur).
Tujuan qillatul kalam ini agar seseorang lebih fokus dalam berdzikir, tadabbur, dan tafakkur. Qillatut tha’am seperti halnya puasa, mengurangi makan dapat membuat seseorang lebih mudah mengendalikan nafsunya. Kemudian qillatul anam ini bertujuan untuk selalu bertaqarrub kepada Allah dan mengurangi interaksi dengan manusia.
Terakhir, qillatul manam atau mengurangi tidur dengan memanfaatkan waktu untuk mengingat Allah dan meminta keampunan-Nya adalah pekerjaan paling berharga di dunia ini. Insya Allah, apabila keempat prinsip ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari di luar khalwah, maka titel kesufian itu telah hadir dalam diri manusia tersebut.
https://alif.id/read/mkm/pemahaman-masyarakat-aceh-dalam-menempuh-kesufian-b244248p/